Rabu, 27 Oktober 2010

FENOMENA SUFISME PERKOTAAN


Perkataan sufi berasal dari Ibnu Shaufi yang sudah dikenal sejak sebelum Islam sebgai gelar dari seorang anak Arab yang saleh yang selalu mengasingkan diri di dekat ka’bah untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya[1].
Kata sufi itu berasal dari kata shaffa atau barisan, sebab para sufi berada pada barisan pertama di hadapan Allah. Yang lainnya menyatakan bahwa kata tersebut dinisbatkan kepada Abu Shuffah, sekelompok kaum Muhajirin dna Anshar yang miskin, yang tinggal dalam suatu ruangan di sisi masjid Nabawi. Mereka yang tinggal di dalam ruangan tersebut dikenal tekun beribadah[2].
Menurut sejarah, orang yang memakai kata ”sufi” adalah seorang zahid bernama Abu Hasyim al-Kufi di Iraq (w. 150 H). Sedangkan arti kata sufi sendiri  memiliki beberapa rumusan, di antaranya ahl ash-shuffah, yaitu mereka para sahabat yang miskin, yang tinggal di suatu ruangan di masjid Nabawi, mereka berbaik hati dan mulia; shaf, ialah orang-orang yang melakukan salat di barisan pertama; shufi juga bermakna suci; sophos, asal kata Yunani yang berarti hikmat; sedangkan shufi bermakna kain yang dibuat dari bulu domba, yaitu wol kasar yang biasa dipakai orang-orang miskin[3].
Sementara itu dari data yang terungkap bahwa  oirang pertama yang mendapat gelar sufi adalah Abu Hasyim (w. 761 H) dari Kuffah, bukan dari Mekkah atau Madinah dan ia adalah dari generasi tabi’in, bukan dari generasi sahabat. Sedangkan di sisi lain, masa terjemahan telah terjadi terlebih dahulu, paling tidak beberapa puluh tahun sebelum munculnya orang pertama yang bergelar sufi itu.
Akhirnya, jika istilah ”sufi” itu juga dianggap serasal dari kata shuf (bulu domba, wol kasar) yang biasa dipakai oleh para sufi Kristen, hal ini bisa diterima, bahkan antara kata sophia dan shuf saling menguatkan. Sebab ajaran sufi di dunia Kristen yang paling berpengaruh berasal dari Plotinus, sehingga sangat logis jika aliran ini berpengaruh pada kaum sufi Kristen di Syiria, Mesir, Baghdad dan Yaman. Lebih memperkuat lagi ialah bahwa kaum sufi muslim pada umumnya memakai kain shuf[4].
Dari beberapa penjelasan yang diambil dari berbagai sumber, secara sepintas sulit bagi kita untuk memperoleh kepastian tentang asal kata istilah ”tasawwuf” (sufi) tersebut. Tetapi jika ditelusuri lebih jauh, akan diperoleh kejelasan yang lebih mendekati kebenaran. Jika istilah ”sufi’ berasal dari nama Ibnu Shauf, maka berarti pada zaman jahiliyah kehidupan kaum sufi telah ada di Mekkah. Padahal tidak ditemui fakta sejarah yang menyebutkan bahwa di mekkah – sejak Nabi SAW dilahirkan sampai hijrah ke madinah – ada nama dan kegiatan kaum sufi. Bahkan pada saat nabi SAW melakukan tahannuts di Gua Hira sampai turunnya wahyu yang pertama, tidak ada keterangan sedikitpun yang menyatakan bahwa ia melakukan hal itu karena meniru pola mengasingkan diri Ibnu Shauf adalah tidak wajar.
Sementara kata perkotaan berasal dari kata ”kota” dengan menyertakan awalan ”per” dan akhiran ”an”, adalah daerah atau kawasan kota atau kelompok pemukiman yang terdiri dari tempat tinggal dan tempat kerja pertanian[5].
