Minggu, 08 Juli 2012

ISLAM DAN DEMOKRASI


Islam, Demokrasi dan Kultur Politik



Hubungan Islam dan demokrasi msih menjadi tema yan menarik dan belum tuntas. Wacana yang berkembang lebih banyak pro-kontranya daripada penerapan atau formalisasi syari’at Islam.

Faktor utama yang menyebabkan perdebatan formalisasi syariat Islam berjalan di tempat. Baik pada pandangan yang pro maupun kontra terjebak pada argumentasi-argumentasi yang umum(generic). Landasan argument yang generic ini akan menghadapi persoalan serius manakala dibenturkan dengan masalah-masalah particular, seperti syariat sebagaimana dipahami siapa yang akan diterapkan, bagaimana model negara Isla, masih relevankah konsep fiqh siyasah yang dirumuskan al-Mawardi, Ibn Taimiyah untuk dipergunakan saat ini dans seterusnya.

Bagaimana formulasi Islam tentang demokrasi. Untuk kita di Indonesia, demokrasi masih merupakan satu agenda politik yang masih sering diperdebatkan.

Seperti dapat diterima atau masih dapat diperjuangkan dalam kehidupan politik Indonesia?

Dari perspektif yang lebih luas, yaitu demokrasi yang ditandai dengan adanya kebebasan di negara-negara berkembang. Ini menarik dicermati, karena tuntutan demokratisasi muncul seiring dengan kebangkitan agama-agama dalam konteks global yang dinamis. Orang beramai-ramai menyerukan kebangkitan agama dan demokratisasi, sehingga keduanya menjadi tema penting dalam persoalan dunia dewasa ini.

Dalam knteks Islam, kecenderungan global yang disebut Huntington sebagai ‘gelombang demokratisasi ketiga’ memunculkan pertanyaan sendiri. Khususnya negara dunia ketiga yang mengalami perkembangan demokrasi, tetapi negara dunia Islam tidak memperlihatkan tanda-tanda kea rah itu.

Para sarjana Muslim membagi Islam dan Demokrasi, yaitu: (1). Islam dan Demokrasi dipandang sebagai dua sistem politik yang berbeda, Islam dan Demokrasi bersifat eksklusif, Islam merupakan sistem politik sempurna untuk dijadikan alternative terhadap Demokrasi. (2). Islam berbeda dengan Demokrasi sebagaimana dipraktekan di Barat, Islam sebagai sistem politik dalam Demokrasi Substantif, yaitu demokrasi yang dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan dengan prinsisp mayoritarian. (3). Islam dipandang sebagai suatu sistem nilai yang akomodatif terhadap Demokrasi yang didefinisikan dan dipraktekkan secara prosedural. Kendati demikian pandangan-pandangan ini belum terwujud dengan baik dai dalam masyarakat Muslim.

Berdasarkan data index kebebasan yang dikeluarkan oleh Freedom House (1998), ditemukan bahwa selama 25 tahun terakhir, negara-negara Muslim di dunia yang berjumlah 48 negara umumnya gagal untuk membentuk suatu politik demokratis. Selama periode itu, hanya ada satu negara Muslim yang berhasil membentuk demokrasi sepenuhnya selama lebih dari lima tahun, yaitu Mali. Negara semi-demokrasi berjumlah 12 negara. Sisanya adalah negara otoritarian. Bahkan mayoritas rezim-rezim yang represif di dunia pada akhir 90-an adalah negara-negara Muslim.

Dibandingkan dengan rezim negara-negara non-Muslim, tidak adanya Demokrasi di dunia Muslim adalah sangat signifikan. Sebagai salah satu contoh kasus adalah negara pecahan Uni Soviet. Diantaranya ada enam negara dengan penduduk mayoritas Muslim: Azerbaijan, Katzakistan, Kirgistan, Turmenistan, Tajikistan dan Uzbekistan. Negara-negara Muslim ini telah muncul sebagia negara otoritarian baru, sementara negara-negara lain menjadi lebih demokratis. Cyprus juga menyuguhkan fenomena menarik. Negara ini dibagi menjadi Cyprus Yunani dan Cyprus Turki, dengan tingkat kedemokrasian yang berbeda. Cyprus Yunani lebih demokratis daripada Cyprus Turki.

Banyak hal yang betanggungjawab atas tidak bekerjanya demokrasi di Dunia Islam. Salah satunya yang paling penting adalah lemahm\nya kultur politik dinegara-negara tersebut. Kultur politik ini berkaitan dengan orientasi psikologis terhadap objek sosial, atau sikap individu terhadap sistem politik dan terhadap dirinya sebagai actor politik.

Ditilik dari sejarah adan tradisi Islam, kita mencatat tidak berkembangnya wacana kewargaan(citizenship). Bahkan di dalam bahasa Arab, Persia dan turki tidak ada kata yang tepat yang dapat mewakili kata warga(citizen). Kata yang sebada dengan kata tersebut yang biasa digunakan dalam setiap bahasa hanya berarti penduduk(sukkan) dan gembalaan(ra’iyah) yang kemudian di-Indonesia-kan menjadi kata rakyat. Kata tersebut tidak mewakili kata citizen yang berasal dari kata civis dan telah menjadi kebijakan politik Yunani yang berarti “seseorang yang ikut serta dalam masalah-masalah kebijakan politik pemerintah”. Kata ini(citizen) tidak ada dalam bahasa Arab ataupun bahasa Dunia Muslim lainnya disebabkan tidak dikenalnya pemikiran atau ide “warga ikut serta dalam kebijakan olitik”.

Oleh karena itu, tugas utama dalam rangka to make democracy work adalah menumbuhkembangkan kultur politik yang menyokong perkembangan demokrasi di Tanah Air. Sebab manusia bukanlah sekedar individu yang ‘digembalakan’ namun sebagai warga negara yang mempunyai hak-hak demokrasi terutama hak untuk memilih, mengawasi dan menurunkan pemerintahan, di samping hak untuk bebas berpikir berkespresi, mengutarakan pendapat, berkumpul, mendirikan partai, berasosiasi dan berorganisasi, hak mendapatkan pendidikan, pekerjaan, kesetaraan, persamaan kesempatan, dan sebagainya.



DEFISIT DEMOKRASI DI DUNIA ISLAM

Perbincangan tentang Islam dan Demokrasi telah mulai mendapat tempat signifikan dalam pemikiran politik Islam modern. Dlam upaya untuk menemukan suatu basis ideologis yang diterima oleh semua kalangan masyarakat muslim mulai merambah misi bari untuk merekonsiliasi perbedaan-perbedaan antara berbagai kelompok politik.

Lewat tulisan yang didasarkan pada hipotesis bahwa Islam dan Demokrasi saling memperkuat ini. penulis bermaksud menkaji titik temu antara ISalm dan Demokrasi. Ada dua hal yang menjadi fokus kajian. Petama berkaitan dengan elemen-elemen fonomologis yang mengandung perdebatan apakah Islam cocok dengan Deokrasi atau tidak. Kedua, berkaitan dengan akar-akar demokrasi dalam pengalaman Islam.

Bagi sebagian kalangan, terutama dari kalangan kademis dan dunai Barat, wacana mutakhir tentang Islam memuncukan keraguan seruis mengenai kompatabilitas Islam dan demokrasi. Alasan yang kerap dikemukakakn adalah kaum revivalis Muslim punya kelemahan dalam hal komitmen mereka terhadap pluralisme demokrasi. Akibatnya negara-negara dunia Islam selalu gagal dalam upaya membentuk suatu sistem politik demokratis.



DEMOKRASI PANCASILA

Demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan cratos yang berarti pemerintahan. Demokrasi berarti Pemertintahan Rakyat, yakni dari, dengan dan untuk rakyat.

kata Demokrasi dewasa ini telah mengalami distorsi dalam penggunaannyam di mana negara-negara yang menamakan dirinya negara demokrasi, dalam kenyataannya menerapkan mekanika dan struktur politik yang berbeda.

Dalam hal tersebut dapat diambil contoh Uni Soviet, yang menakaman dirinya sebagai negara demokrasi. Namun penerapan mekanisme politiknya menjadi sentralisme, karena hanya terdapat satu partai dalam satu negara. Dus demokrasi di sini berdasar mayoritas atas minoritas, darimpermulaan dulu yang memperoleh kursi mutlak dalam pemilu atau melalui jalan revolusi.

Amerika Serikat juga menamakan dirinya sebagai negara demokrasi. Namun di sna tidak terdapat demokrasi ekonomi, melainkan corak sistem perekonomiannya bersifat liberal., sedangkan demokrasi sosialnya agak menipis. Di negara-negara Eropa Barat misalnya, yang biasanya diilhami oleh penerapan liberalisme di bidang politik, timbyl berbagai partai politik dalam  negara., di mana negara-negara ini pun menamakan dirinya sebagai negara demokratis. Hampir saja Indonesia terperosok pada demokrasi liberal ala Eropa Barat, dan terperosok pula oleh demokrasi sentralisme versi Nasakom.

Tetapi Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tahu akan harga diri, di mana nilai-nilai budaya bangsa masih segar dalam sanubari bangsa Indonesia yang turun temurun, maka Indonesia yang dikemudi oleh para pengemudi yang salah arah itu dapat diakhiri. Hasilnya kita dapat menemukan kebali kepribadian kita, terutama dalam hal ketatanegaraan, dengan penerapan sistem pemerintahan rakyat yang sesuai situasi, kndisi dan kepribadian yang turun temurun yakni Demokrasi Pancasila. Pancasila bagi bangsa Indonesia telah berada dalam sanubari bangsa Indonesia, berurat berakar sebagai pandangan hidup, sebagai weltanschauung bangsa, sebagai ideology pemersatu bangsa, sebagai pegangan dan pedoman hidup bangsa, sebagi sikap mental dan moral bangsa. Pancasila bagaikan mutiara-mutiara yang terpendam beratus tahun lamanya, yang kemudian dapat ditemukan kembali pada 1945 oleh putra-putra Indonesia yang terhimpun dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Dengan melihat kenyataan negara-negara yang menganut paham demokrasi, baik meraka yang mengelompkkan diri sebagai blok barat atau timur, namun bangsa Indonesia dapat menemukan sendiri sistem pemerintahan rakyatnya yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang turun temurun sejak zaman dahulu.

Untuk mengerti Demokrasi Pancasila, maka sebagai bahan pelajaran untuk mempelajarinya lebih jauh tertuang dalam bahan-bahan pokok di bawah ini;

Pembukaan UUD 1945 antara lain berisi

-          Negara Republik Indonesia yang berkadaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

-          Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

-          Pokok ketiga yang terkandung dalam “Pembukaan” ialah negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas permusyawaratan/perwakilan.

Menurut mantan Presiden Soeharto, “Demokrasi yang kita jalankan adalah ‘Demokrasi Pancasila’ yang norma-norma pokokny, hukum-hukum dasarnya telah diatur dalam UUD 1945”.



ISLAM DAN DEMOKRASI PENGALAMAN EMPIRIK YANG TERBATAS

Seperti yang sudah diungkapkan banyak kalangan, termasuk di dalamnya Abd. al-Laah Yusuf Ali di dalam The Holy Quran serta Munawir Syadzali(1991), walaupun begitu dikatakan pengalaman empiric demokrasi dalam Islam sangatlah terbatas, ketika masa Pemerintahan Rasulullah sendiri yang kemudian dilanjutkan oleh keempat sahabatnya, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali ibn Abi Thalib, yang dikenal dengan zaman khulafa al-Rasyidin. Setelah pemerintahan keempat sahabat tersebut menurut catatan sejarah sangat sulit kita temukan demokrasi Islam secara empiric sampai dengan sekarang ini.

1 komentar:

  1. Sungguh ini adalah kerusakan yang besar, kekafiran yang nyata serta kemurtadan yang nampak jelas bagi pemeluk Islam yang ridha dengannya atau mendukungnya apalagi menerapkan atau melindunginya. Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
    “…barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al Maidah [5]: 44). Lihatlah realita para demokrat serta para pendukungnya justeru adalah sebagaimana yang Allah Subhaanahu Wa Ta’ala firmankan: ُّ“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafiq menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu”. (QS. An Nisa [4]: 61)

    BalasHapus