Islam, Demokrasi
dan Kultur Politik
Hubungan Islam
dan demokrasi msih menjadi tema yan menarik dan belum tuntas. Wacana yang
berkembang lebih banyak pro-kontranya daripada penerapan atau formalisasi
syari’at Islam.
Faktor utama
yang menyebabkan perdebatan formalisasi syariat Islam berjalan di tempat. Baik
pada pandangan yang pro maupun kontra terjebak pada argumentasi-argumentasi
yang umum(generic). Landasan argument yang generic ini akan menghadapi
persoalan serius manakala dibenturkan dengan masalah-masalah particular,
seperti syariat sebagaimana dipahami siapa yang akan diterapkan, bagaimana
model negara Isla, masih relevankah konsep fiqh siyasah yang dirumuskan
al-Mawardi, Ibn Taimiyah untuk dipergunakan saat ini dans seterusnya.
Bagaimana
formulasi Islam tentang demokrasi. Untuk kita di Indonesia , demokrasi masih
merupakan satu agenda politik yang masih sering diperdebatkan.
Seperti dapat
diterima atau masih dapat diperjuangkan dalam kehidupan politik Indonesia ?
Dari perspektif
yang lebih luas, yaitu demokrasi yang ditandai dengan adanya kebebasan di
negara-negara berkembang. Ini menarik dicermati, karena tuntutan demokratisasi
muncul seiring dengan kebangkitan agama-agama dalam konteks global yang
dinamis. Orang beramai-ramai menyerukan kebangkitan agama dan demokratisasi,
sehingga keduanya menjadi tema penting dalam persoalan dunia dewasa ini.
Dalam knteks
Islam, kecenderungan global yang disebut Huntington
sebagai ‘gelombang demokratisasi ketiga’ memunculkan pertanyaan sendiri.
Khususnya negara dunia ketiga yang mengalami perkembangan demokrasi, tetapi
negara dunia Islam tidak memperlihatkan tanda-tanda kea rah itu.
Berdasarkan data
index kebebasan yang dikeluarkan oleh Freedom House (1998), ditemukan bahwa
selama 25 tahun terakhir, negara-negara Muslim di dunia yang berjumlah 48
negara umumnya gagal untuk membentuk suatu politik demokratis. Selama periode
itu, hanya ada satu negara Muslim yang berhasil membentuk demokrasi sepenuhnya
selama lebih dari lima tahun, yaitu Mali .
Negara semi-demokrasi berjumlah 12 negara. Sisanya adalah negara otoritarian. Bahkan
mayoritas rezim-rezim yang represif di dunia pada akhir 90-an adalah
negara-negara Muslim.
Dibandingkan
dengan rezim negara-negara non-Muslim, tidak adanya Demokrasi di dunia Muslim
adalah sangat signifikan. Sebagai salah satu contoh kasus adalah negara pecahan
Uni Soviet. Diantaranya ada enam negara dengan penduduk mayoritas Muslim: Azerbaijan , Katzakistan, Kirgistan, Turmenistan , Tajikistan
dan Uzbekistan .
Negara-negara Muslim ini telah muncul sebagia negara otoritarian baru,
sementara negara-negara lain menjadi lebih demokratis. Cyprus juga menyuguhkan fenomena
menarik. Negara ini dibagi menjadi Cyprus Yunani dan Cyprus Turki, dengan
tingkat kedemokrasian yang berbeda. Cyprus Yunani lebih demokratis daripada
Cyprus Turki.
Banyak hal yang
betanggungjawab atas tidak bekerjanya demokrasi di Dunia Islam. Salah satunya
yang paling penting adalah lemahm\nya kultur politik dinegara-negara tersebut.
Kultur politik ini berkaitan dengan orientasi psikologis terhadap objek sosial,
atau sikap individu terhadap sistem politik dan terhadap dirinya sebagai actor
politik.
Ditilik dari
sejarah adan tradisi Islam, kita mencatat tidak berkembangnya wacana kewargaan(citizenship). Bahkan di dalam bahasa Arab , Persia
dan turki tidak ada kata yang tepat yang dapat mewakili kata warga(citizen). Kata yang sebada dengan kata
tersebut yang biasa digunakan dalam setiap bahasa hanya berarti penduduk(sukkan) dan gembalaan(ra’iyah) yang kemudian di-Indonesia-kan
menjadi kata rakyat. Kata tersebut tidak mewakili kata citizen yang berasal dari kata civis
dan telah menjadi kebijakan politik Yunani yang berarti “seseorang yang ikut
serta dalam masalah-masalah kebijakan politik pemerintah”. Kata ini(citizen) tidak ada dalam bahasa Arab
ataupun bahasa Dunia Muslim lainnya disebabkan tidak dikenalnya pemikiran atau
ide “warga ikut serta dalam kebijakan olitik”.
Oleh karena itu,
tugas utama dalam rangka to make
democracy work adalah menumbuhkembangkan kultur politik yang menyokong
perkembangan demokrasi di Tanah Air. Sebab manusia bukanlah sekedar individu
yang ‘digembalakan’ namun sebagai warga negara yang mempunyai hak-hak demokrasi
terutama hak untuk memilih, mengawasi dan menurunkan pemerintahan, di samping
hak untuk bebas berpikir berkespresi, mengutarakan pendapat, berkumpul,
mendirikan partai, berasosiasi dan berorganisasi, hak mendapatkan pendidikan,
pekerjaan, kesetaraan, persamaan kesempatan, dan sebagainya.
DEFISIT
DEMOKRASI DI DUNIA ISLAM
Perbincangan
tentang Islam dan Demokrasi telah mulai mendapat tempat signifikan dalam
pemikiran politik Islam modern. Dlam upaya untuk menemukan suatu basis
ideologis yang diterima oleh semua kalangan masyarakat muslim mulai merambah
misi bari untuk
merekonsiliasi perbedaan-perbedaan antara berbagai kelompok politik.
Lewat tulisan
yang didasarkan pada hipotesis bahwa Islam dan Demokrasi saling memperkuat ini.
penulis bermaksud menkaji titik temu antara ISalm dan Demokrasi. Ada dua hal yang menjadi
fokus kajian. Petama berkaitan dengan elemen-elemen fonomologis yang mengandung
perdebatan apakah Islam cocok dengan Deokrasi atau tidak. Kedua, berkaitan
dengan akar-akar demokrasi dalam pengalaman Islam.
Bagi sebagian
kalangan, terutama dari kalangan kademis dan dunai Barat, wacana mutakhir
tentang Islam memuncukan keraguan seruis mengenai kompatabilitas Islam dan
demokrasi. Alasan yang kerap dikemukakakn adalah kaum revivalis Muslim punya
kelemahan dalam hal komitmen mereka terhadap pluralisme demokrasi. Akibatnya
negara-negara dunia Islam selalu gagal dalam upaya membentuk suatu sistem
politik demokratis.
DEMOKRASI
PANCASILA
Demokrasi
berasal dari kata demos yang berarti
rakyat dan cratos yang berarti
pemerintahan. Demokrasi berarti Pemertintahan Rakyat, yakni dari, dengan dan
untuk rakyat.
kata Demokrasi
dewasa ini telah mengalami distorsi dalam penggunaannyam di mana negara-negara
yang menamakan dirinya negara demokrasi, dalam kenyataannya menerapkan mekanika
dan struktur politik yang berbeda.
Dalam hal
tersebut dapat diambil contoh Uni Soviet, yang menakaman dirinya sebagai negara
demokrasi. Namun penerapan mekanisme politiknya menjadi sentralisme, karena
hanya terdapat satu partai dalam satu negara. Dus demokrasi di sini berdasar
mayoritas atas minoritas, darimpermulaan dulu yang memperoleh kursi mutlak
dalam pemilu atau melalui jalan revolusi.
Amerika Serikat
juga menamakan dirinya sebagai negara demokrasi. Namun di sna tidak terdapat
demokrasi ekonomi, melainkan corak sistem perekonomiannya bersifat liberal.,
sedangkan demokrasi sosialnya agak menipis. Di negara-negara Eropa Barat
misalnya, yang biasanya diilhami oleh penerapan liberalisme di bidang politik,
timbyl berbagai partai politik dalam
negara., di mana negara-negara ini pun menamakan dirinya sebagai negara
demokratis. Hampir saja Indonesia
terperosok pada demokrasi liberal ala Eropa Barat, dan terperosok pula oleh
demokrasi sentralisme versi Nasakom.
Tetapi Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tahu akan harga
diri, di mana nilai-nilai budaya bangsa masih segar dalam sanubari bangsa Indonesia yang turun temurun, maka Indonesia
yang dikemudi oleh para pengemudi yang salah arah itu dapat diakhiri. Hasilnya
kita dapat menemukan kebali kepribadian kita, terutama dalam hal
ketatanegaraan, dengan penerapan sistem pemerintahan rakyat yang sesuai
situasi, kndisi dan kepribadian yang turun temurun yakni Demokrasi Pancasila.
Pancasila bagi bangsa Indonesia telah berada dalam sanubari bangsa Indonesia,
berurat berakar sebagai pandangan hidup, sebagai weltanschauung bangsa, sebagai ideology pemersatu bangsa, sebagai
pegangan dan pedoman hidup bangsa, sebagi sikap mental dan moral bangsa.
Pancasila bagaikan mutiara-mutiara yang terpendam beratus tahun lamanya, yang
kemudian dapat ditemukan kembali pada 1945 oleh putra-putra Indonesia yang terhimpun dalam Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia .
Dengan melihat kenyataan
negara-negara yang menganut paham demokrasi, baik meraka yang mengelompkkan
diri sebagai blok barat atau timur, namun bangsa Indonesia
dapat menemukan sendiri sistem pemerintahan rakyatnya yang sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia
yang turun temurun sejak zaman dahulu.
Untuk mengerti
Demokrasi Pancasila, maka sebagai bahan pelajaran untuk mempelajarinya lebih
jauh tertuang dalam bahan-bahan pokok di bawah ini;
Pembukaan UUD
1945 antara lain berisi
-
Negara Republik Indonesia yang
berkadaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
-
Kedaulatan adalah di tangan
rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
-
Pokok ketiga yang terkandung dalam
“Pembukaan” ialah negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas
permusyawaratan/perwakilan.
Menurut mantan
Presiden Soeharto, “Demokrasi yang kita jalankan adalah ‘Demokrasi Pancasila’
yang norma-norma pokokny, hukum-hukum dasarnya telah diatur dalam UUD 1945”.
ISLAM DAN
DEMOKRASI PENGALAMAN EMPIRIK YANG TERBATAS
Seperti yang
sudah diungkapkan banyak kalangan, termasuk di dalamnya Abd. al-Laah Yusuf Ali
di dalam The Holy Quran serta Munawir
Syadzali(1991), walaupun begitu dikatakan pengalaman empiric demokrasi dalam
Islam sangatlah terbatas, ketika masa Pemerintahan Rasulullah sendiri yang
kemudian dilanjutkan oleh keempat sahabatnya, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali
ibn Abi Thalib, yang dikenal dengan zaman khulafa
al-Rasyidin. Setelah pemerintahan keempat sahabat tersebut menurut catatan
sejarah sangat sulit kita temukan demokrasi Islam secara empiric sampai dengan
sekarang ini.
Sungguh ini adalah kerusakan yang besar, kekafiran yang nyata serta kemurtadan yang nampak jelas bagi pemeluk Islam yang ridha dengannya atau mendukungnya apalagi menerapkan atau melindunginya. Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
BalasHapus“…barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al Maidah [5]: 44). Lihatlah realita para demokrat serta para pendukungnya justeru adalah sebagaimana yang Allah Subhaanahu Wa Ta’ala firmankan: ُّ“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafiq menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu”. (QS. An Nisa [4]: 61)