Dengan demikian sufi perkotaan adalah kehidupan sekelompok orang (komunitas) yang dilakukan dengan penuh berbagai macam aktivitas ibadah di tengah keramaian kota.
Dapat dipahami bahwa sufi perkotaan sebuah gerakan positif oleh penduduk kota di tengah  corak dan gaya hidup kota yang penuh dengan gaya metropolisnya. Seperti individualistis, hedonisme, westernisme, modisme dan materialisme. yang membuah mereka menjadi jauh dari nilai dan kehidupan beragama sehingga rohaninya kosong dan gersang.

Memasuki tahun 2000-an, karen apertumbuhan konomi, sosial, budaya dan politik dan semakin menjamurnya rumah-rumah mewah, pusat-pusat perbelanjaan di samping penduduk yang memiliki latar belakang sosial berbeda pasti sedikit banyak mempengaruhi pola dan gaya hidup penduduk kota. Di antaranya adalah mereka banyak yang menderita penyakit kejiwaan karena tidak adanya porsi yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohaninya. Akhirnya menjadi mudah stress dan cepat mengambil keputusan hidup yang merugikan baik bagi dirinya sendiri ataupun orang lain. Pemandangan ini sangat sering dijumpai dan diberitakan baik melalui media cetak maupun elektronik dari panorama yang berbagai dinamikanya tersebut banyak penduduk kota yang mulai menaruh perhatian tentang pentingnya pemenuhan kebutuhan rohani di antaranya adalah pertama kajian Shahih Bukhari yang dimotori oleh para habaib dan Arab keturunan yang langsung dipimpin oleh habib Mundzir Mustawa, seorang tokoh muda yang mempunyai perhatian khusus terhadap pembinaan rohani (mental). Di samping kajian yang sifatnya teoritis tersebut. Pada saat tertentu mereka, kelompok yang menamakan diri dengan Majelis Rasulullah SAW mengadakan dzikir dengan melantunkan kalimat thayyibah (tahmid, takbir, tasbih, istighfar dan salawat) dalam jumlah tertentu (ribuan) dengan tempat yang berpindah-pindah. Jamaah majelis tersebut datang dari sekitar Jabodetabek dengan ragam dan unsur status sosial. Biasanya kegiatan rutinnya dilaksanakan pada minggu keempat setiap malam jumat. Suasana kota terutama di sekitar jalan Kebayoran Lama menjadi menarik sekali. Di samping aneka ragam umbul-umbul, ditambah dengan beliho besar yang penuh dengan foto, dipenuhi oleh ribuan jamaah dengan berbagai macam jenis kendaraan, pemandangan menarik lainnya adalah kedatangan dan kepulangan mereka ke tempat tinggal masing-masing. Membuat Jakarta kota metropolitan, berubah dengan nuansa kota santri seperti pakaian dan peci berwarna putih (peci haji dan baju kokoh) di samping kain sarung serta bendera yang dibawa oleh mereka terus berkibar.
Kelompok kedua adalah pengajian dzikir yang dipimpin oleh Ust. Arifin Ilham yang dipusatkan di masjid At-Tien Taman Mini Indonesia Indah. Acara ini disiarkan langsung oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia (TPI). Umumnya jamaah diajak berdzikir dengan jumlah tertentu penuh dengan kekhusyu’an sehingga banyak yang meneteskan air mata. Jama’ah diajak untuk mengenali dirinya siapa sebenarnya manusia itu, apa tujuan hidupnya di dunia, memperbanyak mensyukuri nikmat Allah SWT dan cinta Rasulullah SAW, banyak bertaubat (istighfar) yang pada akhirnya jiwa mereka menajdi tentram, senang dan penuh tawaddhu. Sebab apapun fungsi mereka dengan status sosial yang beraneka ragam akan menjumpai mati dan yang berat adalah dimintai pertanggungjawabannya atas semua perbuatan yang telah dilakukan. Salah satu simbolnya adalah mereka berpakaian serba putih, baik dari jama’ah perempuan maupun laki-laki. Pada momen-momen tertentu, mereka mengundan pejabat dan para tokoh negeri ini dengan melakukan dzikir bersama yang biasanya dilakukan ketika ada bencana alam yang terjadi di negeri ini.
