Minggu, 08 Juli 2012

PEMAHAMAN HADITS KONTEKSTUAL


I. PENDAHULUAN


Setiap muslim berkewajiban meneriman hadits sebagai pedoman hidup di samping al-Quran sebab hukum yang kedua setelah Al-Quran hadits merupakan penjelas tentang aturan hidup terutama ketentuan hukumnya, cara mengamalkannya tidak diperincikan menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Quran, hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam hadits.

Oleh karena itu menjadi kewajiban kita untuk memahami as-Sunnah dengan benar dan tepat, jauh daripada penyelewengan dan pengkaburan maksud dan makna hadits tersebut. Apalagi hadits yang mempunytai arti dan pengertian luas terutama yang berkaitan dengan pengembangan dunia.

Sehingga untuk memahami as-sunnah an-nabawiyah dengan sebaik-baikinya, jeli dan teliti, hendaklah dilihat kepada sebab-sebab khusus kenapa hadits itu berlaku atau perlu pemikiran lain karena ada alasan dan illat disesuaikan dengan perubahan suatu zaman, dengan kata lain sebuah hadits bisa berubah penerapannya.

Orang yang benar-benar membuat penelitian yang mendalam akan mendapati ada hadits yang hanya mengenai keadaan-keadaan tertentu sesuai untuk masalah ketika itu atau untuk mengelakkan bencana ketika itu atau untuk membetulkan keadaan yang berlaku saat itu.

Ini berarti hukum yang terdapat di dalam hadits itu seklaipun zahirnya umum dan berkekalan tetapi setelah diteliti ia diasaskan kepada suatu sebab sehingga makna dan tujuan hadits bisa diperluas arti dan maksudnya. Karena ada alasan yang mendukung dengan kata lain hadits bisa dilihat dari konteks dan kontekstualitasnya. Mana yang dominan khususnya bila dilihat dari perkembangan yang menyangkut sosial, budaya, hukum, ekonomi dan kemasyaratan lainnya.


II. DEFINISI AS-SUNNAH


2.1.   Sunnah Menurut Ulama Ushl Fiqh

Dari penggunaan kata sunnah yang popular di awal Islam ini, maka ulma ushl fiqh mengambil istilah ini dengan menyifatinya sebagai sumber syariat yang mendampingi al-Quran. Mereka mendefinisikannya sebagai berikut:

Sunnah ialah ucapan, perbuatan, atau ketetapn dari Nabi SAW yang kesemuanya merupakan thariqah Nabi SAW dalam memahami Islam dan dalam megemalkannya[1].


2.2.  Sunnah Menurut Para Fuqaha

Sunnah menurut fuqaha ialah hukum syara yang ditetapkan oleh dalil untuk dikerjakan. Dengan akat lain sunnah menurut fuqaha adalah salah satu hukum syara[2].


2.3.  Sunnah Menurut Ulama Hadits

Para ulama hadits menambahkan definisi ulama ushl fiqh sebagai berikut:

Sunnah ialah ucapan atau perbuatan, ketetapan atau sifat maupun sirah Rasulullah SAW[3].




III. HADITS MENURUT ASBABUL WURUD, KONTEKS, DAN MAKSUDNYA


Diantara pemahaman sunnah yang baik ialah melihat hadits-hadits yang didasarkan kepada sebab-sebab khusus (latar belakang) atau berkaitan dengan suatu illat tertentu yang merupakan pemahaman dari realita yang disebutkan oleh hadits.

Bila dicermati seseorang akan mendapatkan bahwa diantara hadits ada yang didasarkan pada pemeliharaan kondisi tertentu demi suatu kemaslahatan atau mencegah suatu mafsadat, atau untuk mengatasi suatu masalah yang terjadi saat itu.

Ini maknanya bahwa hukum yang dikandung hadits terkadangn nampak besifat umum dan abadi. Namun setelah diteliti ternyata ia tergantung pada suatu illat. Bila illat itu lenyap, maka (hukum) pun tidak ada.

Hal ini membutuhkan fiqh (pemahaman) yang mendalam dan pengamatan yang jeli serta membutuhkan pengkajian nash secara tuntas serta ditambah dengan pengetahuan yang matang tentang maksud-maksud syariat. Sekalipun harus bertentangan dengan kebiasaan yang berjalan di kalangan masyarakat. Jadi dituntut pemahaman hadits secara benar dan matang, harus mengetahui tujuan nash dan menjelaskan konteksnya sehingga maksud hadits menjadi jelas secara detail tidak mengandung sangkaan-sangkaan atau raba-raba maka harus menggunakan meode yang benar.

Jika asbaabunnuzul begitu penting untuk memahami dan mantafsiri al-Quran, maka asbabul wurud amat penting untuk memahami hadits. Dngena demikian maka harus ada pemisahan antara yang namanya khusus dengan umum, antara yang bersifat temporer dengan yang tetap, antara yang bersifat juz’iy dan kulliy, yang masing-masingpunya hukum. Oleh karena itu mengamati asbabul wurud, konteks dan tujuan hadits dapat membantu memahaminya secara benar.




IV. MEMAHAMI HADITS SECARA KONTEKSTUAL


4.1. Definisi Kontekstual

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kontekstual berasal dari kata konteks bagian suatu uraian atau kaliamat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna dua situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian, ada hubungannya dengan konteks. Kedua istilah ini dapat dipergunakan karena bisa dipakai dalam memahami hadits[4].

4.2. Memahami Kontekstual Hadits

Dari sini pemahaman kontekstual akan hadits menurut Edi Safri, adalah memahami hadits-hadits Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadits-hadits tersebut, atau dengan kata lain, dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya. (Edi Safri, 1990: 160). Dengan demikian asbab al-wurud dalam kajian kontekstual dimaksud merupakan bagian yang paling penting. tetapi kajian yang lebih luas tentang pemahaman kontekstual tidak hanya terbatas pad asbab al-wurud dalam arti khusus seperti yang biasa dipahami, tetapi lebih luas dari itu meliputi: konteks historis-sosiologis, dimana asbaul wurud merupakan bagian darinya.

Dengan demikian, pemahaman kontekstual atas hadits Nabi berarti memahami hadits berdasarkan kaitannya dengan peristiwa-peristiwa  dan situasi ketika hadits diucapkan, dan kepda siapa ditujukan. Artinya hadits-hadots Nabi SAW hendaknya ditangkap makna san maksudnya hanya melalui redaksi lahiriyah tanpa mengaitkannya dengan aspek-aspek kontekstualnya. Meskipun di sini nampaknya konteks historis merupakan aspek yang paling penting dalam sebuah pendekatan kontekstuan, namun konteks redaksional juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Konteks redaksional ini tak kalah penting dalam rangka membatasi dan menangkap makna yang lebih luas (makna filosofis) sehingga hadits tetap menjadi komunikatif.

Dari sini makna dalam pendekatan kontsktual, seperti apa yang dikatakan Qamaruddin Hidayat, seorang penafsir atau pembaca lalu memposisikan sebuah teks (hadits) ke dalam sebuah jaringan wacana. Ibarat sebuah gunung es, sebuah teks adalah fenomen kecil dari puncak gunung yang tampakdi permukaan. Oleh karena itu tenpa mengetahui latar belakang sosial budaya dari mana dan dalam situasi apa sebuah teks muncul, maka sulit menangkap pesan dari sebuah teks. (Qamaruddin Hidayat, 1996: 214).


4.3. Konteks Historis, Sosiologis Dan Antropologis

Salah satu timbulnya hadits melalui sebuah ucapan yang teks sesuangguhnya memiliki sekian banyak variabel serta gagasan yang dalam dan tersembunyi yang memerlukan pertimbangan agar kita lebih bisa mendekati kebenran mengenai gagasan yang hendak disampaikan oleh Rasul. Tanpa memahami motif dibalik penyampaian sebuah hadits, suasana, psikologis, dan sasaran ucapan Nabi, maka mungkin sekali kita akan salah paham dalam memahami dan membacanya. Menyadari bahwa ucapan dan penucapannya, suasana psikologis dan sasaran ucapan saling bertautan, maka salam emlakukan pemahaman dan penafsiran yang dilakukan, ketiga hal ini sangta berperan sekali, bahkan sulit dilepas karena ketiganya saling terkait satu sama lain.

Bertolak dari sanalah, maka kajian mendalam terhadap sirah Nabawiyah menjadi bagian yang sangat penting. Sebab pemahaman terhadap sirah Nabawiyah akan memberikan perspektif yang lebih luas tentang ruang dan waktu munculnya sebuah hadits. Karenanya, bisa jadi pemahaman suatu hadits mengalami perbedaan antara satu orang dengan lainnya diseabkan karena alat yang digunakannya berbeda, baik secara kemampuan kompetensikeilmuan atau pemahaman sejarah yang kurang mendukung.

Dalam Islam dan kehidupan kaum muslim, Nabi memilki banyak fungsi: sebagai Rasul, panglima perang, suami, sahabat, dan lain-lain. Dengan demikian hadits-hadits tersebut tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan fungsi-fungsi itu. Menurut Mahmud Syaltut, mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi dengan mengaitkannya pada fungsi beliau tatkala melakukan hal-hal itu sangat besar manfaatnya[5]. Sebagai contoh, nabi melarang seorang Anshar mengawini pohon kurma. Maka orang Anshar itu mematuhi beliau karena menganggapnya sebagai wahyu atau masalah keagamaan. Ternyata hasilnya kurang memuaskan dibanding dengan mengawinkannya, karena para Rasul diutus tidak lebih dari sekedar untuk perbaikan moral keagamaan. Rasul pun bersanda: ”Saya melarang dengan rakyu saya. Oleh karena itu, kamu jangan mencelanya ...” sampai akhirnya beliau bersabda: ”Anda lebih tahu tentang urusan Anda”

Kenyataan masyarakat (realitas sosial) budaya juga menjadi pertimbangan yang penting. Sebab, hadits pada umumny adalah respon terhadap situasi yang dihadapi oleh rasul dalam raung dan waktu tertentu, baik itu merupakan situasi yang bersifat umum (sosial budaya) maupun situasi khusus (seperti seseorang atau sahabat). Memahami situasi-situasi tersebut atau asbab al-wurud akan mengantarkan penafsir atau pembaca berada di dalam ruang dan waktu dimana hadits itu diucapkan sehingga memberikan wawasan yang lebih luas mengapa (illat) dan siapa yang menjadi sasaran hadits. Dari sini maka akan dapat ditangkap maksud sebenarnya yang dituju oleh hadits tersebut dengan baik serta akan memberikan jalan keluar bagi hadits-hadits yang secara lahiriyah tampak bertentangan. Dalam kondisi seperti ini memang diperlukan pengamatan yang serius dan penuh kehati-hatian sebelum mengambil keputusan agar tidak mendatangkan kesalahan yang berakibat pada salah penerapan.

Rasul sangat memperhatikan kondisi sosial budaya dan alam lingkungan. Buktinya kita menemukan dalam kondisi tertentu, Rasul melarang suatu perbuatan, tapi ada kondisi yang lain, Rasul menganjrkan perbuatan tersebut, atau memberikan respon positif terhadap persoalan yang pernah dilarangnya yang sama dari dua sahabat yang berbeda. Ketika aqidah umat belum kuat, Nabi SAW melarang melakukan ziarah kubur. Namun berselang waktu kemudian ketika aqidah umat sudah kuat, larangan tersebut kemudian beliau cabut. Demikian pula tentang etika buang hajat, ketika berada di lapangan terbuka Rasul melarang ornag untuk buang hajat menghadap atau membelakangi kiblat karena dikhawatirkan akan terlihat oleh orang yangs edang salat. Tetapi ketika berada di dalam ruangan yang relatif tertutup rasul sendiri terlihat membuang hajat, menghadap atau membelakangi kiblat. jadi adanya dua hukum dalam satu persoalan yang sama, bukannya tidak adanya ketegasan, tetapi lebih cenderung pada pertimbangan yang justru menguntungkan manusia itu sendiri. emmang diperlukan kearifan dalam menyikapinya.

Di sini jelas sekali terlihat bahwa Rasul sangat mempertimbangkan situasi sosial budaya masyarakat dan ligkungan. Sikap Nabi SAW, yang seperti itu mengisyarakatkan kepada kita akan adanya pendekatan kontekstual atas hadits-hadits beliau. Namun ketika yang digunakan adalah pendekatan tekstual, maka hasilny adalah bahwa di sana terdapat nasikh atau mansukh. tetapi dengan memperhatikan suasana psikologis, seorang muslim yang aqidahnya masih lemah, akan berakiat buruk, karena ziarah kubur, jadi hadits pertama tetap berlaku baginya; yaitu larangan ziarah kubur. dalam memperhatikan lingkungan, maka menghadap atau membelakangi kiblat dalam buang hajat di ruang terbuka tetap dilarang. Apabila buang hajat di dalam ruang tertutup maka bukan masalah.

Contoh lain ketika seorang sahabat meminta izin kepada rasul untuk berjihad (berperang), rasul menanyakan apakah orang tuanya masih hidup. Mendengar penjelasan sahabat, maka Rasul menyetakan bahwa melayani orang tuanya sama nilainya dengan berjihad. Sebagian besar ulama mengasumsikan bahwa sahabat yang meminta izin tersebut belum cukup umur, atau tidak layak untuk ikut berperang. Karenanya, rasul menganjurkan lebih baik ia melayani orang tuanya, karena itu juga sama nilainya dengan berjihad.

Akan tetapi untuk mendapatkan pemahaman koteks-konteks hadits dengan tepat, maka tak pelak lagi upaya penghimpunan sebanyak mungkin hadits yang berada di dalam satu pembicaraan. Ini dimaksudkan untuk mendapatakan kesimpulan yang tepat dari konteks-konteks hadits tersebut.

Karena hadits-hadits pada dasarnya saling terkait satu sama lain, bahkan seperti al-Quran ”yafassiru ba’dhu ba’dhan” (satu sama lain saling menafsirkan). Teknik ini tidaklah sulit untuk dilakukan, sebab kitab-kitab hadits telah menilik sistematika yang baik.

