I. PENDAHULUAN
Setiap muslim berkewajiban meneriman hadits sebagai pedoman hidup di
samping al-Quran sebab hukum yang kedua setelah Al-Quran hadits merupakan
penjelas tentang aturan hidup terutama ketentuan hukumnya, cara mengamalkannya
tidak diperincikan menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan
menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Quran, hendaklah dicarikan
penyelesaiannya dalam hadits.
Oleh karena itu menjadi kewajiban kita untuk memahami as-Sunnah dengan
benar dan tepat, jauh daripada penyelewengan dan pengkaburan maksud dan makna
hadits tersebut. Apalagi hadits yang
mempunytai arti dan pengertian luas terutama yang berkaitan dengan pengembangan
dunia.
Sehingga untuk memahami
as-sunnah an-nabawiyah dengan sebaik-baikinya, jeli dan teliti, hendaklah
dilihat kepada sebab-sebab khusus kenapa hadits itu berlaku atau perlu
pemikiran lain karena ada alas an dan illat disesuaikan dengan perubahan suatu
zaman, dengan kata lain sebuah hadits bisa berubah penerapannya.
Orang yang benar-benar membuat
penelitian yang mendalam akan mendapati ada hadits yang hanya mengenai
keadaan-keadaan tertentu sesuai untuk masalah ketika itu atau untuk mengelakkan
bencana ketika itu atau untuk membetulkan keadaan yang berlaku saat itu.
Ini berarti hukum yang
terdapat di dalam hadits itu seklaipun zahirnya umum dan berkekalan tetapi
setelah diteliti ia diasaskan kepada suatu sebab sehingga makna dan tujuan
hadits bisa diperluas arti dan maksudnya. Karena ada alasan yang mendukung
dengan kata lain hadits bisa dilihat dari konteks dan kontekstualitasnya. Mana
yang dominan khususnya bila dilihat dari perkembangan yang menyangkut sosial,
budaya, hukum, ekonomi dan kemasyaratan lainnya.
II. DEFINISI AS-SUNNAH
2.1.
Sunnah Menurut Ulama Ushl Fiqh
Dari penggunaan kata sunnah yang popular di awal Islam ini,
maka ulma ushl fiqh mengambil istilah ini dengan menyifatinya sebagai sumber
syariat yang mendampingi al-Quran. Mereka mendefinisikannya sebagai
berikut:
Sunnah ialah ucapan, perbuatan,
atau ketetapn dari Nabi SAW yang kesemuanya merupakan thariqah Nabi SAW dalam
memahami Islam dan dalam megemalkannya[1].
2.2. Sunnah Menurut Para Fuqaha
Sunnah menurut fuqaha ialah hukum syara yang ditetapkan oleh dalil untuk
dikerjakan. Dengan akat lain sunnah menurut fuqaha adalah salah satu hukum
syara[2].
2.3. Sunnah
Menurut Ulama Hadits
Para ulama hadits menambahkan
definisi ulama ushl fiqh sebagai berikut:
Sunnah ialah ucapan atau perbuatan,
ketetapan atau sifat maupun sirah Rasulullah SAW[3].
III. HADITS MENURUT ASBABUL WURUD, KONTEKS, DAN MAKSUDNYA
Diantara pemahaman sunnah yang
baik ialah melihat hadits-hadits yang didasarkan kepada sebab-sebab khusus
(latar belakang) atau berkaitan dengan suatu illat tertentu yang merupakan
pemahaman dari realita yang disebutkan oleh hadits.
Bila dicermati seseorang akan
mendapatkan bahwa diantara hadits ada yang didasarkan pada pemeliharaan kondisi
tertentu demi suatu kemaslahatan atau mencegah suatu mafsadat, atau untuk
mengatasi suatu masalah yang terjadi saat itu.
Ini maknanya bahwa hukum yang dikandung hadits
terkadangn nampak besifat umum dan abadi. Namun setelah diteliti ternyata ia
tergantung pada suatu illat. Bila illat itu lenyap, maka (hukum) pun tidak ada.
Hal ini membutuhkan fiqh
(pemahaman) yang mendalam dan pengamatan yang jeli serta membutuhkan pengkajian
nash secara tuntas serta ditambah dengan pengetahuan yang matang tentang
maksud-maksud syariat. Sekalipun harus bertentangan dengan kebiasaan yang
berjalan di kalangan masyarakat. Jadi dituntut pemahaman hadits secara benar
dan matang, harus mengetahui tujuan nash dan menjelaskan konteksnya sehingga
maksud hadits menjadi jelas secara detail tidak mengandung sangkaan-sangkaan
atau raba-raba maka harus menggunakan meode yang benar.
Jika asbaabunnuzul begitu penting untuk memahami dan mantafsiri
al-Quran, maka asbabul wurud amat
penting untuk memahami hadits. Dngena demikian maka harus ada pemisahan antara
yang namanya khusus dengan umum, antara yang bersifat temporer dengan yang
tetap, antara yang bersifat juz’iy
dan kulliy, yang masing-masingpunya
hukum. Oleh karena itu mengamati asbabul
wurud, konteks dan tujuan hadits dapat membantu memahaminya secara benar.
IV. MEMAHAMI HADITS SECARA KONTEKSTUAL
4.1. Definisi Kontekstual
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata kontekstual berasal dari kata konteks bagian suatu uraian atau
kaliamat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna dua situasi yang
ada hubungannya dengan suatu kejadian, ada hubungannya dengan konteks. Kedua
istilah ini dapat dipergunakan karena bisa dipakai dalam memahami hadits[4].
4.2. Memahami Kontekstual Hadits
Dari sini pemahaman
kontekstual akan hadits menurut Edi Safri, adalah memahami hadits-hadits
Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa
atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadits-hadits tersebut, atau
dengan kata lain, dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya. (Edi Safri,
1990: 160). Dengan demikian asbab
al-wurud dalam kajian kontekstual dimaksud merupakan bagian yang paling
penting. tetapi kajian yang lebih luas tentang pemahaman kontekstual tidak
hanya terbatas pad asbab al-wurud
dalam arti khusus seperti yang biasa dipahami, tetapi lebih luas dari itu
meliputi: konteks historis-sosiologis, dimana asbaul wurud merupakan bagian
darinya.
Dengan demikian, pemahaman
kontekstual atas hadits Nabi berarti memahami hadits berdasarkan kaitannya
dengan peristiwa-peristiwa dan situasi
ketika hadits diucapkan, dan kepda siapa ditujukan. Artinya hadits-hadots Nabi
SAW hendaknya ditangkap makna san maksudnya hanya melalui redaksi lahiriyah
tanpa mengaitkannya dengan aspek-aspek kontekstualnya. Meskipun di sini
nampaknya konteks historis merupakan aspek yang paling penting dalam sebuah
pendekatan kontekstuan, namun konteks redaksional juga tidak dapat diabaikan
begitu saja. Konteks redaksional ini tak kalah penting dalam rangka membatasi
dan menangkap makna yang lebih luas (makna filosofis) sehingga hadits tetap
menjadi komunikatif.
Dari sini makna dalam
pendekatan kontsktual, seperti apa yang dikatakan Qamaruddin Hidayat, seorang
penafsir atau pembaca lalu memposisikan sebuah teks (hadits) ke dalam sebuah
jaringan wacana. Ibarat sebuah gunung es, sebuah teks adalah fenomen kecil dari
puncak gunung yang tampakdi permukaan. Oleh karena itu tenpa mengetahui latar
belakang sosial budaya dari mana dan dalam situasi apa sebuah teks muncul, maka
sulit menangkap pesan dari sebuah teks. (Qamaruddin Hidayat, 1996: 214).
Diantara cara yang baik untuk
memahami hadits Nabi SAW, ialah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang
melatarbelakangi diucapkannya suatu hadits, atau kaitannya dengan suatu illat
tertentu yang dinyatakan dalam hadits tersebut.
Siapa saja yang mau meneliti
dengan seksama pasti akan melihat bahwa diantara hadits-hadits, ada yang
diucapkan berkaitan dengan kondisi temporer khusus.
Ini berarti bahwa suatu hukum
yang dibawa oleh suatu hadits ada kalanya tampak bersifat umum dan kekal, namun
jika diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan
dengan illat tertentu , sehingga ia akan hilang dengan sendirinya.
Hal ini memerlukan pemahaman
yang mendalam, pandangan yang teliti, pengkajian yang meliputi semua nash,
serta wawasan yang luas untuk mengetahui tujuan-tujuaan syariat dan hakikat-hakikat
agama. Di samping itu juga diperlukan keberanian moril dan kemantapan kejiwaan
untuk mengungkapkan kebenaran, meskipun berlawanan denganapa yag telah menjadi
kebiasaan manusia atau telah mereka warisi.
Untuk dapat memahami dengan
pemahaman yang benar, haruslah diketauhi kondisi yang meliputinya serta dimana
dan untuk tujuan apa ia diucapkan.
Kita mengetahui bahwa para
ulama kita telah menyatakan bahwa untuk memahami al-Quran dengan benar,
haruslah diketahui tentang asbabun nuzul, maka untuk memahami sebuah hadits pun
dan menafsirkannya diperlukan asbabul wurud.
Bila al-Quran adalah universal
dan abadi, lain halnya dengan hadist, sebab ia memang menangani berbagai
masalah yang bersifat local, tertentu dan temporal. Di dalamnya pun juga
terdapat berbagai hal yang berifat khusus dan terperinci, yang tidak terdapat
di dalam al-Quran.
Oleh sebab itu haruslah
dilakukan pemilahan antara apa yang bersifatkhususu dan umum, tertentu dan
universal. Dengan memperhatikan konteks, kondisi lingkungan serta memperhatikan
asbabul wurudnya, pasti akan lebih mudah mencapai pemahaman yang tepat dan
lurus.
Lalu jika pemahaman suatu
hadits ditinjau dari kontekstualitasnya? Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan
beberapa hal yang dapat dijadikan pemahaman sebuah hadits secara kontekstual.
- Berdasarkan asbabul wurudnya
Contohnya hadits yang artinya:
“Kalian lebih mengerti urusan dunia
kalian”.
Hal itu berkenaan dengan
penyerbukan pohon kurma. Ketika itu Rasulullah SAW menyatakan pendapat belia
berdasarkan perkiraan semata-mata, yang berkenaan dengan soal penyerbukan.
Sedangkan beliau sendiri bukanlah seorang ahli pertanian. Bahkan beliau
dilahirkan dan dibesarkan di suatu dareah lembah yang tandus. Namun kaum anshar
mengira pendapat beliau adaah wahyu atau perintah agama, lalu mereka
meninggalkan kebiasaan atau cara bertanam kurma yang selama ini mereka lakukan,
akibatnya berpengaruh buruk pada buah kurma pada musim itu, lalu Rasulullah
menyatakan: “Sesungguhnya (pendapatku) itu hanyalah berdasarkan perkiraanku itu
karena yang lebih mengerti tentang urursan-urursan dnia adalah kaliah”[5].
- Berubahnya adat kebiasaan (‘Urf)
Adalah perlu juga mempertimbangkan sebagian dari nash-nash yang
berlandaskan pada suatu kebiasaan kontemporer, yang berlaku pada zaman beliau
kemudian mengelami perubahan di masa sekarang. Contoh dalam hadits Nabi dikatakan: “Pertukaran gandum dengan gandum,
haruslah setakaran dengan setakaran yang sama”. Demikian pula dengan kurma dan
garam.
Mengenai persoalan ini, Abi Yusuf
berpendapat bahw ketentuan memperhitungkan jenis-jenis tersebut denga takaran
atau timbangan, adalah berdasarkan ‘urf. Maka apabila kebieasaan setempat
mengelami perubahan, lalu kurma dengan garam misalnya , biasa dijual dengan timbangan
seperti biasa di masa kita sekarang, maka kita harus mengacu pada kebiasaan
baru tersebut. Karena itu boleh saja menjual (mempertukarkan) kurma dan garam
misalnya denhan kurma dan garam yang sama timbanganya walaupun berbeda
takarannya.
- Disesuaikan
dengan kondisi dan situasi pada saat itu
Seperti yang dikemukakan di
atas, sebuah hadits dapat dipahami denga melihat situasi dan kondisi ketika
Rasulullah mengeluarkan hadits tersebut. Contohnya adalah tentang hadits Nabi
yang memerintahkan agar mengeluarkan zakat fitrah setelah salat subuh dan
sebelum salat Idul Fitri. Waktu Nabi berbicara itu, jumlah anggota masyarakat
yang menjadi mustahiq sedikit, saling berdekatan, saling mengenal satu sama
lain, sehingga mudah untuk mendistribusikan zakat tersebut. Sehingga tidak ada
masalah denganwaktu yang sangat sempit itu. Akan tetapi apda masa para sahabat,
lingkup masyarakat kian luas, tempat-tempat kediaman semakin jauh, sehingga
waktu yang tersedia antara salat subuh dan Idul Fitri itu tidak lagi mencukupi.