Ketiga adalah pengajian Jama’ah dilaksanakan oleh Habaib baik dari keturunan Arab atau dari keturunan Arab Betawi. Organisasi ini dikenal dengan nama FUHAB (Forum Ulama dan habaib Betawi), kebetulan penulis berada di dalam kepengurusan. Anggota FUHAB tersebar di seluruh Jabodetabek. Pengajian yang dilakukan berbeda dengan sufi perkotaan lainnya. Mereka mempunyai kitab kajian (referensi) yang kebanyakan mengkaji ktab tasawuuf klasik  terutama krangan Imam al-Ghazali. para pengasuh diambil dari Kyai Sepuh yang sudah memasuki dunia sufi dalam hidup kesehariannya. Tawadhu dan karismatiknya begitu nampak ketika menyampaikan materi. Sebelum pengajian dimulai dibacakan riwayat Nabi Muhammad SAW seperti rawi barzanji, rawi Azab, rawi Simtu Durar, rawi Syaraful Anam dll. Diawali dengan pembacaan qasidah dan diakhiri dengen pembacaan tahlil sedcara bersama, terkadang dilengkapi dengan makan nasi kebuli bersama-sama. Peserta pengajian umumnya para assatidzah dari berbagai majelis ta’lim. Usia jamaah pengajian habaib biasanya mayoritas orang tua, jarang ada anak muda yang bergabung. Hal ini menunjukkan keseriusan mereka dalam memperdalam kehidupan sufi yang sudah menjauhi hidup duniawi, tingkat kezuhudan mereka nampak dari cara berpakaian, tetapi tidak mengurangi keidahan dan kebersihan.
Dari ketiga fenomena sufi perkotaan tersebut berbeda satu dan lainnya. ada karakteristik tersendiri yang menjadi ciri khasnya. Tetapi mempunyai muara yang sama yaitu dalam rangka meningkatkan ibadah kepada Allah SWT dan menghidupkan sunnah-sunnah rasul-Nya. Dengan memperbanyak atau paling tidak seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani salam menjalani sisa hidup di dunia. Tidak bisa memang mereka disatukan karena berangkat dari materi kajian yang berbeda di samping juga kominutas dan sasaran gerakan yang berbeda pula. Namun demikian keberadaan mereka sebagai gerakan sufi perkotaan yang berada di tengah kota seperti Jakarta ini merupakan fenomena tersendiri bagi kota Jakarta sebagai ibu kota negara yang penuh hingar-bingar, aneka gaya hidup, budaya serta kemodernan masyarakatnya.

Kecendurungan hidup bahagia bagi setiap manusia merupakan fitrah. Apalagi seorang muslim pasti menjadi keharusan, bahkan doa ini setiap saat dibaca, seperti:

Ya Tuhan kami, Berilah kami kebaikan dunia dan akhirat dan serta selamatkanlah kami dari api neraka.

Bahagia mempunyai ukuran yang berbeda antara satu orang dengan orang lain. Ada yang berkata bahagia itu diukur dari banyaknnya materi yang didapatkan, yang lain mengukurnya dari keberhasilan karir, ilmuan dan seterusnya. Ukuran-ukuran tersebut bisa jadi benar jika diukur dari segi material, namun banyak orang sukses tetapi mengakhiri hidupnya denga bunuh diri. Merusak dan membunuh karakter kepribadiannnya dengan cara melakukan perbuatan yang tidak terpuji, seperti tindakan-tindakan asosial. Faktor utamanya adalah jiwa mereka yang kosong dari nilai-nilai rohaniah. Sementara nilai tersebut hanya terdapat dalam ku\omunitas dan tempat tertentu saja yaitu masjid, psantren dan majlis ta’lim, kelompok zikir atau kajian-kajian tasawwuf.