Menganykut dengan asbab al-wurud ini Syafi’i mengingatkan bahwa adakalanya hadits-hadits Rasul merupakan jawaban dari sebatas pertanyaan yang diajukan para sahabat. tetapi dalam periwayatannya tidak disebutkan secara sempurna oleh perawi (tidak menyebutkan pertanyaan yang melahirkan jawaban Rasul), atau orang lain meriwayatkan hadits tersebut hanya mengetahui dan mendengar jawaban Rasul, namun tidak mengetahui masalah atau pertanyaan yang melatarbelakangi jawaban Rasul tersebut[6].


4.4. Asbabul Wurud

Diantara cara yang baik untuk memahami hadits Nabi SAW, ialah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadits, atau kaitannya dengan suatu illat tertentu yang dinyatakan dalam hadits tersebut.

Siapa saja yang mau meneliti dengan seksama pasti akan melihat bahwa diantara hadits-hadits, ada yang diucapkan berkaitan dengan kondisi temporer khusus.

Ini berarti bahwa suatu hukum yang dibawa oleh suatu hadits ada kalanya tampak bersifat umum dan kekal, namun jika diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan illat tertentu , sehingga ia akan hilang dengan sendirinya.

Hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam, pandangan yang teliti, pengkajian yang meliputi semua nash, serta wawasan yang luas untuk mengetahui tujuan-tujuaan syariat dan hakikat-hakikat agama. Di samping itu juga diperlukan keberanian moril dan kemantapan kejiwaan untuk mengungkapkan kebenaran, meskipun berlawanan denganapa yag telah menjadi kebiasaan manusia atau telah mereka warisi.

Untuk dapat memahami dengan pemahaman yang benar, haruslah diketauhi kondisi yang meliputinya serta dimana dan untuk tujuan apa ia diucapkan.

Kita mengetahui bahwa para ulama kita telah menyatakan bahwa untuk memahami al-Quran dengan benar, haruslah diketahui tentang asbabun nuzul, maka untuk memahami sebuah hadits pun dan menafsirkannya diperlukan asbabul wurud.

Bila al-Quran adalah universal dan abadi, lain halnya dengan hadist, sebab ia memang menangani berbagai masalah yang bersifat local, tertentu dan temporal. Di dalamnya pun juga terdapat berbagai hal yang berifat khusus dan terperinci, yang tidak terdapat di dalam al-Quran.

Oleh sebab itu haruslah dilakukan pemilahan antara apa yang bersifatkhususu dan umum, tertentu dan universal. Dengan memperhatikan konteks, kondisi lingkungan serta memperhatikan asbabul wurudnya, pasti akan lebih mudah mencapai pemahaman yang tepat dan lurus.

Lalu jika pemahaman suatu hadits ditinjau dari kontekstualitasnya? Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan beberapa hal yang dapat dijadikan pemahaman sebuah hadits secara kontekstual.

  1. Berdasarkan asbabul wurudnya

Contohnya hadits yang artinya: “Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian”.

Hal itu berkenaan dengan penyerbukan pohon kurma. Ketika itu Rasulullah SAW menyatakan pendapat belia berdasarkan perkiraan semata-mata, yang berkenaan dengan soal penyerbukan. Sedangkan beliau sendiri bukanlah seorang ahli pertanian. Bahkan beliau dilahirkan dan dibesarkan di suatu dareah lembah yang tandus. Namun kaum anshar mengira pendapat beliau adaah wahyu atau perintah agama, lalu mereka meninggalkan kebiasaan atau cara bertanam kurma yang selama ini mereka lakukan, akibatnya berpengaruh buruk pada buah kurma pada musim itu, lalu Rasulullah menyatakan: “Sesungguhnya (pendapatku) itu hanyalah berdasarkan perkiraanku itu karena yang lebih mengerti tentang urursan-urursan dnia adalah kaliah”[7].

  1. Berubahnya adat kebiasaan (‘Urf)

Adalah perlu juga mempertimbangkan sebagian dari nash-nash yang berlandaskan pada suatu kebiasaan kontemporer, yang berlaku pada zaman beliau kemudian mengelami perubahan di masa sekarang. Contoh dalam hadits Nabi dikatakan: “Pertukaran gandum dengan gandum, haruslah setakaran dengan setakaran yang sama”. Demikian pula dengan kurma dan garam.

Mengenai persoalan ini, Abi Yusuf berpendapat bahw ketentuan memperhitungkan jenis-jenis tersebut denga takaran atau timbangan, adalah berdasarkan ‘urf. Maka apabila kebieasaan setempat mengelami perubahan, lalu kurma dengan garam misalnya , biasa dijual dengan timbangan seperti biasa di masa kita sekarang, maka kita harus mengacu pada kebiasaan baru tersebut. Karena itu boleh saja menjual (mempertukarkan) kurma dan garam misalnya denhan kurma dan garam yang sama timbanganya walaupun berbeda takarannya.

  1. Disesuaikan dengan kondisi dan situasi pada saat itu

Seperti yang dikemukakan di atas, sebuah hadits dapat dipahami denga melihat situasi dan kondisi ketika Rasulullah mengeluarkan hadits tersebut. Contohnya adalah tentang hadits Nabi yang memerintahkan agar mengeluarkan zakat fitrah setelah salat subuh dan sebelum salat Idul Fitri. Waktu Nabi berbicara itu, jumlah anggota masyarakat yang menjadi mustahiq sedikit, saling berdekatan, saling mengenal satu sama lain, sehingga mudah untuk mendistribusikan zakat tersebut. Sehingga tidak ada masalah denganwaktu yang sangat sempit itu. Akan tetapi apda masa para sahabat, lingkup masyarakat kian luas, tempat-tempat kediaman semakin jauh, sehingga waktu yang tersedia antara salat subuh dan Idul Fitri itu tidak lagi mencukupi. Maka diambillah sebuah kesimpulan bahwa mengeluarkan zakat firth itu boleh dilakukan sejak awal ramadhan sampai menjelang waktu salat Idul Fitri[8].


Hadits tentang: “Bepergiannya seorang perempuan harus bersama mahram”. Illat larangan ini adalah karena jika ia pergi sendirian tanpa suami atau mahram pada zaman onta atau keledai, menempuh gurun dan belantara atau jalan yang sepi, dikhawatirkan terjadi sesuatu atasnya suatu menimbulkan fitnah.

Jika kondisi telah berubah, seperti di zaman kita sekarang, dimana perjalanan pun bisa menggunakan pesawat yang memuat banyak penumpang, atau naik kereta yang juga berisikan banyak penumpang yang dianggap situasinya aman bagi sang perempuan utnuk bepergian sendirian, maka tidak mengapa menurut syariat ia pergi tanpa mahram dan tidak berarti bertentangan dengan hadits.

Maka tidaklah heran jika ada ulama berdasarkan hadits ini memperbolehkan perempuan tanpa suami atau mahram, pergi haji bersama rombongan perempuan lain yang terpercaya atau bersama perempuan lain yang aman sebagaimana 

Contoh lain ialah hadits tentang fadhillah berpanahyang artinya: “Barangsiapa yang memanah di jalan Allah, maka ia mendapat keberuntungan seperti ini dan seperti ini …”. Kemudian hadits yang menyebutkan ”Ajarilah anak laki-lakimu berkuda dan mamanah, dan anak perempuanmu menenun”. Hadits ini cocok bagi orang yang memakai benda lain selain panah yang ssesuai dengan zaman sekarang seperti roket, mortir, tank. Sementara wanita dengan kodratnya yang sabar, teliti diberikan pelajaran yang memuat kesabaran dan ketelitian seperti peneliti laboratorium, mendidik, perawat dan keterampilan lain yang banyak tumbuh pada urusan rumah tangga[9].

Saya yakin bahwa ditentukannya siwk untuk membersihkan gigi bertujuan memelihara kebersihan mulut sehingga mendapat ridha Allah, seperti dalam hadits, “Siwak itu membersihkan mulut dan menjadikan ridha Allah”.

Tetapi apakah yang dimaksud dengan siwak itu sendiri? Tidak boleh menggunakan yang lain? Siwak adalah wasilah, sehingga boleh mesyarakat menggunakan selain siwak untuk membersihkan mulut. Kalau pun RAsulullah SAW menentukan siwak, oleh karena siwak cocok dan mudah didapat di jazirah Arab. Dengan demikian, bolehlah wasilah buatan seperti sikat gigi.

Sebagian ulama malah telah menyatakan hal ini. Dalam kitab Hadiyaturraghib dalam fiqh Hanbali disebutkan : “Siwak bisa dengan kayu arak, zaitun, dan batang kayu lain yang tidak melukai dan membahayakan serta tidak pecah. Sedang yang membahayakan atau yang melukai dan pecah, hukumnya makruh. Di antara yang membahayakan adalah kayu delima, gaharu dan sejenisnya. Dna tidak cocok dengan sunnah bagi yang bersiwak bukan dengan kayu. Syeikh Abdullah BAssem, peringkas kitab tersebut telah mengutip kata-kata Imam Nawawi sebagai berikut: “Seseorang boleh bersiwak dengan apa saja yang dapat menghilangkan bau mulut, seperti dengan kain atau jari-jari tangan”. Inilah mazhab Hanafi, berdasarkan dalil yang bersifat umum tentangnya[10].

Dalam kitab al-Mughni disebutkan: “Jika anda bersiwak degan menggunakan sesuatu yang dapat membersihkan, maka tidaklah menyalahi sunnah. Juga tidak berarti meninggalkan sunnah, jika sedikit, lantaran tidak mampu berbuat banyak. Ia menyebutkan bahwa pendapat ini adalah benar.

Dengan demikian kita tahu, bahwa sikat gigi dan pasta gigi dapat menduduki kedudukan kayu arakuntuk zaman kita, terutama di rumah, sesudah makan dan menjelang tidur.

V. CARA MEMILIH HADITS

Rasanya kita sepakat bahwa setiap ibadah yang kita lakukan harus didasari oleh dalil (rujukan) atau alasan yang kuat, dan itu pasti merujuk pada perbuatan, perkataan maupun taqrir nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain dalil Nabi terutama hadits benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (shahih). Sebab banyak sekali dijumpai para penulis menggunakan sebagai penguat pendapatnya kurang selektif dalam menulis hadits. Bahkan tidak sedikit hadits yang sangat populer di masyarakat ternyata setelah dikaji ulang hadits tersebut dha’if, bahkan maudhu. Ulama masih memberikan toleransi terhadap hadits dha’if (lemah matan dan rawinya) hanya sebatas sebagai perangsang ibadah. Itupun terbatas pada yang sunnah, bukan yang bersifat wajib. Jadi sebatas pada fadha’ilul a’mal (meningkatkan kegemaran beribadah). Sebab itulah para ulama hadits tidak membuat tata cara yang ketat dalam menentukan kualitas hadits. Jadi penyeleksian dan pengelompokkan berada dimana hadits tersebut mendapat perhatian serius. Sebagai contoh Imam Bukhari atau imam muslim dari ribuan hadits yang didapati setelah diseleksi hasilnya cuma ratusan hadits yang dapat diterima, sekitar sepuluh persennya saja. Itupun sudah termasuk banyak. Hal ini mengindikasikan kepada kita pertama tidak mudah mengelompokkan (memilah) hadits pada tingkatan yang shahih. Kedua, membutuhkan waktu yang lama untuk dengan tepat menentukan tingkatannya. Sebab harus dicari dan ditelusuri secara benar sanadnya. Jika tidak orang yang dikenal atau dekat, maka ditelusuri melalui data-data sejarah terhadap orang tersebut. Ketiga, memerlukan pengetahuan yang cukup khususnya ilmu hadits, sejaran dan tokoh para perawi hadits.

Mari kita perhatikan bagaimana para pakar hadits membuat ketentuan sehingga mendapati hadits yang benar-benar dapat diyakini kebenarannya. yaitu tiga berkenaan dengan sanad (mata rantai perawi hadits) dan dua berkenaan dengan matan (materi) hadits.

  1. Setiap perawi dalam sanad suatu hadits haruslah seorang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas, teliti dan benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian ia meriwayatkannya setelah itu, tepat seperti aslinya.
  2. Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang mantap kepribadiannya dan bertaqwa kepada Allah, serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan.
  3. Kedua sifat tersebut di atas harus dimiliki oleh masing-masing perawi dalam seluruh rangkaian para perawi dalam suatu hadits yang diriwayatkan. Jika hal itu tidak terpenuhi pada diri satu orang saja dari mereka, maka hadits tersebut dianggap tidak mencapai derajat shahih.
  4. Mengamati matan (materi) hadits itu sendir, ia harus tidak bersifat syadz (yakini salah seorang perawinya bertentangan dalam riwayatanny dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya).
  5. Hadits tersebut harus bersih dai illah qadihah (yakni cacat yang diketahui oleh para ahli hadits, sedemikian sehingga mereka menolaknya) [11].

Persyaratan tersebut di atas bisa menjamin ketelitian dalam penukilan serta penerimaan suatu berita tentang Nabi Muhammad SAW. Kita berani menyatakan bahwa dalam sejarah peradaban manusia tidak pernah dijumpai contoh ketelitian dan kehati-hatian yang menyamainya. Namun yang lebih penting lagi adalah kemampuan yang cukup untuk mempraktekkan persyaratan-persyaratan tersebut.

Jika hal ini tidak diindahkan oleh para pemerhati hadits, bisa jadi akan terjadi kerancuan dan ketidakjelasan makna hadits yang benar-benar datang dari rasul. Dan manapula mereka yang tidak bertanggungjawab dengan menyatakan keshahihan hadits tersebut dengan sanad yang benar. banyak lagi dampaknya, apalagi sudah menyangkut pelaksanaan ibadah akbiatnya akan fatal dan berkepanjangan.

Amat banyak ulama yang bertaqwa dan bertanggungjawabserta sangat teliti dalam memelihara sunnah nabi. Cara-cara mereka untuk menyaring sanad-sanad hadits sungguh merupakan hal yang sangat terpuji dan layak dikagumi. dan di samping mereka, banyak pula para ahli yang meneliti matan-matan hadits kemudian mana yang dinilai syadz atau bercacat.

Jelas bahwa untuk menetapkan shahihnya hadits dalam segi matannya diperlukan ilmu yang mendalam tentang al-Quran serta kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat-ayatnya, baik secara langsung ataupun tidak. Juga ilmu tentang berbagai riwayat lainnya, agar dengan itu semua dapat dilakukan perbandingan antara yang satu dengan lainnya, ditinjau dari segi kuat lemahnya masing-masing.

Dalam kenyataannya, upaya para ahli fiqh (faqih) telah menyempurnakan apa yang telah dilakukan oleh para pengumpul dan perawi hadits (muhaddits). Para faqih juga menjadi penjaga kebenaran dan keotentikan dari suatu hadits  dari kekeliruan atau keteledoran yang mungkin dilakukan oleh para perawi.

Di antara hadits Nabi SAW. ada yang bersifat mutawatir yang karenanya disamakan hukumnya dengan ayat-ayat al-Quran. Juga terdapat diantaranya yang shahih dan masyhur (dikenal dengan baik) yang menafsirkan atau mengkhususkan hal-hal yang bersifat umum dalam al-Quran. Di antaranya juga banyak sekali yang mengandung hukum-hukum furu’iyah yang dijadikan sandaran utama oleh mazhab-mazhab fiqh yang ada.

Adakalanya sebuah hadits yang shahih sanadnya tetapi lemah matannya. Yaitu setelah para faqih menjumpai cacat  tersembunyi yang ada di dalamnya.

Menemukan illah  dan keganjilan dalam susunan kalimat (matan) suatu hadits tidak merupakan monopoli para ahli hadits. Ulama di bidang tafsir, ushul, kalam, dan fiqh semuanya juga bertanggungjawab; bahkan mungkin tanggungjawab mereka lebih besar dari selain mereka.

Tidkkah menjadi kewajiban para ahli ilmu-ilmu kalam, fiqh dan tafsir untuk menyikat bersih kotoran yang memedihkan mata umat ini? Tak pelak lagi, para penjaga kemurnian hadits-hadits shahih menolak hadits ini tak berharga sedikitpun.

Sebagai contoh telah muncul pernyataan Syaikh al-Albani yang menshahihkan hadits: ”Daging sapi adalah penyakit”. Padahal setiap pemerhati al-Quran pasti menyadari bahwa hadits tersbut tidak berharga betapa pun keadaan sanadnya.

Dalam dua tempat dari kitab-Nya, Allah SWT menghalalkan daging sapi dan menyebut hal itu sebagai karunia-Nya bagi manusia. bagaimana mungkin ia adalah sumber penyakit?

Dalam surat al-An’am ayat 142 Allah berfirman; ”Dan di antara binatang ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. Makanlah dari rizqi yang diberikan kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan iti adalah musuh yang nyata bagimu”.

Kemudian Allah merinci apa yang dihalalkan untuk dimakan: ”... yaitu delapan binatang yang berpasang-pasangan; sepasang dari domba dan sepasang dari kambing ...” dan setelah itu ”... dan sepassang dari unta dan sepasang dari sapi ...” (al-An’am: 143 dan 144). Di manakah letak penyakit dalam daging-daging yang dihalalkan ini?

Dan dalam surat al-Hajj ayat 36 Allah berfirman: ”Dan telah Kami jadikan untuk kamu, hewan al-budn sebagian dari syiar Allah; kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya. Maka sebutlah olehmu nama allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri dan terikat. Kemudian apabila telah jatuh (mati) makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang membutuhkan, baik yang tidak meminta ataupun yang meminta-minta. Demikianlah Kami telah menundukkan hewan-hewan a-budn itu untukmu; mudah-mudahan kamu bersyukur”.

Adapun yang dimaksud dengan hewan-hewan al-budn dalam ayat di atas adalah unta, sapi dan kerbau. Lalu dimanakah penyakit yang tekandung di dalamnya?

Cacat yang menyertai orang-orang yang hanya menyibukkan diri dengan hadits saja, tetapi kurangnya minat dan pengetahuan mereka untuk menekuni al-Quran dan mempelajari dengan seksama hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Mengapa tidak mau berlapang dada dengan membiarkan orang-orang selain mereka, yang kebetulan tergolong para pemikir muslim yang berwawasan luas, untuk menemukan adanya illah dalam beberapa hadits yang dikenal?

Haruslah berjiwa besar dalam bentuk kerja sama dalam memeriksa dan menguji kebenaran peinggalan Nabi Muhammad SAW. sangat diperlukan. Materi sebuah hadits adakalanya berkenaan dengan aqidah, ibadah dn mu’amalah yang meliputi pengetahuan dan profesi para ahli ’aql dan naql (yang berdasarkan pemikiran dan penukilan) bersama-sama. mungkin juga sebuah hadits berkaitan dengan urusan dakwah, perang dan damai. Oleh sebab itu mengapa para ahli di pelbagai bidang yang penting ini dijauhkan dari pengujian matan yang dirawikan? Apa gunanya sebuah hadits yang sanadnya sehat maupun matannya cacat?

Bagaimanapun juga masih ada ribuan hadits yang tidak bercacat dan tidak ganjil, telah selesai dicatat dalam enslikopedi-enslikopedi hadits. Kalapun masih ada beberapa di antara hadits-hadits itu yang dapat dan perlu diperiksa dan diuji bersama-sama oleh para fuqaha dan ahli hadits, sudah barangtentu hal itu lebih baik dan lebih utama. Karena sepanjang dunia masih berputar, pertanda kehidupan belum berhenti. Jadi masih ada banyak waktu untuk melakukan perbaikan-perbaikan.

Sungguh disayangkan pada masa sekarang terdapat kelompok kaum muda yang berperangai buruk, caranya berusaha menjatuhkan kredibilitas para imam ahli fiqh dengan dalih ”demi membela hadits Nabi SAW”. Padahal para ahli fiqh tidak menyimpang dari sunnah beliau, dan tidak pula pernah meremehkan suatu hadits yang dipercayai keshahihannya serta penisbahannya kepada beliau, yakni dalam segi sanad dan matannya. Memang adalakanya mereka menolak bebarapa hadits disebabkan mereka mendapati beberapa cacat dalam periwayatannya. Hal yang demikian itu bersesuaian dengan metode ilmiah yang dipelajari dan dipertanggungjawabkan. Dan mereka pun menunjukkan kepada umat tentang apa yang mereka anggap lebih otentik dan benar. Jadi ada alasan ilmiah yang dibenarkan, bukan karena emosi kemanusiaan.

Dengan mengikuti metode ini, mereka menaladani para sahabat dan tabi’in. Misalnya sikap Aisyah RA ketika mendengar hadits yang menyatakan bahwa orang mati diazab karena tangisan keluarganya terhadapnya. ia mnolaknya, bahkan kemudian bersumpah bahwa Nabi SAW. tidak pernah mengucapkan ”hadits” tersebut. Bahkan beliau kemudian menjelaskan alasan penolakannya dengan berkata: ”Adakah kalian lupa akan firman Allah SWT, Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain...(al-An’am: 164)”.

Demikianlah Aisyah RA dengan tegas dna berani telah menolak periwayatan suatu ”hadits’ yang bertentangan dengan al-Quran.

Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadits, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, tidak berarti hadits Rasul tidak diriwayatkan. Dalam batas-batas tertentu hadits-hadits itu diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-harinya dalam soal ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadits tersebut dan kebenaran ini matannya.

Ada dua cara para sahabat dalam meriwayatkan hadits Nabi. Pertama dengan jalan periwayatan an-lafzi (redaksinya persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW), dan kedua dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).

  1. Periwayatan Lafzi

Seperti yang telah dikatakan bahwa periwayatan lafzi adalah periwayatan hadits yang redaksinya persis seperti yang diwurudkjan oleh Nabi. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan oleh Rasul SAW.

Kebanyakan para sahabat menempuh periwayatan hadits melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadits sesuai dengan redaksi dari rasul SAW. bukan menurut redaksi mereka. Bahkan menurut Ajjaj al-Khatib sebenarnya seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzi buka denga maknawi[12]. Sebagian dari mereka secara ketat melarang meriwayatkan hadits dengan maknanya saja (maknawi) bahkan satu huruf atau satu katapun tidak boleh diganti. Begitu pula tidak boleh mendahulukan susunan kata yang disabdakan Rasul dibelakang atau sebaliknya, atau meringankan bacaan yang tadinya tsiqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal in Umar ibn Khattab pernah berkata: ”Barang siapa yang mendengar hadits Nabi kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat”[13].

Di antara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadits dengan jalan lafzi adalah Ibn Umar. Ia seringkali menegur sahabat yang membacakan hadits yang berbeda (walaupun hanya satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rasul SAW. seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid ibn Amir. Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan hadits tentang lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan ke empat, sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah SAW.


  1. Periwayatan Maknawi

Di antara para sahabat lainnya ada yag berpendapat bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan oleh Rasul SAW, boleh diriwayatkan hadits secara maknawi, periwayatan hadits yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.

Meskipun demikian para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibn Mas;ud misalnya, ketika meriwayatkan hadits, ada bagian-bagaian tertetu yang digunakannya untuk menguatkan penukilannya, seperti denga kata: qala Rasul SAW. hakaza atau qala Rasul SAW qariban min haza yang artinya Rasul SAW telah bersabda begini.

Periwayatan hadits dengan maknawi akan mengakibatkan munculnya hadits-hadits yang redaksinya antara satu dan lainnya berbeda-beda, meskipun maksud atau maknanya sama. Hal ini santa bergantung kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut.


VI. REAKSI TERHADAP SUNNAH

Salah satu keberhasilan Rasul berdakwah menyampaikan agama Islam di tengah karakter bangsa Arab  yang terkenal tempramental dan keras wataknya adalah sikap bijaksana beliau terhadap umat. Ketika beliau tidak sependapat dengan para sahabatnya, beliau tidak marah, tetapi beliau justru memberikan penjelasan secara transparan, logika dan naik dengan lapang dada beliau menerima saran ataupun perbedaan pendapat yang ada. Tentu saja yang terakhir ini tidak berkaitan dengan wahyu yang menyangkut masalah hukum.

Bisa jadi orang dapat berbeda pendapat tentang penjabaran ini. Namun agaknya tidak terelakkan untuk memilah-milah ucapan  dan sikap Nabi SAW. karena hal yang semacam inilah yang dilakukan oleh para sahabat beliau sendiri. Berikut ini beberapa contohnya:

Jabir bin Abdillah bermohon kepada Nabi SAW. agar beliau bersedia berbicara kepada sekian banyak pedagang dengan tujuan untuk membebaskan ayah Jabir dari utang-utangnya. Para pedagang yang menyadari bahwa upaya Nabi tersebut hanya sekedar saran, menolak saran tersebut.

Buraidah bersikeras untuk meminta cerai dari suaminya, walaupun ia telah dinasihati oleh nabi SAW. Hal ini karena ia menyadari bahwa nasihat Nabi tersebut bukanlah kewajiban agama yang harus dilaksanakannya[14].

Ketika Nabi SAW. memilih lokasi tempat bermarkas pasukannya dalam perang Badar, al-Khubbab ibn al-Mundzir bertanya apakah lokasi ini merupakan pilihan yang didasari oleh petunjuk Ilahi ataukah pilihan yang didasari oleh pertimbangan akal dan strategi perang? Ketika Nabi Muhammad SAW. menjawab bahwa itu adalah ahsil penalarannya, al-Khubbab mengusulkan lokasi lain yang lebih tepat dan usulnya diterima oleh Nabi Muhamamd SAW[15].

Demikianlah terlihat bahwa sejak semula pemilihan dalam sikap dan ucapan nabi SAW. telah dikenal oleh sahabat-sahabat beliau sendiri.

Melalui buku ini, Muhammad al-Ghazali berupaya menjelaskan perbedaan pemahaman menyangkut sekian banyak sunnah Nabi kemudian mendudukkan masalahnya, baik dengan menjelaskan maksud sunnah itu maupun dengan menolah keshahihannya.

Apa yang dilakukannya ini – khususnya dengan menolak a-Sunnah yang dinilainya bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran – telah menimbulkan pro dan kontra. Bahkan ada yang menuduhnya sebagai salah satu orang yang mengingkari as-Sunnah.

Muhamamd al-Ghazali sendiri beranggapan bahwa apa yang dilakukannya itu justru merupakan salah satu bentuk dari pembelaan terhadap Sunnah Nabi SAW.

Memang, bentuk-bentuk pembelaan tidak terbatas pada pembuktian orientasinya, tetapi juga dalam pemberian interpretasi-interpretasinya yang sesuai. Dan itulah menurut hemat saya, yang diupayakan oleh Muhammad al-Ghazali dalam bukunya ini.

Namun demikian kita harus berhenti sejenak untuk merenungkan kaidah yang dijadikan tolak ukur oleh Muhammad al-Ghazali dalam menolak as-Sunnah. Dalam bukunya ini ia menegaskan bahwa hadits/sunnah Nabi Muhammad SAW. yang bertentangan atau berbeda dengan al-Quran harus ditolak. Setelah memberikan contoh bagaimana Aisyah RA. menolak hadits yang disampaikan Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: ”Sesungguhnya orang mati disiksa karena tangisan keluarga-keluarganya” alasan bahwa kandungan hadits ini bertentangan dengan al-Quran yang artinya ”Seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS 6:164), Muhammad al-Ghazali menegaskan:

”Menurut hemat saya, cara yang ditempuh oleh Umm al-Mukminin (Aisyah RA) merupakan dasar untuk mengukur riwayat-riwayat yang sahih melalui ayat-ayat al-Quran”.

Selanjutnya Muhammad al-Gahazali menulis:

”Para imam fiqh menetapkan hukum-hukum sesuai dengan ijtihad yang luas yang berdasarkan kepada al-Quran terlebih dahulu. Sehingga apabila mereka menemukan dalam tumpukkan riwayat yang sejalan dengan al-Quran mereka dapat menerimanya. Atau kalupun tidak, mereka menolaknya karena al-Quran lebih utama untuk diikuti”[16].

Pendapat di atas tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqh yang menerapkan secara utuh adalah Abu Hanifah dan para pengikut mazhabnya. Mereka secara tegas menyatakan bahwa hadits-hadits yang bertentangan dnegan al-Quran harus ditolak. Sebab al-Quran diyakini kebenarannya secara mutlak, dan kerena itu tidaklah wajar untuk ditinggalkan hanya disebabkan keberadaan suatu hadits yang bersifat ahad (yang tidak diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang meyakinkan). Menurut penganut mazhab Hanafi, jangankan membatalkan kandungan suatu ayat al-Quran, mengecualikan kandungan sebagian ayatnya pun tidak dapat dilakukan oleh hadits.

Pendapat ulama fiqh mazhab Hanafi yang demikian ketat itu, tidak disetujui oleh Imam Malik dan penganut mazhabnya. mereka dapat saja menerima dan mengamalkan hadits-hadits yang tidak sejalan dengan ayat al-Quran apabila ada indikator yang menguatkan hadits tersebut. Seperti misalnya, adanya pengamalan penduduk Madinah atau adanya kesepakatan (ijma’) menyangkut kandungannya. mereka menerima hadits yang menyatakan haramnya memperistrikan dalam saat yang bersamaan – seorang wanita bersama bibinya, walaupun hal in secara lahir tidak sejalan dengan kendungan ayat 24 surat an-Nisa’.

Imam Syafi’i dan penganutnya bukan saja menolak pendangan Abu Hanifahtetapi juga pandangan mazhab Maliki. Cukup panjang argumentasi yang disampaikan Imam Syafi’i dalam hal ini, baik dari segi pembuktian kelemahan pandangan kedua tokoh mazhab tersebut, maupun pembuktian dari segi keharusan mengakui keshahihan sunnah Nabi SAW. yang kelihatannya berbeda atau bertentangan dengan ayat al-Quran.

Sunnah, menurut asy-Syafi’i, boleh saja berbeda, menambah atau mengecualikan sebagian kandungan ayat al-Quran. Bukankah Allah sendiri mengharuskan umat Islam mengikuti perintah Nabi-Nya?

Agaknya ketika menetapkan pendapatnya itu, asy_syafi’i dipengaruhi oleh sikap sekian banyak orang pada masanya, yang berusaha menolak as-Sunnah dan mengingkarinya, dengan alasan al-Quran telah menjelaskan segala sesuatu – mirip dengan pandangan segelintir anggota masyarakat muslim sekarang ini.

Pengantar ini bukan bermaksud untuk memasuki polemik yang terjadi di kalangan ulma-ulama mazhab tersebut. Yang dimaksud hanyalah ingin menggarisbawahi bahwa tidak semua ulama fiqh sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Mumammad al-Ghazali dalam buku ini. Di sisi lain, jika ada yang tidak sependapat dengan asy-Syafi’i atau mendukung paham Abu Hanifah, maka harus disadari bahwa penolakan mereka bukan terhadap as-Sunnah secara keseluruhan, tetapi hanya terhadap hadits/sunnah tertentu yang mereka nilai berantangan dengan al-Quran. Semua itu mereka lakukan dengan sangat cermat dan hati-hati, setelah menganalisis, mengolah dan membalik-balik segala sisi permasalahan. Karena siapa tahu pertentangan yang diduga itu dapat dikompromikan, apalagi jika Isanad (rangkaian perawinya) terdiri dari orang-orang yang jujur, kuat hafalannya lagi memahami persoalan.

VII. MENCERMATI HADITS DENGAN ILMU

Ilmu merupakan alat bagi manusia untuk memecahkan persoalan hidup baik yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat. Usuran ekonomi, sosial, budaya, politik, kemasyarakatan, ibadah dan sekian banyak lagi yang menyangkut kehidupan manusia. Tidak mungkin rasanya kita menjalankan urusan tanpa kendali ilmu pengethauan, walau sekecil apapun urusan tersebut. Karena begitu urgensinya ilmu maka Islam mewajibkan kepada umatnya untuk terus mengejar ilmu kapanpun dan dimanapun berada. Tetapi sayang masih banyak ilmu yang kita belum memahami secara baik dikarenakan memang sifat ilmu yang banyak ragamnya. Ada ilmu yang perlu dicermati atau diteliti sebelum siap digunakan, ada pula yang langsung siap digunakan.

Badruddin az-Zarkasyi (1344-1391) mengkalisifikasikan ilmu-ilmu keislaman menjadi tiga bagian:

Pertama: Ilmu yang telah “matang tetapi belum dibakar” (nadhaja wa lam yahtariq) seperti ilmu nahwu (tatabahasa) dan ushl fiqh.

Kedua: Ilmu yang “belum matang dan belum pula terbakar”, seperti sastra dan tafsir[17].

Ketiga: Ilmu fiqh dan hadits dikatakan matang dan terbakar pula karena kedua ilmu ini begitu banyak dibahas oleh para ulama, dan istilah-istilah yang digunakan begitu beragam; sehingga tidak jarang setiap ulama mempunyai pengertian yang berbeda dengan ulama lain, walaupun istilah yang digunakan sama.

Fiqh dapat dikatakan sebagai suatu ilmu yang lahir dari hadits-hadits Nabi SAW. Karena walaupun ulama-ulama fiqh merujuk kepada al-Quran,s eringkali pemahamannya dikaitkan dengan hadits-hadits yang ada. Dan meskipun ilmu fiqh lahir dari hadits, namun pandangan dan pemahamn para ahli hadits terhadap hadits itu sendiri tidak jarang berbeda dengan pandangan para ulama fiqh/ushul.

Ulama hadits misalnya, karena memandang jujungan kita Nabi Muhammad SAW. sebagai teladan, mengarahkan perhatian mereka terhadap segala apa saja yang berkaitan dengan pribadi yang agung itu, baik berkaitan dengan hukum ataupun tidak. Bahkan mereka menganggap bahwa segala seusuatu yang dinisbahkan kepada beliau, baik sebelum ataupun sesudah beliau diangkat menjadi nabi adalah Sunnah. Sementara itu ulama ushl fiqh membatasi bahasan-bahasan mereka, yang berkenaan dengan Rasul SAW. hanya dalam persoalan-persoalan yang dapat dijadikan kaidah-kaidah hukum. Sedangkan ulama fiqh membatasi pembahasan mereka yang berkaitan dengan Ruslullah SAW. hanya pada masalah-masalah yang berhubungan dengan perincian hukum syariat, yakni apakah masalah itu wajib, sunnah, haram, makruh atau mubah[18].

Pemahaman antara para ulama di atas juga berbeda berkaitan dengan suatu teks hadits. Ada yang memahaminya secara tekstual dan ada pula yang secara kontekstual. Kedua ciri in sebenarnya telah dikenal bahkan dipraktekkan oleh para sahabat Nabi SAW.

Suatu ketika Nabi SAW. memerintahnkan sejumlah sahabatnya untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat beliau berpesan: La yushaliyanna ahadukuum al-ashra illa fi Bani Quraizhah yang artinya ”Janganlah ada salah seorang diantara kamu yang salat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraizhah”.

Perjalanan ke perkampungan tersebt ternyata begitu panjang, sehingga sebelum mereka tiba di tempat yang dituju waktu Ashar telah habis. Di sini mereka merenungkan kembali apa maksud pesan nabi di atas. Ternyata sebagian memahaminya sebegai perintah untuk bergegas  dalam perjalanan agar dapat dapat tiba di sana pada waktu masih Ashar. Jadi bukan seperti bunyi teksnya yang melarang salat Ashar kecuali di sana. Dengan demikian mereka boleh salam Ashar walaupun belum tiba di tempat yang dituju.

Tetapi sebagian yang lain memahaminya secara tekstual. Oleh karena itu mereka baru melaksanakan salat Ashar setelah waktu Ashara berlalu, karena mereka baru tiba di perkampungan Bani Quraizhah setelah waktu Ashar berlalu[19].

Di kalangan para ulama mereka banyak mengenal istilah asbabul wurud, yakni sebab diturunkannya sebuah hadits – atau dengan kata lain ”konteks subuah hadits”. Namun tidak jarang konteks yang dimaksud tidak diketahui secara pasti atau kabur bagi sebagian peneliti, sehingga menimbulkan kekeliruan pemahaman. Contoh sebagian ulama memehami sabda Nabi, Man akala lahma jazurin falyatawadhdha yang artinya ” Barang siapa yang memakan daging unta, hendaklah berwudhu”, sebagai argumentasi batalnya wudhu akbiat daging unta. Pemahaman ini keliru akibat tidak jelasnya konteks ucapan Nabi itu baginya.

Imam al-Qarafi dianggap sebagai orang pertama yang memilah ucapan dan sikap Nabi Muhammad  SAW. Menurutnya Nabi terkadang berperan sebagai Imam Agung, Qadhi (penetap hukum yang bijaksana) atau Mufti yang amat dalam pengetahuannya.

Pendapat di atas bagi penganut paham kontekstual dijabarkan dan dikembangkan lebih jauh, sehingga setiap hadits harus dicari dulu konteksnya, apakah diucapkan/diperankan oleh manusia agung itu dalam keadaan beliau sebagai:

  1. Rasul, dan karena itu pasti benar. Sebab bersumber dari Allah SWT.
  2. Mufti, yang memberi fatwa berdasarkan pemahaman dan wewenang yang diberikan Allah kepadanya. Dan ini pun pasti benar serta berlaku umum bagi setiap muslim.
  3. Hakim, yang memutuskan perkara. Dalam hal ini putusan tersebut walaupun secara formal pasti benar, namun secara material adakalanya keliru. hal ini diakibatkan oleh kamampuan salah satu pihak yang bersengkata dalam menutup-nutupi kebenaran, sementara di sisi lain keputusan ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa
  4. Pemimpin suatu masyarakat, yang menyesuaikan sikap, bimbingan dan petunjuknya sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat yang dipimpin. Dalam hal ini sikap dan bimbingan tersebut pasti benar dan sesuai dengan masyarakatnya. namun bagi masyarakat yang lain mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam petunjuk dan bimbingan itu untuk kemudian diterapkan sesuai dengan kondisi masing-masing.
  5. Pribadi, baik karena beliau: (a) memiliki kekhusussan dan hak-hak tertentu yang adianugerahkan atau dibebankan oleh Allah dalam rangka tugas kenabiannya, seperti kewjiban salat malam atau kebolehan menikah lebih dari empat kali; maupun karena (b) kekhususan-kekhususan yang diakibatkan oleh sifat manusia, yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, seperti perasaan suka atau benci terhadap sesuatu. Soal yang terakhir ini tidak menjadi fokus perhatian utama mereka yang menitikberatan pendangannya pada ucapan atau sikap yang berkaitan dengan hukum[20].


VIII. BIOGRAFI ULAMA HADITS

Biografi para tokoh atau ulama u\yang dikemukakan pada uraian ini, ialah Abu Harairah, Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, Siti Aisyah, Abdullah ibn Abbas, Jabar ibn Abdillah dan abu Sa’id al-Khudri. Mereka adalah para sahabat yang mendapat predikat al-muktsirun fi ar-riwayah (ulama yang banyak meriwayatkan hadits). Tokoh atau ulama lainnya aialah Umar ibn Abdul Aziz, Muhammad Abu Bakar ibn Hazm, Mahammah ibn Syihab az-Zuhri, al-Bukhari, Muslim dan ar-Ramahurmuzi. mereka adalah para tokoh yangs angat berperan dalam upaya penulisan hadits dan ilmu hadits, sejak generasi tabi’in sampai pada abad kelima hijriah.

A.    Sahabat yang mendapat gelar Al-Muktsirun Fi Ar-Riwayah

1.      Abu Hurairah

Abu Hurairah merupakan nama kunyah atau julukan yang diberikan rasulullah SAW, karena sikapnya yang sangat menyayangi kucing peliharaannya. Sedangkan nama aslinya adalah Abdurrahman ibn Sakhr ad-Dausi al-Yamani. Isa adalah salah seorang sahabat Rasul SAW yang diberi gelar kehormatan oleh para ulama dengan al-Imam, al-Faqih, al-Mujtahid dan al-Hafizh. Ia dilahirkan pada tahun 19 sebelum hijriah, dan meninggal di ­al-Aqiq pada tahun 59 hijriah[21].

Abu Hurairah adalah sosok sahabat yang sangat sederhana dalam kehidupan materi, wara’ dan taqwa. Seluruh hidupnya diabdikan untuk selalu beribadah kepada Allah SWT. Ia pernah diangkat menjadi pegawai di Bahrain pada masa khalifah Umar ibn Khattab, kemudian ia diberhentikan karena kebiasaanya yang terlalu banyak meriwayatkan hadits. Kebiasaan ini bertentangan dengan kebijakan Umar ibn Khattab yang ada masa itu sedang memperketat periwayatn hadits. Pada masa khalafah Ali ibn Abi Thalib ia menolak diangkat menjadi pegawai. Akan tetapi pada masa Muawiyah ia menerima kedudukan sebagai penguasa Madinah.

Ia cukup banyak menerima hadits dari Rasululah SAW sendiri. al-Bukhari, Muslim dan at-Turmudzi meriwayatkan bahwa Abu Hurairah suatu ketika mengeluh kepada Rasulullah SAW tentang hadits yang diterimanya yang ia tidak bisa menghapalnya. Rasul menyuruhnya membentangkan selendangnya, lalu diceritakannya banyak hadits. Setelah itu ia tidak pernah lupa terhadap hadits-hadits yang diterimanya. Di samping langsung dari Rasul, ia terima juga hadits-hadits melalui para sahabat lainnya seperti Abu Bakar, Utsman, Ubay ibn Ka’ab, Usamah ibn Zaid dan Aisyah.

Hadits-hadits yang diterimanya diriwayatkan oleh sekitar 800 orang dari kalangan sahabat dan tabi’in. Di antara sahabat, ialah Abdullah ibn Abbas, abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdillah dan anas ibn Malik. Sedangkan dari kalangan tabi’in antar lain Sa’id ib al-Musayyab, Ibnu Sirin, Ikrimah, Atha’, Mujahid dan asy-Sya’bi. Dalam meriwayatkan hadits di kalangan para sahabat ia menduduki ranking pertama dengan jumlah hadits yang diriwaytkannya sebanyak 5374 buah hadits.

Di antara silsilah sanad yang paling shahih untuk hadits-hadits yang diterima Abu Hurairah ialah melalui Ibnu Syihab az-Zuhri, dari Sa’id ibn al-Musayyab. Sedangkan silsilah sanad yang paling lemah ialah melalui as-Sirri ibn Sulaiman dari Abu Daud ibn Yazid Al-Audi dari Yazid (ayah as-Sirri)[22].