Maka diambillah sebuah kesimpulan bahwa mengeluarkan zakat firth itu boleh
dilakukan sejak awal ramadhan sampai menjelang waktu salat Idul Fitri[6].
Hadits tentang: “Bepergiannya
seorang perempuan harus bersama mahram”. Illat larangan ini adalah karena jika
ia pergi sendirian tanpa suami atau mahram pada zaman onta atau keledai,
menempuh gurun dan belantara atau jalan yang sepi, dikhawatirkan terjadi
sesuatu atasnya suatu menimbulkan fitnah.
Jika kondisi telah berubah, seperti di zaman kita
sekarang, dimana perjalanan pun bisa menggunakan pesawat yang memuat banyak
penumpang, atau naik kereta yang juga berisikan banyak penumpang yang dianggap
situasinya aman bagi sang perempuan utnuk bepergian sendirian, maka tidak
mengapa menurut syariat ia pergi tanpa mahram dan tidak berarti bertentangan
dengan hadits.
Maka tidaklah heran jika ada
ulama berdasarkan hadits ini memperbolehkan perempuan tanpa suami atau mahram,
pergi haji bersama rombongan perempuan lain yang terpercaya atau bersama
perempuan lain yang aman sebagaimana
Contoh lain ialah hadits
tentang fadhillah berpanahyang artinya: “Barangsiapa
yang memanah di jalan Allah, maka ia mendapat keberuntungan seperti ini dan
seperti ini …”. Kemudian hadits yang menyebutkan ”Ajarilah anak laki-lakimu berkuda dan mamanah, dan anak perempuanmu menenun”.
Hadits ini cocok bagi orang yang memakai benda lain selain panah yang ssesuai
dengan zaman sekarang seperti roket, mortir, tank. Sementara wanita dengan
kodratnya yang sabar, teliti diberikan pelajaran yang memuat kesabaran dan
ketelitian seperti peneliti laboratorium, mendidik, perawat dan keterampilan
lain yang banyak tumbuh pada urusan rumah tangga[7].
Saya yakin bahwa ditentukannya
siwk untuk membersihkan gigi bertujuan memelihara kebersihan mulut sehingga
mendapat ridha Allah, seperti dalam hadits, “Siwak itu membersihkan mulut dan
menjadikan ridha Allah”.
Tetapi apakah yang dimaksud
dengan siwak itu sendiri? Tidak boleh menggunakan yang lain? Siwak adalah
wasilah, sehingga boleh mesyarakat menggunakan selain siwak untuk membersihkan
mulut. Kalau pun RAsulullah SAW menentukan siwak, oleh karena siwak cocok dan
mudah didapat di jazirah Arab. Dengan demikian, bolehlah wasilah buatan seperti
sikat gigi.
Sebagian ulama malah telah
menyatakan hal ini. Dalam kitab Hadiyaturraghib dalam fiqh Hanbali disebutkan :
“Siwak bisa dengan kayu arak, zaitun, dan batang kayu lain yang tidak melukai
dan membahayakan serta tidak pecah. Sedang yang membahayakan atau yang melukai
dan pecah, hukumnya makruh. Di antara yang membahayakan adalah kayu delima,
gaharu dan sejenisnya. Dna tidak cocok dengan sunnah bagi yang bersiwak bukan
dengan kayu. Syeikh Abdullah BAssem, peringkas kitab tersebut telah mengutip
kata-kata Imam Nawawi sebagai berikut: “Seseorang boleh bersiwak dengan apa
saja yang dapat menghilangkan bau mulut, seperti dengan kain atau jari-jari
tangan”. Inilah mazhab Hanafi, berdasarkan dalil yang bersifat umum tentangnya[8].
Dalam kitab al-Mughni
disebutkan: “Jika anda bersiwak degan menggunakan sesuatu yang dapat
membersihkan, maka tidaklah menyalahi sunnah. Juga tidak berarti meninggalkan
sunnah, jika sedikit, lantaran tidak mampu berbuat banyak. Ia menyebutkan bahwa
pendapat ini adalah benar.
Dengan demikian kita tahu,
bahwa sikat gigi dan pasta gigi dapat menduduki kedudukan kayu arakuntuk zaman
kita, terutama di rumah, sesudah makan dan menjelang tidur.
4.3. Konteks Historis, Sosiologis Dan Antropologis
Salah satu timbulnya hadits
melalui sebuah ucapan yang teks sesuangguhnya memiliki sekian banyak variabel
serta gagasan yang dalam dan tersembunyi yang memerlukan pertimbangan agar kita
lebih bisa mendekati kebenran mengenai gagasan yang hendak disampaikan oleh
Rasul. Tanpa memahami motif dibalik penyampaian sebuah hadits, suasana,
psikologis, dan sasaran ucapan Nabi, maka mungkin sekali kita akan salah paham
dalam memahami dan membacanya. Menyadari bahwa ucapan dan penucapannya, suasana
psikologis dan sasaran ucapan saling bertautan, maka salam emlakukan pemahaman
dan penafsiran yang dilakukan, ketiga hal ini sangta berperan sekali, bahkan
sulit dilepas karena ketiganya saling terkait satu sama lain.
Bertolak dari sanalah, maka
kajian mendalam terhadap sirah Nabawiyah menjadi bagian yang sangat penting.
Sebab pemahaman terhadap sirah Nabawiyah akan memberikan perspektif yang lebih
luas tentang ruang dan waktu munculnya sebuah hadits. Karenanya, bisa jadi
pemahaman suatu hadits mengalami perbedaan antara satu orang dengan lainnya
diseabkan karena alat yang digunakannya berbeda, baik secara kemampuan
kompetensikeilmuan atau pemahaman sejarah yang kurang mendukung.
Dalam Islam dan kehidupan kaum
muslim, Nabi memilki banyak fungsi: sebagai Rasul, panglima perang, suami,
sahabat, dan lain-lain. Dengan demikian hadits-hadits tersebut tidak dapat
dilepaskan kaitannya dengan fungsi-fungsi itu. Menurut Mahmud Syaltut,
mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi dengan mengaitkannya pada fungsi beliau
tatkala melakukan hal-hal itu sangat besar manfaatnya[9].
Sebagai contoh, nabi melarang seorang Anshar mengawini pohon kurma. Maka orang
Anshar itu mematuhi beliau karena menganggapnya sebagai wahyu atau masalah
keagamaan. Ternyata hasilnya kurang memuaskan dibanding dengan mengawinkannya,
karena para Rasul diutus tidak lebih dari sekedar untuk perbaikan moral
keagamaan. Rasul pun bersanda: ”Saya melarang dengan rakyu saya. Oleh karena itu, kamu jangan mencelanya ...” sampai
akhirnya beliau bersabda: ”Anda lebih tahu tentang urusan Anda”
Kenyataan masyarakat (realitas
sosial) budaya juga menjadi pertimbangan yang penting. Sebab, hadits pada
umumny adalah respon terhadap situasi yang dihadapi oleh rasul dalam raung dan
waktu tertentu, baik itu merupakan situasi yang bersifat umum (sosial budaya)
maupun situasi khusus (seperti seseorang atau sahabat). Memahami
situasi-situasi tersebut atau asbab
al-wurud akan mengantarkan penafsir atau pembaca berada di dalam ruang dan
waktu dimana hadits itu diucapkan sehingga memberikan wawasan yang lebih luas
mengapa (illat) dan siapa yang
menjadi sasaran hadits. Dari sini maka akan dapat ditangkap maksud sebenarnya
yang dituju oleh hadits tersebut dengan baik serta akan memberikan jalan keluar
bagi hadits-hadits yang secara lahiriyah tampak bertentangan. Dalam kondisi
seperti ini memang diperlukan pengamatan yang serius dan penuh kehati-hatian
sebelum mengambil keputusan agar tidak mendatangkan kesalahan yang berakibat
pada salah penerapan.
Rasul sangat memperhatikan
kondisi sosial budaya dan alam lingkungan. Buktinya kita menemukan dalam
kondisi tertentu, Rasul melarang suatu perbuatan, tapi ada kondisi yang lain,
Rasul menganjrkan perbuatan tersebut, atau memberikan respon positif terhadap
persoalan yang pernah dilarangnya yang sama dari dua sahabat yang berbeda.
Ketika aqidah umat belum kuat, Nabi SAW melarang melakukan ziarah kubur. Namun
berselang waktu kemudian ketika aqidah umat sudah kuat, larangan tersebut
kemudian beliau cabut. Demikian pula tentang etika buang hajat, ketika berada
di lapangan terbuka Rasul melarang ornag untuk buang hajat menghadap atau
membelakangi kiblat karena dikhawatirkan akan terlihat oleh orang yangs edang
salat. Tetapi ketika berada di dalam ruangan yang relatif tertutup rasul
sendiri terlihat membuang hajat, menghadap atau membelakangi kiblat. jadi
adanya dua hukum dalam satu persoalan yang sama, bukannya tidak adanya
ketegasan, tetapi lebih cenderung pada pertimbangan yang justru menguntungkan
manusia itu sendiri. emmang diperlukan kearifan dalam menyikapinya.
Di sini jelas sekali terlihat
bahwa Rasul sangat mempertimbangkan situasi sosial budaya masyarakat dan
ligkungan. Sikap Nabi SAW, yang seperti itu mengisyarakatkan kepada kita akan
adanya pendekatan kontekstual atas hadits-hadits beliau. Namun ketika yang digunakan
adalah pendekatan tekstual, maka hasilny adalah bahwa di sana terdapat nasikh atau mansukh. tetapi dengan memperhatikan suasana psikologis, seorang
muslim yang aqidahnya masih lemah, akan berakiat buruk, karena ziarah kubur,
jadi hadits pertama tetap berlaku baginya; yaitu larangan ziarah kubur. dalam
memperhatikan lingkungan, maka menghadap atau membelakangi kiblat dalam buang
hajat di ruang terbuka tetap dilarang. Apabila buang hajat di dalam ruang
tertutup maka bukan masalah.
Contoh lain ketika seorang
sahabat meminta izin kepada rasul untuk berjihad (berperang), rasul menanyakan
apakah orang tuanya masih hidup. Mendengar penjelasan sahabat, maka Rasul
menyetakan bahwa melayani orang tuanya sama nilainya dengan berjihad. Sebagian
besar ulama mengasumsikan bahwa sahabat yang meminta izin tersebut belum cukup
umur, atau tidak layak untuk ikut berperang. Karenanya, rasul menganjurkan
lebih baik ia melayani orang tuanya, karena itu juga sama nilainya dengan
berjihad.
Akan tetapi untuk mendapatkan
pemahaman koteks-konteks hadits dengan tepat, maka tak pelak lagi upaya
penghimpunan sebanyak mungkin hadits yang berada di dalam satu pembicaraan. Ini
dimaksudkan untuk mendapatakan kesimpulan yang tepat dari konteks-konteks
hadits tersebut.
Karena hadits-hadits pada
dasarnya saling terkait satu sama lain, bahkan seperti al-Quran ”yafassiru ba’dhu ba’dhan” (satu sama
lain saling menafsirkan). Teknik ini tidaklah sulit untuk dilakukan, sebab
kitab-kitab hadits telah menilik sistematika yang baik.
Menganykut dengan asbab al-wurud ini Syafi’i mengingatkan
bahwa adakalanya hadits-hadits Rasul merupakan jawaban dari sebatas pertanyaan
yang diajukan para sahabat. tetapi dalam periwayatannya tidak disebutkan secara
sempurna oleh perawi (tidak menyebutkan pertanyaan yang melahirkan jawaban
Rasul), atau orang lain meriwayatkan hadits tersebut hanya mengetahui dan
mendengar jawaban Rasul, namun tidak mengetahui masalah atau pertanyaan yang
melatarbelakangi jawaban Rasul tersebut[10].
X. PENUTUP
As-Sunnah an-Nabawiyyah merupakan
sumber terpelihara kedua sebagai pembimbing kaum muslim atau rujukan utama
setelah al-Quran, di bidang hukum, peradilan, fiqh, muamalah, muhakayat, dakwah,
tarbiyah, penyuluhan, dan lain-lain.
Melihat bahwa Nabi sangat
memperhatikan situasi sosila budaya dan suasana psikologis sahabat yang menjadi
sasaran ucapan Nabi, maka sudah seharusnya pendekatan kontekstual atas hadits
Nabi terus dikembangkan. Tetapi ini hanya terdapat pada sebagian hadits Nabi
yang dipahami secara tekstual terasa tidak komunikatif lagi dengan zaman.
Sedangkan terhadap sebagian yang lain lagi dapat dilakukan dengan pemahaman
tekstual. Pemahaman hadits secara tekstual ini dilakukan bila hadits
bersangkutan setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya,
seperti asbabul wururd, tetap menuntut pemahamans esuai dengan apa yang
tertulis dalam teks hadits tersebut.
Hadits diucapkan Nabi relevan
dengan ruang dan waktu, baik itu dari segi sosial budaya maupun alam
lingkungan. Dari sisni pemahaman sebuah kata pun haruslah dalam waktu dan ruang
dimana hadits itu diucapkanm, meskipun kata itu dalam ruang dan waktu pembaca
atau penafsir sering dipakai dengan makna yang lebih luas. Artinya sebuah kata
tidak diberi muatan makna yang terlalu jauh melampaui masanya. Sebagai contoh, kata
tashwir yang disebut dalam hadits,
tidaklah dapat diberi makna dengan gambar hasil pemotretan. Kata ini lebih
tepat jika diartikan hanya sebatas karya lukisan atau pahatan. Sebab kata
tersebit dalam konteks masyarakat Arab awal, pemotretan belum ada bahka belum
terlintas di benak mereka. Kalaupun kata tashwir
atau shurah untuk konteks sekarang
juga bermakna hasil karya fotografi, itu tak lain perkembangan kemudian makna
sebuah kata.
Analisis konteks-redaksional
akan memberikan perspektif baru tentang semangat teks secara keseluruhan yang
pada gilkirannya akan memberikan pemahaman tentang maksud atau tujuan (madlu/hadaf) yang terkandung dalam
sebuah hadits. Bahwa di sana disebutkan media (wshilah) sebagai wadah bagi terwujudnya tujuan adalah hal yang wajar.
Tiba di sini, kita harus melakukan pemahaman yang bersifat folisofis, yakni
menarik tujuan atau maksud sebuah ucapan Rasul.
Untuk itu maksud atau tujuan
yang diinginkan dengan meida haruslah dibedakan dengan jelas. ini disebabkan
karena tujuan atau maksud merupakan realitas yang bersifat statis dan
universal. Tetapi media senantiasa terus berkembang. Dari sini, maka yang harus
dijadikan pegangan adalah tujuan dan maksud yang dikandung sebuah hadits,
karena media merupakan pendukung bagi tercapainya sebuah maksud.
Maka untuk berfungsi sebagai
sebuah sumber hukum, as-Sunnah harus dipahami dengan sebaik-baiknya. Dna
tentunya hal ini harus didukung dengan pemahaman, pangamatan, dan penelitian
yang mendalam dan menyeluruh. Sebuha hadits dapat dipahami secara tekstual
yaitu secara lahiriah berdasarkan bunyi teks yang tertulis dalam hadits dan ada
pula hadits yang dipahami secara kontekstual yaitu tidak hanya melihat dari
redaksi haditsnya, tetapi juga dengan unsur-unsur pendukungnya seperti asbabul
wurud, adapt kebiasaan dan kondisi situasi yang berkembang ketika hadits
tersebut dikeluarkan oleh Rasulullah SAW.
Walaupun ada dua cara dalam
memahami hadits, tetapi tidak bisa saling mengurangi. Artinya, baik hadits
tekstual maupun kontekstual saling mendukung dan berkaitan. Sebab hadits
tekstual mempunyai nilai historis yang tinggi yaitu sebab-musabab (asbabul
wurud) mengapa suatu hadits bisa ada. Sementara hadits mencoba memahaminya dari
segi perkembangan peradaban manusia sperti kemajuan teknologi. kepadatan penduduk,
pendidikan, sosial, ekonomi bahkan sampai pada ranah politik. Tentu saj atidak
keluar dari koridor aturan yang sudah pasti dalam hukum Islam. Jadi boleh saja
sebuah hadits dipahami dari aspek-aspek tersebut di atas asalkan tidak
meninggalkan hadits tekstualnya.
Segala ucapan nabi, khususnya
yang dilontarkan pad umatnya tidaklah sama seperti orang biasa mengucapkan.
sebab beliau berbicara tidak atas kemauannya sendiri, tetapi mendapatkan bimbingan
dari Allah SWT. Kalimat yang diucapkan bisa jadi mempunyai perkiraan yang
mendalam, bisa masa sekarang, dan tidak menutup kemungkinan pada masa mendatang
baru dapat dilakukan. Nabi Muhamamd sangat memperhatikan situasi sosial budaya
dan psikologis sahabat. jadi pengebangan hadits kontekstual bisa terus dikembangkan.
Apalagi seperti zaman sekarang, kemajuan teknologimembuat terjadinya pergeseran
nilai-nilai hidup manusia menjadi lebih kompleks, yang pada gilirannya mereka
mencari jawababn terutama jika sudah menyangkut masalah hukum. Namun, begitu
sekali lagi ditegaskan, memahami hadits secara kontekstual bisa dilakukan
terhadap hadits yang dipahami secara tekstual erasa kurang komunikatif dengan
zaman. Sedangkan yang lainnya masih bisa dipahami dengan cara tekstual tentu
saja harus dipertahankan. Sebab asbabul wurul memegang peranan penting di samping mengandung nilai historis
tertinggi tetapi juga banyak aspek ibadah di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
·
Hassan A, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung , CV. Diponegoro,
1980
·
Qardhawi, Yusuf, Dr, Bagaimana Kita memahami Hadits Nabi
(diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dari Kaifa Nata’malu Ma’a as-Sunnah
as-Nabawiyyah), Bandung ,
Karisma, 1999, Cet.I
·
Qardhawi, Yusuf, Dr, Bagaimana Kita memahami Hadits Nabi
(diterjemahkan oleh Dr. Hoda Muhsin dan Dr. Jawiyah Dakir dari Kaifa Nata’malu
as-Sunnah an-Nabawiyyah), Selangor, Budaya Ilmu SDN.BHD, 1996, Cet.II
·
Qardhawi, Yusuf, Najiyullah
Ctc, Kajian Kritis Pemahaman Hadits, Jakarta , Islamina Press,
1994
·
Al-Bayani. Nasiruddin, Jam’i Shaghir, Beirut , Al-Islami, 1990
·
Muh. Nasyiruddin al-Bayani, Jami’i Shaghir, Beirut, Al-Islami, 1977
·
Al-Ghazali, Syeikh Muhammad, al-Fiqh wa al-Hadits, Kairo, Dar. Asy-Sayuqi, 1989
·
Syihab, Quraisy, Pengantar Studi Kritis Atas Hadits Nabi SAW Antara Pemahaman Tekstual
dan Kontekstual, Jakarta, Mizan, 1989
·
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya,
Jakarta, yayasan penerjemah Al-Quran, 1971
·
Ar-Ramahurmuzi, al-Mahadits al-Tasib baina ar-Rawi, Beirut, dar al-Fikri
·
Al-A’zami, Muhammad Musthafa, Dirasah fi al-Hadits an-Nabwi wa Tarikh Tadwinih, Riyadh, Jama’ah
·
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, al-Ishabah fi Tamyizi as-Shahabah, Beirut, Dar al-Fikri, 1978
·
Al-Bukhari, at-Tarikh
al-Kabir, India, Heiderabad
·
al-Asqalani, Ibnu Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Beirut, Dar al-Fikri, 1984
·
Ranuwijaya, Untung, Ilmu Hadits, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1996
·
Departemen Pendidikan, kamus Besar Bahsa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996
[1] A. Najiyullah Ctc, Kajian Kritik HAdits
Pemahaman Hadits, Jakarta, Islamia Press, 1994, hal. 10
[2] A-Najiyullah Ctc, Op. Cit, jal. 11
[3] A
Najiyullah Ctc, Op. Cit, hal. 12
[4] Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996, hal. 522
[5] Muhammad Yusuf al-Baqir, Bagaimana Kita
Memahami Hadits Nabi (terjemahan DR. Yusuf al-Qardhawi), Bandung ,
Karisma, hal. 14
[6] Muhammad Yusuf al-Baqir, Op. Cit, hal. 15
[7] A. Najiyullah, Op. Cit, hal. 201
[8] A. Najiyullah. Op. Cit, hal. 202
[9] Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa
Syariah, kairo, Dar al-Arqam, 1995, hal. 513
[10]
Muhammad ibn Idris al-Syafi’ie, al-Filsafat, Beirut , Dar al-Fikri, 1988, hal. 213
Tidak ada komentar:
Posting Komentar