Pada kelompok-kelompok zikir dan kijan tasawwuf ini banyak terdapat para eksekutif, konsultan, ahli profesi, cendikiawan, politikus, ekonom, budayawan dan lain-lain. Mereka sangat sukses dalam kehidupan duniawinya, namun merasa kurang bahgia secara batiniah. Merasakan kegelisahan batin, ada kegelisahan dalam dirinya mereka yang menuruti nafsu lawwamah dengan mengambil jalan yang justru menambah kegersangan diri. Seperti ke diskotik, pub, dari satu hotel ke hotel lain. Tetapi tidak sedikit juga yang menempuh jalan yang benar dengan merapatkan diri kepada agama, yaitu melalui pendalaman ibadah. baik berupa ibadah mahdhah ataupun pendalaman zikir melalui dengan berbagai m,acam kegiatan. Sekarang ini banyak sekali kegiatan keagamaan baik melalui perorangan atau lembaga sepertikajian Shahih Bukhari, Zikir Akbar setiap malam jumat. Bahkan terkadangan dilakukan ditempat terbuka.
-          Kajian kitab Hikam yang sangan mnekankan hidup dekat dengan tasawwuf
-          Kajian zikir dan salawat
-          Msjelis Maulid
-          Istighatsah
-          Qiyamul Lail
-          Ziarah makam para wali dan sufi
Kegiatan kerohanian dalam bentuk zikir semakin hari semakin menambah dan peningkatan intensitas, baik pertemuan kajian kitab atau pemahaman dan penghayatan zikir. Baik secara pribadi kajian dengan jumlah tertentu atau dilakukan secara berjamaah dengan jumlah yang lebih besar. Lambat laun namun pasti mereka yang istiqamah mengikuti kegiatan rohani bertambah mantap keimanan dan ketaqwaan, serta qanaah dalam menjalani kenyataan hidup. Jika mereka kaya tidak membuat mereka angkuh dan lupa diri, jika jatuh usaha dan karir mereka tidak menjadikan mereka lemah dan putus asa. Mereka memahami kesemua itu kecil dan tidak mempunyai  nilai apa-apa jika dibandingkan dengan rahmat Allah. Ternyata kekayaan materi yang mereka punyai tidaklah dapat menjaga diri dan mendatangkan ketentraman hati. Pola dan cara pandang mereka menghadapi kehidupan bukan saja didasari oleh teori yang bersifat eksak, namun juga sudah lebih banyak pada pola pikir yang didasari oleh nilai-nilai ilahiyyah (spiritual).
Kekayaan hakiki ialah mencukupkan apa yang ada dan sudi menerima walaupun berlipat ganda beratus ribu milyard, sebab Dia nikmat Tuhan, dan tidaklah jumlahnya berkurang, sebab Dia datang dari sana akan kembali ke sana[6].
Sikap seperti ini tidaklah mudah didapat dengan serta-merta. Tetapi mebutuhkan latihan yang lama dan banyak pengorbanan yang dibutuhkan, waktu bahkan perasaan terutama hawa nafsu. jadi ketentraman hati dan ketangan jiwaitulah yang mereka cari para peserta kajian tasawwuf dan zikir perkotaan.
Sunggunnya hati yang tentram dan pikiran yang hening memberi bekas yang nyata untuk kebahgiaan manusia, bahkan inilah kebahagian sejati[7].