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa ia juga termasuk salah seorang sahabat yang memiliki catatan hadits-hadits dari rasululah SAW. Di antara hadits yang diriwayatkannya juga tercatat beberapa nama yang menulis hadits yang diterima daripadanya, antara lain Abu Shalih as-Samani, Basyir ibn Nuhaik, Abdul al-Aziz ibn Marwan, Muhammad ibn Sirin dan Marwan ibn al-Hakam[23].

2.      Abdullah ibn Umar

Abdullah ibn Umar atau juga biasa disebut juga dengan ”Ibn Umar”, lahir pada tahun 10 sebelum hijriah, setelah peristiwa pengangkatan Rasul dan meninggal pada tahun 74 hijriah[24]. Ia masuk Islam bersama ayahnya pada usia 10 tahun, dan termasuk salah seorang dari empat sahabat Nabi yang mendapat gelar ”Abdullah”. Menurut Malik ibn Abbas dan Ibn Syihab az-Zuhri, ia mengetahui sepenuhnya berbagai urusan yang dihadapi Rasul SAW dan para sahabatnya. Dalam kehidupan sehari-harinya menurut pandangan para ulama, baik dari kalngan sahabat maupun tabi’in, bahwa pribadi Ibn Umar mencerminkan ia seorang ulama yang hanya mengharapkan ridha Allah  SWT semata, sebgaimana dikatakan Ibn Mas’ud , Jabir dan Ibn al-Musayyab. Menurut ibn Syihab az-Zuhri, di kalangan para tabi;in tidak pernah ada seorangpun yang berpaling dari pandangan-pandangannya[25].

Hadits-hadits yang diterimanya, selain langsung dari Rasulullah SAW, ia juga menerimanya dari para sahabat lainnya, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Hafshah (saudaranya) dan Abdullah ibn Mas’ud. Para tabi;in yang meriwayatkan hadits dari beliau banyak sekali. Di antaranya ialah Sa;id ibn Musayyab, al-Hasan al-Basri, Ibn Syihab az-Zuhri, Ibn Sirin Nafi, Mujahid, Thawus dan Ikrimah. Dalam periwayatan hadits di kalangan para sahabat ia menduduki ranking kedua, dengan jumlah hadits yang diriwayatkan sebanyak 2630 buah.

Di antara silsilah sanad yang paling shahih yang sampai kepada Abdullan ibn umar ialah hadits yang melalui Malik ibn Anas dari Nafi’. Sedangkan yang paling lemah ialah hadits yang melalui Muhammad ibn Abdullah ibn aal-Qasim dari ayahnya kemudian dari kakeknya[26].

Di samping ia menghapal hadits-hadits yang diterimanya, ia juga menuliskannya dalam beberapa risalah. Hal ini di antaranya diketahui oleh Nafi’[27]. Di antara hadit-hadits yang diriwayatkannya ada juga yang ditulis oleh para ulama yang menerimanya, seperti Sa’id ibn Jubair, Abdul al-Aziz ibn Marwan, Abdul Malik ibn Marwan dan Nafi’.

3.      Anas ibn Malik

Nama lengkap Anas ibn Malik adalah Anas ibn Malik ibn an-Nadhar ibn Dhamdham ibn Zaid ibn Haram ibn Jundub ibn Amir ibn Ganam ibn Addi ibn an-Najar al-Anshari. Ia juga dikela sebagai Abu Hamzah.

Anas Ibn Malik dilahiran pada thaun 10 sebelum hijriah, dan wafat pada tahun 93 hijriah di Bashrah (menurut Qatadah tahun 91 dan menurut Wahab ibn Jarir pada tahun 95); Anas ibn Malik adalah sahabat yang wafat terakhir di kota ini[28].

Ia hidup bersama Rasul SAW dalam kedudukannya sebagai pembantu, yang dipersembahkan oleh Ibunya (Ummu Sulaim) pada usia 10 tahun. Ayahnya bernama malik an-nadhar yang silsilah keturunannya sampai kepada Ibn ’Addi ibn an-najar. Rasul SAW sendiri memperlakukannya dengan sangat bijaksana, bukan sebagai seorang tuan kepada pembantunya. Dalam hal ini, Anas pernah bercerita bahwa Rasul SAW tidak perah menyinggung perasaanya, bermasam muka, atau menegur apa saja yang dikerjakan atau ditinggalkannya kecuali hanya menyerahkannya kepada Allah SWT.

Kepribadiannya yang dikenal di kalangan para sahabat adalah ketaqwaan dan kewaraannya. Abu Hurairah pernah berkomentar: ”Aku tidak melihat seorangpun yang salatnya menyerupai Rasul SAW., kecuali Ibn Sulaim (Anas Ibn Malik)”. komentar yang hampir sama juga dikemukakan oleh Ibn Sirrin.

Hadits-hadits yang diterimanya selain langsung dari Rasul SAW, juga dari para sahabat lainnya, seperti Abu bakar, umar, Utsman, Fatimah az-Zahra, tsabit ibn Qais, Abdurrahman ibn Auf, Ibn Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab, Mu’adz ibn Jabal dan lain-lain. Sedangkan hadits-haditsnya diriwayatkan oleh para tabi;in antara lain al-Hasan, Sulaiman at-taimi, Abu Qilabah, Ishad ibn abi Thalhah, dan Muahmmad ibn Sirin[29]. Dalam periwayatan hadits di kalangan  para sahabat ia menduduki ranking ketiga dengan jumlah hadits yang diriwayatkan sebanyak 2286 buah hadits.

Silsilah sanad yang paling shahih yang sampai kepadanya ialah melalui malik ibn Anas dari Ibn Syihab az-Zuhri. Sedangkan yang paling lemah adalah melalui Daud ibn al-Muhabbir dari ayahnya dari abban ibn Abi Iyasy[30].

4.      Siti Aisyah

Siti Aisyah merupakan istri Rasulullah SAW, putri Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia merupakan satu-satunya istri Nabi yang banyak meriwayatkan hadits, hingga ia meningal pada tahun 57 H.

Tentang kelebihan ilmunya, ibn Syihab az-Zuhri pernah berkata: ”Jika ilmu istri-istri Rasul SAW dikumpulkan ditambah ilmu wanita-wanita lainnya, tentu tidak akan dapat mengungguli ilmu Aisyah”. Komentar yang senada juga diberikan oleh Urwah[31]. Penghargaan yang sangat tinggi juga disampaikan di antaranya oleh oleh ayah Hisyam. Menurutnya tidak ada sahabat yang sepandai Aisyah dalam hal mengetahui diturunkannya ayat-ayat al-Quran, hal-hal yang diwajibkan dan disunnahkan, peristiwa-persitiwa penting, silsilah keturunan dan banyak hal lainnya.

Hadits-hadits selain yang diterimanya langsung dari rasul SAW sendiri, ia juga menerimanya dari para sahabat seperti Abu Bakar (ayahnya), Umar, Sa’ad ibn Abi Waqas dan Usaid ibn Khudair. Yang menerima hadits dari Aisyah bukan hanya para tabi’in tetapi juga para sahabat lainnya. di antara para sahabat yang meriwayatkan hadits daripadanya, ialah Abu Hurairah, Abu Musa al-Asy’ari, Zaid ibn Khalid, al-Juhni dan Shafiyah binti Syaibah. Sedangkan para tabi’in yang menerima hadits dari beliau antara lain Sa’id ibn al-Musayyab, Alqamah ibn Qais, Masruq ibn al-Ajda’, Aisyah binti Thalhah, Amrah binti Abdurrahman, Hafsah binti Sirin. Dalam jajaran para perawi di kalngan sahabatbeliau menduduki erigkat ke empat dengan hadits yang diriwayatkan sebanyak 2210 buah.

Silsilah sanad yang paling tinggi derajatnya yang sampai kepada beliau ialah yang melalui Yahya ibn Sa’id dari Ubaidullah ibn Amr dari al-Qasim ibn Muhammad. Silsilah lainnya ialah melalui Ibnu Syihab az-Zuhri atau Hisyam ibn Urwah ibn az-Zubair. Sedangkan sanad yang paling lemah terdapat pada al-Harits ibn Syubl dari Ummu an-Nu’man[32].

5.      Abdullah ibn Abbas

Abdullah ibn Abbas atau juga biasa disebut dengan Ibnu Abbas adalah anak paman rasul SAW, al-Abbas ibn Abdul Mutahllib ibn hasyim ibn Manaf al-Makki al-Madani at-Thai’ifi, sedangkan ibunya ialah saudara Maimunah (istri Nabi SAW) yaitu Ummu al-Fadhl Lubabah binti a-Harits al-Hilaliyah. Ia dilahirkan tiga tahun sebelum hijrah dan meninggal di Tha’if pada tahun ke 68 hijrah.

tentang kepribadian dan kelebihan Ibnu Abbas\, di antaranya disebutkan bahwa Rasul SAW pernah mendoakannya, yang dikabulkan oleh Allaw SWT, dengan doa: ”Allahumma faqihu fi ad-Din wa ’allamahu al-ta’wil” (ya Allah, semoga Engkau memberi pemahaman kepadanya). Ubaidillah ibn Abdullah ibn Utbah pernah berkata, bahwa pengetahuan Ibnu Abbas dalam bidang fiqh, tafsir al-Quran, bahasa Arab, sya’ir, ilmu hisab dan ilmu waris tidak ada yang mampu mengungguli.

Hadits-hadits yang diriwayatkannya di samping diterima langsung dari Rasul SAW, ia juga menerima dari ayah dan ibunya, Abu Bakar, Utsman, Ali, umar, Ubaya ibn Ka’ab, Mu’adz ibn Jabal dan sahabat-sahabat lainnya. Sedangkan para ulama yang meriwayatkan hadits darinya antara lain, Abdullah ibn Umar, Abu ath-Thufail, Said ibn al-Musayyab, Anas ibn Malik, Sahal ibn Hanif, Ikrimah dan banyak lagi para ulama lainnya. Dalam jajaran para perawi hadits di kalangan sahabat ia menduduki peringkat kelima, dengan jumlah yang diriwayatkan sebanyak 1660 buah hadits. Hadits yang langsung diterima nabi SAW dendiri, sebagaimana yang ditemukan pada shahi Bukhari dan Muslim, adalah lebih dari sepuluh hadits. Menurut para ulama lainnya, sebagaimana dikemukakan al-Asqalani, menyebutkan jumlahnya lebih kecil dari itu; menurut al-Ghazali hanya ada empat hadits, menurut Gandar hanya sembilan hadits, dan menurut Yahya al-Qaththan hanya ada sepuluh hadits[33].

Silsilah sanad hadits yang paling tinggi nilainya yang sampai kepadanya, aialah melalui Ib Syihab az-Zuhri dsan Ubaidilah ibn Abdillah ibn Utbah. Sedangkan silsilah yang paling lemah melalui perantara Muhammad ibn Marwan as-Suddi ash-Shaghir dari al-Kalbi dari Abu Shalih.

6.      Jabir Ibn Muhammad

Ia dilahirkan pada tahun 16 sebelum hijrah dan meninggal di Madinah pada 78 H (menurut Ibn Sa’ad dan al-Haitsam tahun73, bahkan ada yang menyebutkan tahun 94 H)[34]. Ayahnya adalah abdullah ibn Amr ibn Haram ibn Tsa’labah al-Khazraji an-Nashari as-Salami. Di masjid Nabawi ia memberikan bimbingan pengajian kepada masyarakat. Kemana saja ia pergi, seperti ke Mesir dan Syam, ia selalu dikunjungi masyarakat yang ingin mengambil ilmunya dan meneladani taqwanya. Ia mendapat gelar kehormatan di antaranya al-Faqih, al-Imam dan al-Mufthi al-Madinah[35].

Ia menerima hadits-hadistnya selain dari rsul SAW sendiri, juga dari para sahabat lainnya seperti, Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Ubaidah, Thalhah, Mu’adz ibn Jabal, Ammar ibn Yasir Khalid ibn Walid, Abu Burdah ibn Nayyar, Abu Hurairah, Ummu Syuraik dan masih banyak lagi sahabat lainnya. Sedangkan para ulama tabi’in yang meriwayatkan hadits darinya antara lain Abdurrahman, Uqail, dan Muhammad (anaknya), S’id ibn al-Musayyab, Abu az-Zubair, Ibnu Dinar, Abu Ja’far al-Baqir, Muhammad ibn al-Munkadir, Wahab ibn Kaisan dan al-Hasan al-Bashri[36]. Dalam jajaran periwayat hadits di kalangan sajabat ia menduduki peringkat keenam dengan meriwayatkan 1540 buah hadits.

Silsilah sanad yang paling tinggi nilainya ialah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh um\lama Mekkah melalui Sofyan ibn Uyainah dari Amr ibn Dinar[37].

7.      Abu Sa’id al-Khudri

Abu Sa’id al-Khudri adalah nama gelar yang diberikan kepadanya, sedangkan nama aslinya adalah Sa’ad ibn Malik ibn Sinan. Ia dibawa ayahnya mengunjungi rasul SAW untuk ikut berperang pada perang Uhud, yang waktu itu ia baru berusia 13 tahun. Rasul melarangnya karena dinilai amsih terlalu muda. Ia meninggal pada tahun 74 hijriah.

Tentang kepribadiannya, ia dikenal sebagai seorang yang  zahid dan alim. Dalam perjuangan untuk menegakkan ajaran, ia ikut berperang sebanyak 12 kali.

Hadits-hadits ia terima di samping dari Rasul SAW, adalah dari para sahabat lainnya seperti Malik ibn Sinan (ayahnya), Qatadah ibn an-Nu’man, abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, ABU Musa al-Asy”ARI< Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Salam. Sedangakn dari kalangan ulama yang meriwayatkan hadits-haditsnya antara lain Abdurrahman (anaknya), Zainab binti Ka’ab ibn Ajrad, Abdullah ibn Umar, Abdullah ib ABBAS< ABU ath-Thufail, Nafi’ dan ikrimah. Dalam jajaran periwayat hadits di kalangan sahabat ia menduduki posisi ketujuh dengan hadits yang telah diriwayatkannya sebanyak 1170 hadits.


B. Tokoh-tokoh sekitar Pen-tadwin-an hadits dan Ilmu Hadits

1.      Abu Sa’id al-Khudri

Nama lengkapnya ialah Umar ibn Abdul Aziz ibn Marwan ibn al-Hakam ibn Abu al-‘As ibn Umayyah ibn Abdu Syams al-Quraisyi al-Amawi, atau disebut juga dnegan Abu Hafs al-Madani ad-Dimaski. Ia adalah salah seorang khalifah (yang ke-8) dari Daulah Bani umayyah, yang oleh banyak ulama –karena kearifan, keadilan, kewaraan dan keluhuran budinya terutama selama menjadi khalifah– ia dimasukkan ke dalam jajaran khulafa ar-raasyidin.

Ia dilahirkan pada tahun 61 H dan meninggal pada bulan rajab tahun 101 H. ibunya bernama Ummu Ashim ibn Ashim (putri Umar ibn Khattab). Karena garis keturunannya ini, dalam banyak hal ia dinilai memiliki sifat-sifat kakeknya.

Dalam hal sejarah perkembangan hadits ia sangat berjasa karena gagasannya untuk mengumpulkan hadits dalam suatu kitab tadwin. Untuk keperluan ini, ia sebagai kahlifah memberikan instruksi kepada Abu Bakar ibn Muammad ibn Hazm –Gubernur Madinah– agar asegera mengumpulkan orang-orang yang mengetahui hadits, khususnya hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Anshari dan al-Qasin ibn Muhammad ibn Abu Bakar serta menghimpunya. Isntruksi serupa disampaikan juga kepada Muhammad ibn Syihab az-Zuhri. Meskipun hasil tadwinnya tidak sampai ke tangan umat Islam generasi berikutnya, akan tetapi sebagai perintis formal dalam pen-tadwin-an hadits, merupakan jasa yang sangat besar dalam upaya menyelamatkan hadits dari berbagai persoalannya, seperti kehilangan dan usaha pemalsuan.

Hadits-haditsnya ia terima dari para sahabat dan sesama tabi’in lainnya. Di antaranya ialah Anas ibn malik, as-Sa’ib ibn Yazid, Abdulah ibn Ja’far, Yusuf ibn Abdillah ibn Salam, Uqbah ibn Amar al-Juhni, Abdullah ibn Ibrahim ibn Qarit, ar-Rabi’ ibn Sabrah al-Juhni, Urwah ibn az-Zubair, Abu Salamah ibn Abdurrahman dan Abu Bakar ibn al-Harits ibn Hisyam. Sedangkan yang meriwayatkan hadits-haditsnya antara lain ialah Abu Salamah ibn Abdurrahman (gurunya sendiri), Abdullah ibn Abdul Aziz (anaknya), Zuban ibn Abdul Aziz, Maslamah ibn Abdul al-malik ibn Marwan, Ibnu Syihab az-Zuhri, Abu Bakar Muhammad ibn AMR IBN Hazm, Laits ibn Abu ruqayah ats-Tsaqafi, Ayyub al-Sakhtiyani dan Abdul al-Malik ibn ath-Thufail.

Dalam kapasitasnya sebagai perwai hadits, oleh para ahli hadits ia dinilai sebagai perawi yang tsiqah. Oeh ibnu Hibban ia dimasukkan ke dalam jajaran tabi’in yang tsiqah[38].

2.      Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm

Nama lengkapnya ialah Abu Bakr ibn Muhammad ibn AMR IBN Hazm al-Anshari al-Khazraji an-Najari al-Madani. Nama kecilnya ialah Abu Bakr atau Abu Muhammad. Tidak jelas kapan ia dilahirkan, sedangkan ia meninggal pada 117 hijriah; ada juga yang menyebutkan tahun 120 H.

Dalam sejarah perkembangan hadits, ia yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur Madinah– berdasarkan instruksi khalifah Umar ibn Abdul Aziz– berhasil mengumpulkan hadits yang tersebar dari para penghapalnya. Adapun dalam kapasitasnya sebagai ahli hadits, para ulama, seperti Ibn Ma’in, dan ibn Kharrasy menilainya tsiqah. Ibn Hibbah, al-Haitsan ibn Addi’, dan al-Waqidi memasukkannya ke salam ­ats-tsiqah.

Hadits-hadits yang diriwayatkannya ia terima dari banyak ulama. Di antaranya ialah dari ayahnya, Abdullah ibn Zaid ibn Abdi rabah al-Anshari, Amrah binti Abdurrahman (bibinya), Abu hayyah al-Badari, Khalidah binti Anas, Ubabah ibn Tamim, Salman al-Farisi Abdullah ibn Qais ibn Mahramah, Abdullah ibn Umar ibn Utsman, Amr ibn Salim az-Zarqa, Umar ibn Abdul Aziz dn Abu Salamah ibn Abdurrahman. Sedangkan para ulama yang meriwayatkan hadits daripadanya antara lain Abdullah (anakknya), Muhammad ibn Ammarah ibn Muhammad ibn Hazm, Amr ibn Dinar, az-ZuhrI, Yahya ibn Sa’id al-Anshari, al-Ealid ibn Abu Hisyam, Yazid ibn al-Hadi, Abdullah ibn Abdurrahman, Abdurrahman ib Abdullah al-Mas’udi, Aflah ibn Humaid, Ubaiya ibn Abbas, Abu Husain, dan Sa’id ibn Abu Hilal[39].

3.      Ibnu Syihab az-Zuhri

Nama lengkapnya ialah Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidllah ibn Abdullah ibn Syihab ibn Abdullah ibn al-Harits ibn Zahrah ibn Kilab ibn Marrah al-Quraisyi az-Zuhri.  Ia lahir pada 50 H dan meninggal pada bulan Ramadhan tahun 125 H. Menurut para ulama, seperti dikatakan Umar ibn Abdul Aziz, Ayyub dan al-Laits tidak ada ulama yang lebih tinggi kemampuannya khususnya dal;am bidang hadits darnya. karena kemampuannya dalam bidang ilmu agama, ia seperti yang dikatakan oleh al-Asqalani, mendapat beberapa gelar antara lain al-Faqih, al-Hafidzh al-Madani, Alim al-Hijaz wa asy-Syam dan salah seorang dari pemimpin dunia[40].

Dalam sejarah perkembangan hadits, sebagaimana Abu Bakr ibn Hazm, ia mendapat kepercayaan dari Umar ibn Abdul Aziz untuk menghimpun hadits-hadits. Hasil karyanya, menurut para ulama, dinilai lebih lengkap dibanding hasil karya Abu Bakr ibn Hazm. Namun sebagaimana telah dikatakan, sayang sekali, hasil karya kedua ulama ini hilang, sehingga tisak sampai ke tangan generasi berikutnya.

Hadits-hadits yang ia peroleh dari banyak ulama, antara lain Abdullah ibn Umar ibn Khattab, Abdullah ibn Ja’far, Rabi’ah ibn Abbad, Abdurrahman ibn Azhar, Abu ath-Thufail, Mahmud ibn Rabi’, Malik ibn Aus, as-Sa’ib ibn Yazid, Abdullah ibn al-Harits ibn Naufal, Urwah ibn Az-ZubairThalhah ibn Abdullah ibn Auf dan Alqamah ibn Waqaf. Sedangkan hadits-haditsnya yang diriwayatkan oleh ulama antara lain, Atha’ ibn Abu Rabbah, Abu az-Zubair al-Makki, Umar ibn Abdul Aziz, Amr ibn Dinar, Shalih ibn Kaisan, Abban ibn Shalih, Yahya ibn Sa’id al-Anshari, Ja’far ibn Rabi’ah, al-Auza’i, Ibnu Juraih, Ishaq, Amr ibn Syuaib, Muhammad ibn al-Munkadir, Hisyam ibn Urwah, Malik ibn Anas, az-Zubaidi dan Ibn Abbas.

Menurut an-Nasa’i silsilah sanad yang paling tinggi sampai kepada ibnu Syihab az-Zuhri, ada dua jalan: pertama melalui Ali ibn Husain dari ayahnya (Husain) dari kakeknya (Ali); kedua melalui Ubaidillah dari Ibn Abbas[41].

4.      al-Bukhari

Nama lengkap al-Bukhari adalah Abu Abdullah muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardzibah al-Bukhari. Nama al-Bukhari, karena beliau lahir di kota Bukhara, yang kemudian menjadi populer untuk menjadi nama penggilannya. Ia juga dipanggil dengan Ibn al-Ahnaf al-Ju’fi. al-Bukhari dilahirkan pada Jumat 13 Syawal 194 H dan meninggal pada 30 Ramadhan 256 H.

Peranannya dalam bidang hadits, adalah ia yang pertama kali berhasil menyusun kitab al-Jami’ ash-Shahih (kumpulan Hadits-hadits Shahih) dengan sistematika fiqh. Kitab ini berisi 9082 buah hadits yang disebutkan secara berulang-ulang. Hadits sejumlah itu dipilih dari sekitar 600.000 buah hadits yang diterimanya, selama masa waktu 16 tahun. Menurut Muhammad Fuad Abd al-Baqi, jumlah hadits al-Bukhari yang ditulis secara berulang-ulang sebenranya 7.563 buah atau dengan 2.607 buah dengan membuang ahdits yang berulang-ulang[42]. Karya-karya lainnya di samping dalam bidang hadits dan Ilmu Hadits, juga dalam berbagai bidang ilmu lainnya, yang jumlah seluruhnya sebanyak 20 buah karya tulis.

Hadits-haditsnya diperoleh dari adh-Dhahak ibn Makhlad, Abu ’Ashim an-Nabil, Makki ibn Ibrahim al-Hanzhali, Ubaidillah ibn Musa al-Abbasi, Abs. al-Qudus ibn al-Hajjaj, Muhammad ibn Abdullah al-Anshari dan lain-lain. Sedangkan hadits-haditsnya diriwayatkan oleh banyak ulama, antara lain Muslim , at-Turmidzi, an-Nasa’i, Ibrahim ibn Ishak al-Hurri dan Muhammad ibn Ahmad ad-Daulabi. Ulama yang terakhir meriwayatkan dari al-Bukhari ialah Manshur ibn Muhammad al-Badzudi yang meningal pada tahun 329 H[43].

Al-Bukhari mengajukan syarat-syarat untuk sanad-sanad hadits secara ketat di antara para mudawwin hadits. Di samping harus benar-benar memenuhi kriteria adil dan dhabith ia menyaratkan agar antara satu sanad dengan sanad lainnya benar-benar memenuhi syarat penghunungannya (muttashil). Untuk itu ia menartikan ittishal as-sanad (persambungan sanad) dengan dua syarat, yaitu: pertama, haurs mu’asharah (antara yang menyampaikan dan yang menerimanya hidup dalam satu masa); kedua harus liqa’ (terjadi perjumpaan di antara keduanya), meskipun perjumpaan itu hanya satu kali. Karena ketatnya persyaratan ini ia tidak menerima hadits yang diriwayatkan dengan kata-kata ”an fulan”. Karena ketatnya persyaratan yang dipaikainya, kitab karya al-Bukhari ini oleh para ulama dinilai sebagai kitab Shahih yang menduduki urutan tertinggi nilai keshahihannya[44].

Kelebihan dan keistimewaan al-Bukhari banhak dikemukakan oleh ulama sezaman dan generasi selanjutnya. Maslamah menyebutkan bahwa alp-Bukhari termasuk ulama yang menguasai benar hadits, dan ia tsiqah. Ishaq ibn Rahawaih pernah menyerukan kepada para ulama lainnya agar mengambil hadits dari al-Bukhari karena kualitas hadits-haditsnya, keluasan pengetahuannya terhadap ilmu agama, khususnya bidang hadits. Tentang kitab al-Jami’ ash-Shahih karyanya, menurut hasil penelitian Ibn al-Madini, Yahya ibn Ma’in, Ahmad ibn Hanbal dan para ulama lainnya, menyebutkan bahwa hadits-hadits al-Bukhari dalam kitabnya benar-benar shahih kecuali empat hadit saja[45].

5.      Muslim

Nama lengkap Muslim adalah Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Ia dilahirkan pada 205 atau 206 H. Sedangkan meninggalnya pada bulan Rajab 261 h dalam usia 55 tahun.

Peranannya dalam sejarah perkembangan hadits, ia merupakan ulama kedua yang berhasil menyusun kitab al-Jami’ ash-Shahih, yang dikenal dengan nama ”Shahih Muslim”. Kitab ini berisi 10.000 buah hadits yang disebutkan secara berulang-ulang, atau sebanyak 3030 buah hadits dengan menghilangkan pengulangan penyebutan sanadnya. Hadits sejumlah itu disaring dari 300.000 buah hadits yang dikumpulkannya selama 15 tahun.

Berdasarkan keshahihannya, para ulama memasukkan karya Muslim ini pada peringkat kedua setelah Shahih Bukhari. Karena syarat yang ditetapkan Muslim lebih longgar. Dalam persambungan sanad antara yang meriwayatkan (rawi) dan yang menerimanya (marwi anhu) menurut Muslim hanya cukup syarat mu’asharah (sezaman) saja.

Hadits-haditsnya diperoleh dari banyak ulama, antara lain al-Qa’nabi, Ahmad ibn yunus, Ibrahim ibn Abu Uwais, Daud ibn Amr ad-Dhibbi, Yahya ibn Yahya an-Naisaburi dan haisan ibn Harijah. Sedang para ulama yang meriwayatkan hadits-haditsnya ialah at-Turmudzi, Abu Haitm ar-Razi, Abu al-Fadhl Ahmad ibn Salamah, Musa ibn Harun, Ibrahim ibn Abi Thalib, Ibn Hujaimah, Abu ’Awanah, Abu Hamid al-A’masyi dan Muhammad ibn Ishaq al-Faikhi[46]. Tentang kapasitasnya sebagai ahli Hadits, sama seperti halknya dengan al-bukhari. Mslamah ibn Qasim dan Ibn Abi Hatim menyebutkan, ia adalah salah seorang imam yang menguasai hadits, dan tergolong tsiqah. Menurut Bandar, para penghapal hadits itu ada empat orang yaitu Abu Zar’ah, al-Bukhari, Muslim dan ad-Darimi[47].

6.      Ar-Ramahurmuzi

Nama lengkapnya ialah Abu Muhammad al-Hasan ibn Abdurrahman ibn Khalad Ar-Ramahurmuzi. ia disebut juga dengan nama Abu Muhammad al-Khalad. Sebutan Ar-Ramahurmuzi dinisbatkan kepada nama kota tempat ia dilahirkan, kota Rahmarmusz, sbelah barat daya Iran. Para penulis sejarah tidak menyebutkan kapan ia dilahirkan akan tetapi menurut Ajjaj al-Khathib ia lahir pada 256 H dan meninggal pada tahun 360 Hijrian di kota itu juga.

Hadits-hadistnya ia terima di antaranya dari Ahmad ibn Yahya al-Halwani, Ahmad ibn Abu Khaitsamah, Ahmad ibn Muhammad al-Burti, Muhammad ibn Ghalib adh-Dhibbi. Sedangkan para ulama yang meriwayatkan hadits-hadits daripadanya antara lain Abu al-Hasan Muhammad ibn Ahmad as-Saidawi, al-Hasan ibn al-Laits asy-Syirazi, Abu Bakar Muhammaad ibn Musa ibn Mardawaih, Ahmad ibn Ishaq an-Nahawandi, Abu al-Qasim Abdullah ibn Muhammad ibn Ali al-Baghdadi. dalam kapasitasnya sebagai ulama hadits para ulama menilainya tsiqah.

Perannanya dalam sejarah perkembangan hadits dan ilmu hadits, ia adalah orang yang pertama menyusun satu ilmu Hadits secara lengkap sebagai suatu disiplin ilmu. Adapun hasil karyanya terdapat sekitar lima belas buah, di antaranya ialah  al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’i, al-Falak fi Mukhtar al-Akbar wa al-Asghar, al-Ilal fi al-Mukhtar al-Akhbar, dan Amtsal an-Nabi[48].




IX. GLOSARIUM

Ada’ Menyampaikan atau meriwayatkan kepada orang lain.

’Adil Orang-orang yang meiliki sifat-sifat sempurna, baik yang berhubungan dengan keimanan, ibadah maupun akhlaknya,s ehingga terpelihara keimanan dan ketaqwaannya, selalu taat melaksanakan segala perintah-Nya dan menginggalkan yang dilarangnya-Nya, selalu menjauhkan diri dari perbuatan dosa kecil, dan memelihara perbuatan yang dapat menodai muru’ah. Dnegan sifat-sifat tersebut, sehingga periwayatnnya dapat diterima.

Ahad Hadits yang jumlah perawinya tidak sampia kepada jumlah mutawatir, atau hadits yang memiliki jalan sanad kurang dari derajat mutawattir.

Ahadits Kata jamak dari hadits.

Ahwali Hadits yang berupa hal-ihwal Rasul SAW, seperti keadaan fisiknya, sifat-sifat serta karakteristiknya.

Asanid Kata jamak dari isnad.

Ashahhu al-Asanid  Sanad-sanad hadits yang paling tinggi kualitas keshahihannya.

Ashhab as-Sunan Para ulama pengarang atau oenyusun kitab as-Sunan (Abu Daud, at-Turmudzi, an-Nasa’i dan ibnu Majah).

Athraf (kitab) Kitab penunjuk yang berisi bagian-bagian dari hadits yang menunjukkan letas sisanya. Pada kitab terseut disebutkan sanad-sanadnya baiuk secara lengkap ataupun tidak.

Athraf al-Hadits Bagian dari hadits yang menunjukkan sisanya

Atsar Persamaan dari kata hadits. menurut sebgian ulama Atras adalah sebutan untuk sesuatu yang disandarkan pada sahabat

’Aziz Hadits yang memiliki dua jalan sanad yang berlainan, atau hadits yang diriwayatkan oleh dua orang dan diterima oleh dua orang pula

Bathil (Hadits) Hadits yang tidak ada sumbernya sama sekali

Bayan Penjelasan fungsi hadits terhadap al-Quran sebgai mubayyin yang sekurang-kurangnya memilki tiga fungsi; yaitu bayan taqrir atau  ta’kid, bayan tafsir  atau  tafshil dan bayan tasyri

Dhabit Perawi yang kuat hafalannya terhadap apa yang telah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan atau mereporduksi hafalan tersebut kepada orang lainkapan saja jika diperlukan

Dha’if Hadits yang hilang syarat-syaratnya, atau salah satu syaratnya dari hadits shahih atau hasan

Dharuri Ilmu yang wajib diyakini kebenarannya dan diamalkan kandungannya. hadits mutawatir merupakan salah satu yang memberi faedah ilmu ini

Dirayah (ilmu) Sama artinya dengan ilmu Masthalah al-Hadits, ilmu Ushl Fiqh dan Ulum al-Hadits yaitu suatu ilmu pengethuan atau kaidah-kaidah untuk mengetahui maqbul dan mardud suatu hadits

Dzaith (li-dzatih) Dengan sendirinya atau asli, kebalikan dari li-ghairih. Istilah ini dipakai dalam pembagian hadits shahih dan hasan, yaitu shahih lidzatih dan shahih li ghairih serta hasan lidzatih dan hasan li ghairih

Fard Sama artinya dnegan Garib. Hadits fard ialah hadits yang terdapat penyendirian dalam sanad

Fi’li Hadits yang berupa perbuatan atau perilaku Rasul SAW

Ghairih (li Ghairih) Kewbalikan dari dzatih

Ghair Ma’mul bih Hadits shahih yang tidak dapat diamalkan, karena kedudukan hadits tersebut marjuh, mansukh atau muitawaquf fih

Gharib lihat fard

Hadits Sesuatu yang disandarkan pada Rasul SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau. Hadits dalam pengertian yang luas mencakup segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in

Hafizh Penghafal hadits, gelar hafizh diberikan kepada muhaddits yang sangat kuat hafalannya

Hakim Ulama yang menguasai seluruh hadits dari sudut matan dan sanadnya, jarh dan ta’dilnya serta tarikh

Hammi Hadits yang berupa hummah (keinginan kuat) Rasul SAW, yang belum sempat terealisasikan

Hasan Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, kurnag kuat ingatannya dan bersambung sanadnya

Hujjah Alasan atau bukti yang dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan sesuatu

H.R.  Hadits Riwayat

Ijazah Salah satu cara periwayatan dan penerimaan hadits, dengan cara seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadiits atau kitab daripadanya

’Illat Suatu cacat dalam hadits, yang berakibat hadits tersebut ditolak, seperti menyebut muttashil terhadap hadits yang sebenarnya munqathi’

Isnad Menyandarkan hadits atau mengembalikan hadits kepada asalnya, yakni kepada orang yang mengatakannya

Ittishal as-sanad Persambungan sanad dari sanad pertama sampai dengan yang terakhir

Jarh Cacat para pe­rawi yang disebabkan oleh sesuatu yang merusak nilai keadilan dan kedhabithannya. Ilmu ­al-jarh artinya ialah ilmu yang membahas tentang kecacatan para perawi

Khabar Persamaan kata dari hadits, ada ulama yang menyebutkan bahwa khabar adalah sebuutan untuk sesuatu yang datang dari sahabat dan tabi’in

Kibar at-tabiin Para tabi’in besar atau senior yang menerima hadits dari para sahabat

Kitabah Penulisan hadits. Kegiatannya sudah dimulai oleh para sahabat sejak masa Rasul SAW, meskipun baru bersifat perorangan

Kodifikasi Pembukuan hadits (tadwin). Kegiatannya sudah dimulai pada awal abad II Hijriah, atas perintah resmi khalifah Umar ibn Abdul Aziz

Kualitas (hadits) Nilai atau mutu hadits. Ada yang shahih atau hasan, dan ada yang  dha’if

Kuantitas (hadits) jumlah susunan atau silsilah sanad atau perawi hadits

Kun-yah Nama gelar atau julukan untuk para ulama yang terlibat dalam periwayatan hadits

Kutub kitab-kitab, jamak dari kitab. Sebutan untuk kitab-kitab hadits standar atau induk hasil pentadwinanpara ulama, seperti kutubas-sitah atau kutb as-sab’ah

Lafzhi (periwayatan) Periwayatan terhadap suatu hadits yang redaksinya sesuai dengan redaksi yang diterima dari Rasul SAW

Lafzhi (mutawatir) Hadits yang mutawatir dari sudut lafazh dan maknanya

Laqab lihat kun-yah

Liqa’ Pertemuan seorang guru atau perawi hadits dengan murid atau penerimanya, ketika meriwayatkan suatu hadits. bukti kejadian terjadinya pertemuan ini merupakan syarat yang diajukan oleh Bukhari untuk menilai hadits itu bersambung atau tidak

Ma’ajim Kitab-kitab Mu’jam, yaitu kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan musnad sahabat, nama-nama guru, atau daerah-daerah tertentu. Kata jamak dari mu’jam

Ma’mul bih  Hadits shahih yang dapat diamalkan

Ma’nawi (periwayatan) Periwayatan hadits yang redksinya tidak persis sama dengan yang disabdakan Rasul SAW, tetapi maksud dan isisnya sama

Ma’nawi (mutawatir)  Hadits ynag mutawatir dari sudut makna atau isi dan kandungannya saja, namun redaksinya berbeda

Mathuthah Manuskrip atau naskah tulisan tangan, buku cetakan

Majlis al-ilmi Tempat Rasul SAW menyampaikan hadits-haditsnya kepada sabahat

Mansukh Hadits shahih yang ketentuan hukumnya dihapus oleh hadits yang datang kemudian

Maqbul  Hadits yang dapat diterima kehujjahannya, yakni hadits yang memenuhi syarat-syarat shahih

Maqlub Hadits yang tertukar datanya, baik pada redaksi matan maupun anma sanadnya

Mardud Hadits yang ditolak, karena tidak memenuhi syarat-syarat maqbul

Marfu’ hadits yang disandarkan kepada Nabi, atau dengan kata lain, perkataan, perbuatan dan taqrir Rasul SAW

Marjuh Hadits shahih yang tidak dapat diamalkan, karena kandungannya bertentangan dengan hadits yang lebih kuat atau lebih tinggi derajat keshahihannya

Martabat Tingkatan yang menunjukkan urutan kualitas hadits

Marwi Matan hadits yang diriwayatkan

Matan Lafaz-lafaz hadits yang meliputi perkataan, perbuatan dan taqrir serta hal ihwal yang disandarkan kepada Rasul SAW

Masyhur Hadits yang memiliki banyak jalan sanad, tetapi tidak sampai kepada derajat mutawatir

Maqthu’ Hadits yang disandarkan kepada tabi’in. Dengan kata lain perbuiatan, perkataan dan taqrir tabi’in

Matruk Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta atau nampak kefasikannya

Maudhu Hadits palsu

Mauquf Hadits yang disandarkan kepada sahabat

Mayor (kaidah keshahihan sanad) Kaidah keshahihan sanad hadits yang lima, sesuai dengan yang dipakai oleh ulama ahli hadits

Mu’asharah Hidup sezaman atau semasa antara yang meriwayatkan hadits dengan yang menerimanya. Bukti hidup sezaman ini diajukan oleh Muslim untuk melihat persambungan sanad hadits

Mubayyin Yang menjelaskan, maksudnya ialah hadits Rasul SAW yang berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Quran. Lihat kaya bayan

Mudawwin orang yang membukukan hadits

Mu’dhal Hadits yang sanadnya gugur dua orang berturut-turut

Muhaddits Gelar untuk ulama yang menguasai hadits baik dari sudut  ilmu riwayah maupun dirayahnya

Muhadditsin Kata jamak dari muhaddits

Mukhtalif al-Hadits Hadits-hadits yang semula tampak bertentangan tetapi kemudian dapat dikompromikan

Munkar Hadits yang diriwayatka oleh orang yang lemah, yang matannya bertentangan dengan periwayatan orang kepercayaan

Munawalah Seorang guru memberikan satu atau beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan

Mursal Hadits yang gugur sanadnya pada thabaqah sebelum sahabat

Musnad  Sebutan untuk suatu kumpulan hadits yang diriwayatkan dengan menyebut sanadnya

Sebutan untuk suatu kitab yang menghimpu hadits-hadits dengan sistem berdasarkan nama-nama sahabat

Hadits yang disandarkan kepada Rasul SAW (yang marfu’) dan bersambung sanadnya (yang muttashil)

Musnid Orang yang meriwayatkan hadits dengan menyebut sanadnya

Mustafidh Hadits masyhur yang memiliki jumlah sanad pada tiap-tiap thabaqahnya seimbang atau sama persis

Musyafahah Penyampaian hadits oleh Rasul SAW melalui sabdanya

Musyahadah Penyampaian hadits oleh RaSUL SAW melalui perbuatan-perbuatannya yang disaksikan oleh para sahabat

Mutabi’ Hadits pendukung dari perawi lain yang lafaznya sama dengan yang didukung. Ada ulama yang menyamakan dengan pengertian syahid

Mutafaq ’alaih Hadits yang disepakati oleh bukhari dan Muslim

Mutawaquf fih hadits shahih yang tidak dapat diamalkan karen adanya pertentangan dangan hasits shahih lain yang antara keudanya tidak dapat dikompromikan

Nabawi (hadits) Hadits Rasul SAW. Istilah ini dipakai ketika memperbandingkan antara hadits Nabi dengan hadits Qudsi

Nasikh (fungsi hadits) Fungsi bayan hadits yang menghapus ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Quran

Qauli Hadits yang berupa perkataan Rasul SAW

Qudsi (hadits) hadits yang redaksinya dari Rasul SAW, akan tetapi makna dan maksudnya dari Allah SWT

Rabbani (hadits) Sama dengan hadits qudsi dan ilahi

Rawi Orang yang meriwayatkan, menyampaikan atau memberitakan hadits

Riwayah (ilmu) Ilmu pengethuan yang mencakup segala yang disandarkan kepada Rasul SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau

Riwayah Penyampaian atau penukilan hadits

Rutbah Tingkat atau derajat yang menunjukkan kualitas keshahihan suatu hadits. Lihat martabat

as-Sabiqun al-Awwalun para sahabat yang paling pertama masuk Islam. Kelompok sahabat ini tergolong sahabat yang banyak menrima hadits dari Rasul SAW

Sanad Sandaran hadits, yang menghubungkan antara perawi kepad sumber hadits

Shahifah as-Shadiqah Sebutan untuk catatan-catatan hadits Rasul SAW milik Abdullah ibn Amr ibn ’Ash

Shahih Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya, tidak berillat dan tidak janggal

Shighar at-Tabi’in Para tabi’in muda atau junior yang menerima hadits dari para sahabat

Sima’i Suatu cara penerimaan hadits dengan mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya, baik dengan cara didiktekan atau buka, baik dari hafalan atau tulisan

Sunnah Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik perkataan, perbuatan, taqrir, sifat dan lain-lainya baik sebelum beliau diangkat menjadi rasul ataupun sesudahnya

Syadz Kejanggalan pada hadits karena matannya bertentangan dengan hadits shahih yang kualitasnya lebih tinggi

Syahid Hadits pendukung atau penguat dari perawi lain, yang makna atau maksudnya sama dengan yang didukung atau yang dikuatkan. Lihat mutabi’

Ta’dil Menyifatkan atau membersihkan perawi dengan sifat-sifat yang membersihkan dirinya dari hal-hal yang mencacatkannya.

Tadwin Pembukuan atau kodifikasi hadits

Tadlis menyembunyikan nama perawi hadits dalam periwayatan karena adanya cacat pada orang tersebut

Tahammul al-Hadits Penerimaan hadits dari orang lain dengan menggunakan cara-cara tertentu

Ta’kid Fungsi hadits yang menguatkan isi kandungan al-Quran, sama artinya dengan fungsi taqrir

Takhrij petunjuk tentang tempat atau letak hadits pada sumber aslinya, dengan menyebutkan sanadnya, kemudian dijelaskan kualitas hadits tersebut manakala diperlukan

Takhshish Kata yang menunjuk arti khusus atau tertentu. Salah satu fungsi hadits, adalah mentakhshish al-Quran, artinya membatasi keumuman ayat al-Quran

Taqyid Kata yang menunjuk sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Fungsi hadits mentaqyid kemutlakan al-Quran, artinya membatasi ayat-ayat al-Quran yang menunjuk kepada arti muthlaq degan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu

Taqriri Hadits yang berupa ketetapan Rasul SAW dengan cara mendiamkan terhadap apa yang dilakukan oleh sahabat, padahal Rasul menyaksikannya

Taqrir (fungsi hadits) Lihat ta’kid

Targhib Kandungan hadits yang berupa anjuran untuk berbuat kebajikan

Tashnif Sistem penyusunan kitab hadits dengan sistematika fiqh

Taufiq Kompromi atau penyesuaian. Penyelesaian dua hadits yang nampak bertentangan melalui jalan kompromi atau penyesuaian di antara keduanya sehingga kedua hadits tersebut dapat diamalkan

Thabaqah Tingkatan atau kurundalam periwayatan hadits, speerti thabaqah sahabat, thabaqah tabi’in dan seterusnya

Tsiqah Perawi hadits kepercayaan, artinya perawi yang memiliki kriteria adili dan dhabith

’Udul Kata jamak dari ’adil. Lihat ’adil


X. PENUTUP

As-Sunnah an-Nabawiyyah merupakan sumber terpelihara kedua sebagai pembimbing kaum muslim atau rujukan utama setelah al-Quran, di bidang hukum, peradilan, fiqh, muamalah, muhakayat, dakwah, tarbiyah, penyuluhan, dan lain-lain.

Melihat bahwa Nabi sangat memperhatikan situasi sosila budaya dan suasana psikologis sahabat yang menjadi sasaran ucapan Nabi, maka sudah seharusnya pendekatan kontekstual atas hadits Nabi terus dikembangkan. Tetapi ini hanya terdapat pada sebagian hadits Nabi yang dipahami secara tekstual terasa tidak komunikatif lagi dengan zaman. Sedangkan terhadap sebagian yang lain lagi dapat dilakukan dengan pemahaman tekstual. Pemahaman hadits secara tekstual ini dilakukan bila hadits bersangkutan setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, seperti asbabul wururd, tetap menuntut pemahamans esuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadits tersebut.

Hadits diucapkan Nabi relevan dengan ruang dan waktu, baik itu dari segi sosial budaya maupun alam lingkungan. Dari sisni pemahaman sebuah kata pun haruslah dalam waktu dan ruang dimana hadits itu diucapkanm, meskipun kata itu dalam ruang dan waktu pembaca atau penafsir sering dipakai dengan makna yang lebih luas. Artinya sebuah kata tidak diberi muatan makna yang terlalu jauh melampaui masanya. Sebagai contoh, kata tashwir yang disebut dalam hadits, tidaklah dapat diberi makna dengan gambar hasil pemotretan. Kata ini lebih tepat jika diartikan hanya sebatas karya lukisan atau pahatan. Sebab kata tersebit dalam konteks masyarakat Arab awal, pemotretan belum ada bahka belum terlintas di benak mereka. Kalaupun kata tashwir atau shurah untuk konteks sekarang juga bermakna hasil karya fotografi, itu tak lain perkembangan kemudian makna sebuah kata.

Analisis konteks-redaksional akan memberikan perspektif baru tentang semangat teks secara keseluruhan yang pada gilkirannya akan memberikan pemahaman tentang maksud atau tujuan (madlu/hadaf) yang terkandung dalam sebuah hadits. Bahwa di sana disebutkan media (wshilah) sebagai wadah bagi terwujudnya tujuan adalah hal yang wajar. Tiba di sini, kita harus melakukan pemahaman yang bersifat folisofis, yakni menarik tujuan atau maksud sebuah ucapan Rasul.

Untuk itu maksud atau tujuan yang diinginkan dengan meida haruslah dibedakan dengan jelas. ini disebabkan karena tujuan atau maksud merupakan realitas yang bersifat statis dan universal. Tetapi media senantiasa terus berkembang. Dari sini, maka yang harus dijadikan pegangan adalah tujuan dan maksud yang dikandung sebuah hadits, karena media merupakan pendukung bagi tercapainya sebuah maksud.

Maka untuk berfungsi sebagai sebuah sumber hukum, as-Sunnah harus dipahami dengan sebaik-baiknya. Dna tentunya hal ini harus didukung dengan pemahaman, pangamatan, dan penelitian yang mendalam dan menyeluruh. Sebuha hadits dapat dipahami secara tekstual yaitu secara lahiriah berdasarkan bunyi teks yang tertulis dalam hadits dan ada pula hadits yang dipahami secara kontekstual yaitu tidak hanya melihat dari redaksi haditsnya, tetapi juga dengan unsur-unsur pendukungnya seperti asbabul wurud, adapt kebiasaan dan kondisi situasi yang berkembang ketika hadits tersebut dikeluarkan oleh Rasulullah SAW.

Walaupun ada dua cara dalam memahami hadits, tetapi tidak bisa saling mengurangi. Artinya, baik hadits tekstual maupun kontekstual saling mendukung dan berkaitan. Sebab hadits tekstual mempunyai nilai historis yang tinggi yaitu sebab-musabab (asbabul wurud) mengapa suatu hadits bisa ada. Sementara hadits mencoba memahaminya dari segi perkembangan peradaban manusia sperti kemajuan teknologi. kepadatan penduduk, pendidikan, sosial, ekonomi bahkan sampai pada ranah politik. Tentu saj atidak keluar dari koridor aturan yang sudah pasti dalam hukum Islam. Jadi boleh saja sebuah hadits dipahami dari aspek-aspek tersebut di atas asalkan tidak meninggalkan hadits tekstualnya.

Segala ucapan nabi, khususnya yang dilontarkan pad umatnya tidaklah sama seperti orang biasa mengucapkan. sebab beliau berbicara tidak atas kemauannya sendiri, tetapi mendapatkan bimbingan dari Allah SWT. Kalimat yang diucapkan bisa jadi mempunyai perkiraan yang mendalam, bisa masa sekarang, dan tidak menutup kemungkinan pada masa mendatang baru dapat dilakukan. Nabi Muhamamd sangat memperhatikan situasi sosial budaya dan psikologis sahabat. jadi pengebangan hadits kontekstual bisa terus dikembangkan. Apalagi seperti zaman sekarang, kemajuan teknologimembuat terjadinya pergeseran nilai-nilai hidup manusia menjadi lebih kompleks, yang pada gilirannya mereka mencari jawaban terutama jika sudah menyangkut masalah hukum. Namun, begitu sekali lagi ditegaskan, memahami hadits secara kontekstual bisa dilakukan terhadap hadits yang dipahami secara tekstual erasa kurang komunikatif dengan zaman. Sedangkan yang lainnya masih bisa dipahami dengan cara tekstual tentu saja harus dipertahankan. Sebab asbabul wurul memegang peranan penting  di samping mengandung nilai historis tertinggi tetapi juga banyak aspek ibadah di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA


·               Hassan A, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung, CV. Diponegoro, 1980

·               Qardhawi, Yusuf, Dr, Bagaimana Kita memahami Hadits Nabi (diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dari Kaifa Nata’malu Ma’a as-Sunnah as-Nabawiyyah), Bandung, Karisma, 1999, Cet.I

·               Qardhawi, Yusuf, Dr, Bagaimana Kita memahami Hadits Nabi (diterjemahkan oleh Dr. Hoda Muhsin dan Dr. Jawiyah Dakir dari Kaifa Nata’malu as-Sunnah an-Nabawiyyah), Selangor, Budaya Ilmu SDN.BHD, 1996, Cet.II

·               Qardhawi, Yusuf, Najiyullah Ctc, Kajian Kritis Pemahaman Hadits, Jakarta, Islamina Press, 1994

·               Al-Bayani. Nasiruddin, Jam’i Shaghir, Beirut, Al-Islami, 1990

·               Muh. Nasyiruddin al-Bayani, Jami’i Shaghir, Beirut, Al-Islami, 1977

·               Al-Ghazali, Syeikh Muhammad, al-Fiqh wa al-Hadits, Kairo, Dar. Asy-Sayuqi, 1989

·               Syihab, Quraisy, Pengantar Studi Kritis Atas Hadits Nabi SAW Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Jakarta, Mizan, 1989

·               Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta, yayasan penerjemah Al-Quran, 1971

·               Ar-Ramahurmuzi, al-Mahadits al-Tasib baina ar-Rawi, Beirut, dar al-Fikri

·               Al-A’zami, Muhammad Musthafa, Dirasah fi al-Hadits an-Nabwi wa Tarikh Tadwinih, Riyadh, Jama’ah

·               Al-Asqalani, Ibnu Hajar, al-Ishabah fi Tamyizi as-Shahabah, Beirut, Dar al-Fikri, 1978

·               Al-Bukhari, at-Tarikh al-Kabir, India, Heiderabad

·               al-Asqalani, Ibnu Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Beirut, Dar al-Fikri, 1984

·               Ranuwijaya, Untung, Ilmu Hadits, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1996

·               Departemen Pendidikan, kamus Besar Bahsa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996



[1] A. Najiyullah Ctc, Kajian Kritik HAdits Pemahaman Hadits, Jakarta, Islamia Press, 1994, hal. 10
[2] A-Najiyullah Ctc, Op. Cit, jal. 11
[3] A Najiyullah Ctc, Op. Cit, hal. 12
[4] Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996, hal. 522
[5] Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syariah, kairo, Dar al-Arqam, 1995, hal. 513
[6] Muhammad ibn Idris al-Syafi’ie, al-Filsafat, Beirut, Dar al-Fikri, 1988, hal. 213
[7] Muhammad Yusuf al-Baqir, Bagaimana Kita Memahami Hadits Nabi (terjemahan DR. Yusuf al-Qardhawi), Bandung, Karisma, hal. 14
[8] Muhammad Yusuf al-Baqir, Op. Cit, hal. 15
[9] A. Najiyullah, Op. Cit, hal. 201
[10] A. Najiyullah. Op. Cit, hal. 202
[11] Muhammad al-Ghazali, Op. Cit, hal. 13
[12] As-Suyuti, Jalal ad-Din Abd. Rahman ibn Abi Bakr, al-Jumi as-Saqir
[13] ar-Ramahurmuzi, al-Muhaddis al-fasil baina ar-Rawi wa al-wa’I, Dar al-Fikr, Beirut
[14] Quraisy Syihab, Op. Cit., hal. 10
[15] Quraisy Syihab, Op. Cit., hal. 10
[16] Quraisy Syihab, Op. Cit., hal. 10
[17] Syeikh Muhammad al-Ghazali, Op. Cit, hal. 8
[18] Syeikh Muhammad al-Ghazali, Al-Fiqh wa al-Hadits (terjemahan), Kairo, Dar Asy-Syuruq, 1989
[19] Quraish Shihab, Pengantar Study Kritik Hadits abi SAW Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Jakarta , Mizan, 1989, hal. 8
[20] Quraisy Syihab, Op. Cit., hal. 9
[21] Muhammad Musthafa al-A’zami, Dirasah fi al-Hadits an-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, Jama’ah Riyadh, hal. 96
[22] Ibn Hajar al-Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiz as-Sahabah (untuk selanjutnya disebut dengan Ibn Hajar al-Asqalani, al-Ishabah), Dar al-Fikr, Beirut, 1978, No. 1179
[23] Muhammad al-A’zami, op. cit. hal. 96-99
[24] Muhammad Musthafa al-A’zami, op. cit., hal. 119, dan Ibn Sa’ad, ath-Thaqabah al-Kabir, jilid IV, Leden, 1940, hal. 137
[25] Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib (selanjutnya disebut Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib), jilid V, Dar al-Fikr, Beirut, 1984, hal. 288
[26] Ibn Hajar al-Asqalani, al-Ishabah, op. cit,. no. 4825
[27] Al-Bukhari, at-Tarikh al-Kabir, jilid I, Heiderabad, India, 1361, hal. 325, dan Muhammad Musthafa al-A’zami, op. cit,. hal. 120
[28] Ibn Hajar al-Asqalani, al-Ishabah, op. cit., no. 277
[29] Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib I, op. cit., hal. 329-330
[30] Drs. Untung Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1996, hal. 201
[31] Drs. Untung Hanuwijaya, Ibid, hal. 201
[32] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit., hal. 202
[33] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit., hal. 203
[34] Ibid,  hal. 204
[35] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit., hal. 204
[36] Ibid, hal. 204
[37] Ibid, hal. 204
[38] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit., hal. 205
[39] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit., hal. 206
[40] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit., hal. 207
[41] Op. Cit., hal. 208
[42] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit., hal. 209
[43] Drs. Untung Ranuwijaya, Ibid., hal. 209
[44] Drs. Untung Ranuwijaya, Ibid., hal. 209
[45] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit., hal. 210

[47] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit., hal. 211
[48] Drs. Untung Ranuwijaya, Ibid., hal. 211

Tidak ada komentar:

Posting Komentar