Kebersihan jiwa memang harus dipelihara, jiwa adalah harta yang tidak ternilai harganya kesucian jiwa menyebabkan kebersihan diri, lahir dan batin. Manusia makhluk yang lengkap dengan potensi baik dan buruk jadi dinamika salah benar adalah bagian hidup manusia. Tidak ada yang salah terus-menerus tetapi tidak ada juga yang berbuat kebaikan tanpa cacat. Di sinilah menggosok kesucian batin mempunyai peranan kebahagiaan baru didapat setelah melalui susah payah yang berkepanjanganan, jadi bahagia itu ada di dalam diri, bukan dari luar.
Dengan berjamurnya pertumbuhan pengajian model sufi di jakarta khussunya membawa fenomena tersendiri dalam masyarakat baik politik, ekonomi, sosial-budaya fenomena ini sidah pasti mempengaruhi pola hidup sikap dan karakter masyarakat. Seperti sikap individualistis, berpacu dengan waktu, persaingan hidup, ketidakamanan, rasa mementingkan diri yang tinggi. Kebutuhan hidup yang tidak menentu. Semua itu membuat orang mudah pesimis, tidak tenang hidupnya dan stress yang berkepanjangan. Penyakit ini bukan saja menimpa orang yang lamah secara finansial, dan sosial saja, mereka sudah terbiasa akan hal itu. Melainkan yang ironis justr menimpa para orang sukses dalam karirnya kenapa bisa seperti itu karena jasmani mereka basah tetapi rohaninya kering. Selama ini banyak berkembang dalam masyarakat kita sebuah pandangan stereoptipe,dikotomisasi antara dunai dan akhirat, antara unsur-unsur kebendaan dan agama, kasat mada dan tidak, metrialisme dan orientasi nilai-nilai Ilahiyyah semata. Mereka yang memilih keberhasilan secara vertikal cenderung berpikir bahwa kesuksesan dunia adalah sesuatu yang bisa dinisbikan, atau sesuatu yang tidak sedemikian mudahnya dimarginalkan. Hasilnya mereka unggul dalam kakuasaan zikir dan kekhitaman berkontemplasi namun menjadi kalah dalam percaturan ilmu pengetahuan, sosial, politik dan perkembangan alam secara horizontal[8].
Begitupun sebaliknya yang berpijak hanya pada kebandaan kekuatan berpikirnya tidak pernah diimbangi oleh kekuatan zikir, rialitas kebendaannya masih membelenggu hati tidak memudahkan baginya untuk berpijak pada alam fitrahnya yang hidup perkotaan berada di tengah. Artinya meninggalkan pikir, banyak zikir atau banyak zikir tetapi melupakan pikir tidak boleh dipisahkan harus ada perpaduan harmonis. Sehingga membawa hidup menjadi benar. Sufi perkotaan tidak ada dikotomi antar kebutuhan materi dengan spiritual yang menyebabkan peserta jamiyyah menjadi kerasan. Bahkan terus meningkat jumlah zikir yang dibacanya. Semakin banyak itu dilakukan betambah kuat nilai spritual inilah yang melekat pada dirinya. Tidak heran jika mereka kerasan mengikuti semua yang menjadi petunjuk dan arahan guru yang menjadi idola. Meskipun harus mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran. Terkadang harus berhadapan dengan kondisi iklim. Semua itu terkonpensasi dengan ketenangan datin karena jiwanya penuh dengan nilai spiritual.


[1] Aboebakr Atceh, engantar Sejarah Sufi dan Tasauf, (Solo: 1989), hal. 25 -26
[2] Abu al-Wafa al-Ghanimi at-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. (Bandung: 1985), hal. 21
[3] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: 1992) hal. 56 - 57
[4] Drs. H. Abdul Qadir Djaelani, Korelasi Terhadap Ajaran Tasawwuf, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, hal. 15
[5] Departemen Pendidika, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996, hal. 528
[6] Prof. DR. Hamka, Tasawwuf Modern, Jakarta, Porujas, 1987, hal. 190
[7] Prof. DR. Hamka, Op. Cit, hal. 193
[8] Ary Ginanjar, ESQ, Arga, hal. 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar