I. PENDAHULUAN
Setiap muslim berkewajiban meneriman hadits sebagai pedoman hidup di
samping al-Quran sebab hukum yang kedua setelah Al-Quran hadits merupakan
penjelas tentang aturan hidup terutama ketentuan hukumnya, cara mengamalkannya
tidak diperincikan menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan
menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Quran, hendaklah dicarikan
penyelesaiannya dalam hadits.
Oleh karena itu menjadi kewajiban kita untuk memahami as-Sunnah dengan
benar dan tepat, jauh daripada penyelewengan dan pengkaburan maksud dan makna
hadits tersebut. Apalagi hadits yang
mempunytai arti dan pengertian luas terutama yang berkaitan dengan pengembangan
dunia.
Sehingga untuk memahami
as-sunnah an-nabawiyah dengan sebaik-baikinya, jeli dan teliti, hendaklah
dilihat kepada sebab-sebab khusus kenapa hadits itu berlaku atau perlu
pemikiran lain karena ada alasan dan illat disesuaikan dengan perubahan suatu
zaman, dengan kata lain sebuah hadits bisa berubah penerapannya.
Orang yang benar-benar membuat
penelitian yang mendalam akan mendapati ada hadits yang hanya mengenai
keadaan-keadaan tertentu sesuai untuk masalah ketika itu atau untuk mengelakkan
bencana ketika itu atau untuk membetulkan keadaan yang berlaku saat itu.
Ini berarti hukum yang
terdapat di dalam hadits itu seklaipun zahirnya umum dan berkekalan tetapi
setelah diteliti ia diasaskan kepada suatu sebab sehingga makna dan tujuan
hadits bisa diperluas arti dan maksudnya. Karena ada alasan yang mendukung
dengan kata lain hadits bisa dilihat dari konteks dan kontekstualitasnya. Mana
yang dominan khususnya bila dilihat dari perkembangan yang menyangkut sosial,
budaya, hukum, ekonomi dan kemasyaratan lainnya.
II. DEFINISI AS-SUNNAH
2.1.
Sunnah Menurut Ulama Ushl Fiqh
Dari penggunaan kata sunnah yang popular di awal Islam ini,
maka ulma ushl fiqh mengambil istilah ini dengan menyifatinya sebagai sumber
syariat yang mendampingi al-Quran. Mereka mendefinisikannya sebagai berikut:
Sunnah ialah ucapan, perbuatan, atau ketetapn dari Nabi SAW yang kesemuanya
merupakan thariqah Nabi SAW dalam memahami Islam dan dalam megemalkannya[1].
2.2. Sunnah
Menurut Para Fuqaha
Sunnah menurut fuqaha ialah
hukum syara yang ditetapkan oleh dalil untuk dikerjakan. Dengan akat lain
sunnah menurut fuqaha adalah salah satu hukum syara[2].
2.3. Sunnah
Menurut Ulama Hadits
Para ulama hadits menambahkan
definisi ulama ushl fiqh sebagai berikut:
III. HADITS MENURUT ASBABUL WURUD, KONTEKS, DAN MAKSUDNYA
Diantara pemahaman sunnah yang
baik ialah melihat hadits-hadits yang didasarkan kepada sebab-sebab khusus
(latar belakang) atau berkaitan dengan suatu illat tertentu yang merupakan
pemahaman dari realita yang disebutkan oleh hadits.
Bila dicermati seseorang akan
mendapatkan bahwa diantara hadits ada yang didasarkan pada pemeliharaan kondisi
tertentu demi suatu kemaslahatan atau mencegah suatu mafsadat, atau untuk
mengatasi suatu masalah yang terjadi saat itu.
Ini maknanya bahwa hukum yang dikandung hadits
terkadangn nampak besifat umum dan abadi. Namun setelah diteliti ternyata ia
tergantung pada suatu illat. Bila illat itu lenyap, maka (hukum) pun tidak ada.
Hal ini membutuhkan fiqh
(pemahaman) yang mendalam dan pengamatan yang jeli serta membutuhkan pengkajian
nash secara tuntas serta ditambah dengan pengetahuan yang matang tentang
maksud-maksud syariat. Sekalipun harus bertentangan dengan kebiasaan yang
berjalan di kalangan masyarakat. Jadi dituntut pemahaman hadits secara benar
dan matang, harus mengetahui tujuan nash dan menjelaskan konteksnya sehingga
maksud hadits menjadi jelas secara detail tidak mengandung sangkaan-sangkaan
atau raba-raba maka harus menggunakan meode yang benar.
Jika asbaabunnuzul begitu penting untuk memahami dan mantafsiri
al-Quran, maka asbabul wurud amat
penting untuk memahami hadits. Dngena demikian maka harus ada pemisahan antara
yang namanya khusus dengan umum, antara yang bersifat temporer dengan yang
tetap, antara yang bersifat juz’iy
dan kulliy, yang masing-masingpunya
hukum. Oleh karena itu mengamati asbabul
wurud, konteks dan tujuan hadits dapat membantu memahaminya secara benar.
IV. MEMAHAMI HADITS SECARA KONTEKSTUAL
4.1. Definisi Kontekstual
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kontekstual berasal dari kata
konteks bagian suatu uraian atau kaliamat yang dapat mendukung atau menambah
kejelasan makna dua situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian, ada
hubungannya dengan konteks. Kedua istilah ini dapat dipergunakan karena bisa dipakai
dalam memahami hadits[4].
4.2. Memahami Kontekstual Hadits
Dari sini pemahaman
kontekstual akan hadits menurut Edi Safri, adalah memahami hadits-hadits
Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa
atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadits-hadits tersebut, atau
dengan kata lain, dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya. (Edi Safri,
1990: 160). Dengan demikian asbab
al-wurud dalam kajian kontekstual dimaksud merupakan bagian yang paling
penting. tetapi kajian yang lebih luas tentang pemahaman kontekstual tidak
hanya terbatas pad asbab al-wurud
dalam arti khusus seperti yang biasa dipahami, tetapi lebih luas dari itu
meliputi: konteks historis-sosiologis, dimana asbaul wurud merupakan bagian
darinya.
Dengan demikian, pemahaman
kontekstual atas hadits Nabi berarti memahami hadits berdasarkan kaitannya
dengan peristiwa-peristiwa dan situasi
ketika hadits diucapkan, dan kepda siapa ditujukan. Artinya hadits-hadots Nabi
SAW hendaknya ditangkap makna san maksudnya hanya melalui redaksi lahiriyah
tanpa mengaitkannya dengan aspek-aspek kontekstualnya. Meskipun di sini
nampaknya konteks historis merupakan aspek yang paling penting dalam sebuah
pendekatan kontekstuan, namun konteks redaksional juga tidak dapat diabaikan begitu
saja. Konteks redaksional ini tak kalah penting dalam rangka membatasi dan
menangkap makna yang lebih luas (makna filosofis) sehingga hadits tetap menjadi
komunikatif.
Dari sini makna dalam
pendekatan kontsktual, seperti apa yang dikatakan Qamaruddin Hidayat, seorang
penafsir atau pembaca lalu memposisikan sebuah teks (hadits) ke dalam sebuah
jaringan wacana. Ibarat sebuah gunung es, sebuah teks adalah fenomen kecil dari
puncak gunung yang tampakdi permukaan. Oleh karena itu tenpa mengetahui latar
belakang sosial budaya dari mana dan dalam situasi apa sebuah teks muncul, maka
sulit menangkap pesan dari sebuah teks. (Qamaruddin Hidayat, 1996: 214).
4.3. Konteks Historis, Sosiologis Dan Antropologis
Salah satu timbulnya hadits
melalui sebuah ucapan yang teks sesuangguhnya memiliki sekian banyak variabel
serta gagasan yang dalam dan tersembunyi yang memerlukan pertimbangan agar kita
lebih bisa mendekati kebenran mengenai gagasan yang hendak disampaikan oleh
Rasul. Tanpa memahami motif dibalik penyampaian sebuah hadits, suasana,
psikologis, dan sasaran ucapan Nabi, maka mungkin sekali kita akan salah paham
dalam memahami dan membacanya. Menyadari bahwa ucapan dan penucapannya, suasana
psikologis dan sasaran ucapan saling bertautan, maka salam emlakukan pemahaman
dan penafsiran yang dilakukan, ketiga hal ini sangta berperan sekali, bahkan
sulit dilepas karena ketiganya saling terkait satu sama lain.
Bertolak dari sanalah, maka
kajian mendalam terhadap sirah Nabawiyah menjadi bagian yang sangat penting.
Sebab pemahaman terhadap sirah Nabawiyah akan memberikan perspektif yang lebih
luas tentang ruang dan waktu munculnya sebuah hadits. Karenanya, bisa jadi
pemahaman suatu hadits mengalami perbedaan antara satu orang dengan lainnya
diseabkan karena alat yang digunakannya berbeda, baik secara kemampuan
kompetensikeilmuan atau pemahaman sejarah yang kurang mendukung.
Dalam Islam dan kehidupan kaum
muslim, Nabi memilki banyak fungsi: sebagai Rasul, panglima perang, suami,
sahabat, dan lain-lain. Dengan demikian hadits-hadits tersebut tidak dapat
dilepaskan kaitannya dengan fungsi-fungsi itu. Menurut Mahmud Syaltut,
mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi dengan mengaitkannya pada fungsi beliau
tatkala melakukan hal-hal itu sangat besar manfaatnya[5].
Sebagai contoh, nabi melarang seorang Anshar mengawini pohon kurma. Maka orang
Anshar itu mematuhi beliau karena menganggapnya sebagai wahyu atau masalah
keagamaan. Ternyata hasilnya kurang memuaskan dibanding dengan mengawinkannya,
karena para Rasul diutus tidak lebih dari sekedar untuk perbaikan moral
keagamaan. Rasul pun bersanda: ”Saya melarang dengan rakyu saya. Oleh karena itu, kamu jangan mencelanya ...” sampai
akhirnya beliau bersabda: ”Anda lebih tahu tentang urusan Anda”
Kenyataan masyarakat (realitas
sosial) budaya juga menjadi pertimbangan yang penting. Sebab, hadits pada
umumny adalah respon terhadap situasi yang dihadapi oleh rasul dalam raung dan
waktu tertentu, baik itu merupakan situasi yang bersifat umum (sosial budaya)
maupun situasi khusus (seperti seseorang atau sahabat). Memahami
situasi-situasi tersebut atau asbab
al-wurud akan mengantarkan penafsir atau pembaca berada di dalam ruang dan
waktu dimana hadits itu diucapkan sehingga memberikan wawasan yang lebih luas
mengapa (illat) dan siapa yang
menjadi sasaran hadits. Dari sini maka akan dapat ditangkap maksud sebenarnya
yang dituju oleh hadits tersebut dengan baik serta akan memberikan jalan keluar
bagi hadits-hadits yang secara lahiriyah tampak bertentangan. Dalam kondisi
seperti ini memang diperlukan pengamatan yang serius dan penuh kehati-hatian
sebelum mengambil keputusan agar tidak mendatangkan kesalahan yang berakibat
pada salah penerapan.
Rasul sangat memperhatikan
kondisi sosial budaya dan alam lingkungan. Buktinya kita menemukan dalam
kondisi tertentu, Rasul melarang suatu perbuatan, tapi ada kondisi yang lain,
Rasul menganjrkan perbuatan tersebut, atau memberikan respon positif terhadap
persoalan yang pernah dilarangnya yang sama dari dua sahabat yang berbeda.
Ketika aqidah umat belum kuat, Nabi SAW melarang melakukan ziarah kubur. Namun
berselang waktu kemudian ketika aqidah umat sudah kuat, larangan tersebut
kemudian beliau cabut. Demikian pula tentang etika buang hajat, ketika berada
di lapangan terbuka Rasul melarang ornag untuk buang hajat menghadap atau
membelakangi kiblat karena dikhawatirkan akan terlihat oleh orang yangs edang
salat. Tetapi ketika berada di dalam ruangan yang relatif tertutup rasul
sendiri terlihat membuang hajat, menghadap atau membelakangi kiblat. jadi
adanya dua hukum dalam satu persoalan yang sama, bukannya tidak adanya
ketegasan, tetapi lebih cenderung pada pertimbangan yang justru menguntungkan
manusia itu sendiri. emmang diperlukan kearifan dalam menyikapinya.
Di sini jelas sekali terlihat
bahwa Rasul sangat mempertimbangkan situasi sosial budaya masyarakat dan
ligkungan. Sikap Nabi SAW, yang seperti itu mengisyarakatkan kepada kita akan
adanya pendekatan kontekstual atas hadits-hadits beliau. Namun ketika yang
digunakan adalah pendekatan tekstual, maka hasilny adalah bahwa di sana
terdapat nasikh atau mansukh. tetapi dengan memperhatikan
suasana psikologis, seorang muslim yang aqidahnya masih lemah, akan berakiat
buruk, karena ziarah kubur, jadi hadits pertama tetap berlaku baginya; yaitu
larangan ziarah kubur. dalam memperhatikan lingkungan, maka menghadap atau
membelakangi kiblat dalam buang hajat di ruang terbuka tetap dilarang. Apabila
buang hajat di dalam ruang tertutup maka bukan masalah.
Contoh lain ketika seorang
sahabat meminta izin kepada rasul untuk berjihad (berperang), rasul menanyakan
apakah orang tuanya masih hidup. Mendengar penjelasan sahabat, maka Rasul
menyetakan bahwa melayani orang tuanya sama nilainya dengan berjihad. Sebagian
besar ulama mengasumsikan bahwa sahabat yang meminta izin tersebut belum cukup
umur, atau tidak layak untuk ikut berperang. Karenanya, rasul menganjurkan
lebih baik ia melayani orang tuanya, karena itu juga sama nilainya dengan
berjihad.
Akan tetapi untuk mendapatkan
pemahaman koteks-konteks hadits dengan tepat, maka tak pelak lagi upaya
penghimpunan sebanyak mungkin hadits yang berada di dalam satu pembicaraan. Ini
dimaksudkan untuk mendapatakan kesimpulan yang tepat dari konteks-konteks
hadits tersebut.
Karena hadits-hadits pada
dasarnya saling terkait satu sama lain, bahkan seperti al-Quran ”yafassiru ba’dhu ba’dhan” (satu sama
lain saling menafsirkan). Teknik ini tidaklah sulit untuk dilakukan, sebab
kitab-kitab hadits telah menilik sistematika yang baik.
Menganykut dengan asbab al-wurud ini Syafi’i mengingatkan
bahwa adakalanya hadits-hadits Rasul merupakan jawaban dari sebatas pertanyaan
yang diajukan para sahabat. tetapi dalam periwayatannya tidak disebutkan secara
sempurna oleh perawi (tidak menyebutkan pertanyaan yang melahirkan jawaban
Rasul), atau orang lain meriwayatkan hadits tersebut hanya mengetahui dan
mendengar jawaban Rasul, namun tidak mengetahui masalah atau pertanyaan yang
melatarbelakangi jawaban Rasul tersebut[6].
4.4. Asbabul Wurud
Diantara cara yang baik untuk
memahami hadits Nabi SAW, ialah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang
melatarbelakangi diucapkannya suatu hadits, atau kaitannya dengan suatu illat
tertentu yang dinyatakan dalam hadits tersebut.
Siapa saja yang mau meneliti
dengan seksama pasti akan melihat bahwa diantara hadits-hadits, ada yang diucapkan
berkaitan dengan kondisi temporer khusus.
Ini berarti bahwa suatu hukum
yang dibawa oleh suatu hadits ada kalanya tampak bersifat umum dan kekal, namun
jika diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan
dengan illat tertentu , sehingga ia akan hilang dengan sendirinya.
Hal ini memerlukan pemahaman
yang mendalam, pandangan yang teliti, pengkajian yang meliputi semua nash,
serta wawasan yang luas untuk mengetahui tujuan-tujuaan syariat dan hakikat-hakikat
agama. Di samping itu juga diperlukan keberanian moril dan kemantapan kejiwaan
untuk mengungkapkan kebenaran, meskipun berlawanan denganapa yag telah menjadi
kebiasaan manusia atau telah mereka warisi.
Untuk dapat memahami dengan
pemahaman yang benar, haruslah diketauhi kondisi yang meliputinya serta dimana
dan untuk tujuan apa ia diucapkan.
Kita mengetahui bahwa para
ulama kita telah menyatakan bahwa untuk memahami al-Quran dengan benar,
haruslah diketahui tentang asbabun nuzul, maka untuk memahami sebuah hadits pun
dan menafsirkannya diperlukan asbabul wurud.
Bila al-Quran adalah universal
dan abadi, lain halnya dengan hadist, sebab ia memang menangani berbagai
masalah yang bersifat local, tertentu dan temporal. Di dalamnya pun juga
terdapat berbagai hal yang berifat khusus dan terperinci, yang tidak terdapat
di dalam al-Quran.
Oleh sebab itu haruslah
dilakukan pemilahan antara apa yang bersifatkhususu dan umum, tertentu dan
universal. Dengan memperhatikan konteks, kondisi lingkungan serta memperhatikan
asbabul wurudnya, pasti akan lebih mudah mencapai pemahaman yang tepat dan
lurus.
Lalu jika pemahaman suatu
hadits ditinjau dari kontekstualitasnya? Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan
beberapa hal yang dapat dijadikan pemahaman sebuah hadits secara kontekstual.
- Berdasarkan asbabul wurudnya
Contohnya hadits yang artinya:
“Kalian lebih mengerti urusan dunia
kalian”.
Hal itu berkenaan dengan
penyerbukan pohon kurma. Ketika itu Rasulullah SAW menyatakan pendapat belia
berdasarkan perkiraan semata-mata, yang berkenaan dengan soal penyerbukan.
Sedangkan beliau sendiri bukanlah seorang ahli pertanian. Bahkan beliau
dilahirkan dan dibesarkan di suatu dareah lembah yang tandus. Namun kaum anshar
mengira pendapat beliau adaah wahyu atau perintah agama, lalu mereka
meninggalkan kebiasaan atau cara bertanam kurma yang selama ini mereka lakukan,
akibatnya berpengaruh buruk pada buah kurma pada musim itu, lalu Rasulullah
menyatakan: “Sesungguhnya (pendapatku) itu hanyalah berdasarkan perkiraanku itu
karena yang lebih mengerti tentang urursan-urursan dnia adalah kaliah”[7].
- Berubahnya adat kebiasaan (‘Urf)
Adalah perlu juga mempertimbangkan sebagian dari nash-nash yang
berlandaskan pada suatu kebiasaan kontemporer, yang berlaku pada zaman beliau
kemudian mengelami perubahan di masa sekarang. Contoh dalam hadits Nabi dikatakan: “Pertukaran gandum dengan gandum,
haruslah setakaran dengan setakaran yang sama”. Demikian pula dengan kurma dan
garam.
Mengenai persoalan ini, Abi Yusuf
berpendapat bahw ketentuan memperhitungkan jenis-jenis tersebut denga takaran
atau timbangan, adalah berdasarkan ‘urf. Maka apabila kebieasaan setempat
mengelami perubahan, lalu kurma dengan garam misalnya , biasa dijual dengan timbangan
seperti biasa di masa kita sekarang, maka kita harus mengacu pada kebiasaan
baru tersebut. Karena itu boleh saja menjual (mempertukarkan) kurma dan garam
misalnya denhan kurma dan garam yang sama timbanganya walaupun berbeda
takarannya.
- Disesuaikan
dengan kondisi dan situasi pada saat itu
Seperti yang dikemukakan di
atas, sebuah hadits dapat dipahami denga melihat situasi dan kondisi ketika
Rasulullah mengeluarkan hadits tersebut. Contohnya adalah tentang hadits Nabi
yang memerintahkan agar mengeluarkan zakat fitrah setelah salat subuh dan
sebelum salat Idul Fitri. Waktu Nabi berbicara itu, jumlah anggota masyarakat
yang menjadi mustahiq sedikit, saling berdekatan, saling mengenal satu sama
lain, sehingga mudah untuk mendistribusikan zakat tersebut. Sehingga tidak ada
masalah denganwaktu yang sangat sempit itu. Akan tetapi apda masa para sahabat,
lingkup masyarakat kian luas, tempat-tempat kediaman semakin jauh, sehingga
waktu yang tersedia antara salat subuh dan Idul Fitri itu tidak lagi mencukupi.
Maka diambillah sebuah kesimpulan bahwa mengeluarkan zakat firth itu boleh
dilakukan sejak awal ramadhan sampai menjelang waktu salat Idul Fitri[8].
Hadits tentang: “Bepergiannya
seorang perempuan harus bersama mahram”. Illat larangan ini adalah karena jika
ia pergi sendirian tanpa suami atau mahram pada zaman onta atau keledai,
menempuh gurun dan belantara atau jalan yang sepi, dikhawatirkan terjadi
sesuatu atasnya suatu menimbulkan fitnah.
Jika kondisi telah berubah, seperti di zaman kita
sekarang, dimana perjalanan pun bisa menggunakan pesawat yang memuat banyak
penumpang, atau naik kereta yang juga berisikan banyak penumpang yang dianggap
situasinya aman bagi sang perempuan utnuk bepergian sendirian, maka tidak
mengapa menurut syariat ia pergi tanpa mahram dan tidak berarti bertentangan
dengan hadits.
Maka tidaklah heran jika ada
ulama berdasarkan hadits ini memperbolehkan perempuan tanpa suami atau mahram,
pergi haji bersama rombongan perempuan lain yang terpercaya atau bersama
perempuan lain yang aman sebagaimana
Contoh lain ialah hadits
tentang fadhillah berpanahyang artinya: “Barangsiapa
yang memanah di jalan Allah, maka ia mendapat keberuntungan seperti ini dan
seperti ini …”. Kemudian hadits yang menyebutkan ”Ajarilah anak laki-lakimu berkuda dan mamanah, dan anak perempuanmu menenun”.
Hadits ini cocok bagi orang yang memakai benda lain selain panah yang ssesuai
dengan zaman sekarang seperti roket, mortir, tank. Sementara wanita dengan
kodratnya yang sabar, teliti diberikan pelajaran yang memuat kesabaran dan
ketelitian seperti peneliti laboratorium, mendidik, perawat dan keterampilan
lain yang banyak tumbuh pada urusan rumah tangga[9].
Saya yakin bahwa ditentukannya
siwk untuk membersihkan gigi bertujuan memelihara kebersihan mulut sehingga
mendapat ridha Allah, seperti dalam hadits, “Siwak itu membersihkan mulut dan
menjadikan ridha Allah”.
Tetapi apakah yang dimaksud
dengan siwak itu sendiri? Tidak boleh menggunakan yang lain? Siwak adalah
wasilah, sehingga boleh mesyarakat menggunakan selain siwak untuk membersihkan
mulut. Kalau pun RAsulullah SAW menentukan siwak, oleh karena siwak cocok dan
mudah didapat di jazirah Arab. Dengan demikian, bolehlah wasilah buatan seperti
sikat gigi.
Sebagian ulama malah telah
menyatakan hal ini. Dalam kitab Hadiyaturraghib dalam fiqh Hanbali disebutkan :
“Siwak bisa dengan kayu arak, zaitun, dan batang kayu lain yang tidak melukai
dan membahayakan serta tidak pecah. Sedang yang membahayakan atau yang melukai
dan pecah, hukumnya makruh. Di antara yang membahayakan adalah kayu delima,
gaharu dan sejenisnya. Dna tidak cocok dengan sunnah bagi yang bersiwak bukan
dengan kayu. Syeikh Abdullah BAssem, peringkas kitab tersebut telah mengutip
kata-kata Imam Nawawi sebagai berikut: “Seseorang boleh bersiwak dengan apa
saja yang dapat menghilangkan bau mulut, seperti dengan kain atau jari-jari
tangan”. Inilah mazhab Hanafi, berdasarkan dalil yang bersifat umum tentangnya[10].
Dalam kitab al-Mughni
disebutkan: “Jika anda bersiwak degan menggunakan sesuatu yang dapat
membersihkan, maka tidaklah menyalahi sunnah. Juga tidak berarti meninggalkan
sunnah, jika sedikit, lantaran tidak mampu berbuat banyak. Ia menyebutkan bahwa
pendapat ini adalah benar.
Dengan demikian kita tahu,
bahwa sikat gigi dan pasta gigi dapat menduduki kedudukan kayu arakuntuk zaman
kita, terutama di rumah, sesudah makan dan menjelang tidur.
V. CARA MEMILIH HADITS
Rasanya kita sepakat bahwa
setiap ibadah yang kita lakukan harus didasari oleh dalil (rujukan) atau alasan
yang kuat, dan itu pasti merujuk pada perbuatan, perkataan maupun taqrir nabi
Muhammad SAW. Dengan kata lain dalil Nabi terutama hadits benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya (shahih). Sebab banyak sekali dijumpai para
penulis menggunakan sebagai penguat pendapatnya kurang selektif dalam menulis
hadits. Bahkan tidak sedikit hadits yang sangat populer di masyarakat ternyata
setelah dikaji ulang hadits tersebut dha’if,
bahkan maudhu. Ulama masih memberikan
toleransi terhadap hadits dha’if (lemah matan dan rawinya) hanya sebatas
sebagai perangsang ibadah. Itupun terbatas pada yang sunnah, bukan yang
bersifat wajib. Jadi sebatas pada fadha’ilul
a’mal (meningkatkan kegemaran beribadah). Sebab itulah para ulama hadits
tidak membuat tata cara yang ketat dalam menentukan kualitas hadits. Jadi
penyeleksian dan pengelompokkan berada dimana hadits tersebut mendapat
perhatian serius. Sebagai contoh Imam Bukhari atau imam muslim dari ribuan
hadits yang didapati setelah diseleksi hasilnya cuma ratusan hadits yang dapat
diterima, sekitar sepuluh persennya saja. Itupun sudah termasuk banyak. Hal ini
mengindikasikan kepada kita pertama tidak mudah mengelompokkan (memilah) hadits
pada tingkatan yang shahih. Kedua, membutuhkan waktu yang lama untuk dengan
tepat menentukan tingkatannya. Sebab harus dicari dan ditelusuri secara benar
sanadnya. Jika tidak orang yang dikenal atau dekat, maka ditelusuri melalui data-data
sejarah terhadap orang tersebut. Ketiga, memerlukan pengetahuan yang cukup
khususnya ilmu hadits, sejaran dan tokoh para perawi hadits.
Mari kita perhatikan bagaimana para pakar hadits
membuat ketentuan sehingga mendapati hadits yang benar-benar dapat diyakini
kebenarannya. yaitu tiga berkenaan dengan sanad (mata rantai perawi hadits) dan
dua berkenaan dengan matan (materi) hadits.
- Setiap
perawi dalam sanad suatu hadits haruslah seorang yang dikenal sebagai
penghafal yang cerdas, teliti dan benar-benar memahami apa yang
didengarnya. Kemudian ia meriwayatkannya setelah itu, tepat seperti
aslinya.
- Di
samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang mantap
kepribadiannya dan bertaqwa kepada Allah, serta menolak dengan tegas
setiap pemalsuan atau penyimpangan.
- Kedua
sifat tersebut di atas harus dimiliki oleh masing-masing perawi dalam
seluruh rangkaian para perawi dalam suatu hadits yang diriwayatkan. Jika
hal itu tidak terpenuhi pada diri satu orang saja dari mereka, maka hadits
tersebut dianggap tidak mencapai derajat shahih.
- Mengamati
matan (materi) hadits itu sendir, ia harus tidak bersifat syadz (yakini salah seorang
perawinya bertentangan dalam riwayatanny dengan perawi lainnya yang
dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya).
- Hadits
tersebut harus bersih dai illah
qadihah (yakni cacat yang diketahui oleh para ahli hadits, sedemikian
sehingga mereka menolaknya) [11].
Persyaratan tersebut di atas
bisa menjamin ketelitian dalam penukilan serta penerimaan suatu berita tentang
Nabi Muhammad SAW. Kita berani menyatakan bahwa dalam sejarah peradaban manusia
tidak pernah dijumpai contoh ketelitian dan kehati-hatian yang menyamainya.
Namun yang lebih penting lagi adalah kemampuan yang cukup untuk mempraktekkan
persyaratan-persyaratan tersebut.
Jika hal ini tidak diindahkan
oleh para pemerhati hadits, bisa jadi akan terjadi kerancuan dan ketidakjelasan
makna hadits yang benar-benar datang dari rasul. Dan manapula mereka yang tidak
bertanggungjawab dengan menyatakan keshahihan hadits tersebut dengan sanad yang
benar. banyak lagi dampaknya, apalagi sudah menyangkut pelaksanaan ibadah
akbiatnya akan fatal dan berkepanjangan.
Amat banyak ulama yang
bertaqwa dan bertanggungjawabserta sangat teliti dalam memelihara sunnah nabi.
Cara-cara mereka untuk menyaring sanad-sanad hadits sungguh merupakan hal yang
sangat terpuji dan layak dikagumi. dan di samping mereka, banyak pula para ahli
yang meneliti matan-matan hadits kemudian mana yang dinilai syadz atau bercacat.
Jelas bahwa untuk menetapkan
shahihnya hadits dalam segi matannya diperlukan ilmu yang mendalam tentang
al-Quran serta kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat-ayatnya, baik
secara langsung ataupun tidak. Juga ilmu tentang berbagai riwayat lainnya, agar
dengan itu semua dapat dilakukan perbandingan antara yang satu dengan lainnya,
ditinjau dari segi kuat lemahnya masing-masing.
Dalam kenyataannya, upaya para
ahli fiqh (faqih) telah menyempurnakan apa yang telah dilakukan oleh para
pengumpul dan perawi hadits (muhaddits). Para faqih juga menjadi penjaga kebenaran dan keotentikan dari suatu
hadits dari kekeliruan atau keteledoran
yang mungkin dilakukan oleh para perawi.
Di antara hadits Nabi SAW. ada
yang bersifat mutawatir yang karenanya disamakan hukumnya dengan ayat-ayat
al-Quran. Juga terdapat diantaranya yang shahih dan masyhur (dikenal dengan
baik) yang menafsirkan atau mengkhususkan hal-hal yang bersifat umum dalam
al-Quran. Di antaranya juga banyak sekali yang mengandung hukum-hukum furu’iyah yang dijadikan sandaran utama
oleh mazhab-mazhab fiqh yang ada.
Adakalanya sebuah hadits yang
shahih sanadnya tetapi lemah matannya. Yaitu setelah para faqih menjumpai
cacat tersembunyi yang ada di dalamnya.
Menemukan illah dan keganjilan dalam
susunan kalimat (matan) suatu hadits tidak merupakan monopoli para ahli hadits.
Ulama di bidang tafsir, ushul, kalam, dan fiqh semuanya juga bertanggungjawab;
bahkan mungkin tanggungjawab mereka lebih besar dari selain mereka.
Tidkkah menjadi kewajiban para
ahli ilmu-ilmu kalam, fiqh dan tafsir untuk menyikat bersih kotoran yang
memedihkan mata umat ini? Tak pelak lagi, para penjaga kemurnian hadits-hadits
shahih menolak hadits ini tak berharga sedikitpun.
Sebagai contoh telah muncul
pernyataan Syaikh al-Albani yang menshahihkan hadits: ”Daging sapi adalah
penyakit”. Padahal setiap pemerhati al-Quran pasti menyadari bahwa hadits
tersbut tidak berharga betapa pun keadaan sanadnya.
Dalam dua tempat dari
kitab-Nya, Allah SWT menghalalkan daging sapi dan menyebut hal itu sebagai
karunia-Nya bagi manusia. bagaimana mungkin ia adalah sumber penyakit?
Dalam surat al-An’am ayat 142
Allah berfirman; ”Dan di antara binatang ternak itu ada yang dijadikan untuk
pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. Makanlah dari rizqi yang diberikan
kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya
setan iti adalah musuh yang nyata bagimu”.
Kemudian Allah merinci apa
yang dihalalkan untuk dimakan: ”... yaitu delapan binatang yang
berpasang-pasangan; sepasang dari domba dan sepasang dari kambing ...” dan setelah
itu ”... dan sepassang dari unta dan sepasang dari sapi ...” (al-An’am: 143 dan
144). Di manakah letak penyakit dalam daging-daging yang dihalalkan ini?
Dan dalam surat al-Hajj ayat
36 Allah berfirman: ”Dan telah Kami jadikan untuk kamu, hewan al-budn sebagian dari syiar Allah; kamu
memperoleh kebaikan yang banyak padanya. Maka sebutlah olehmu nama allah ketika
kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri dan terikat. Kemudian apabila telah
jatuh (mati) makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang membutuhkan,
baik yang tidak meminta ataupun yang meminta-minta. Demikianlah Kami telah
menundukkan hewan-hewan a-budn itu
untukmu; mudah-mudahan kamu bersyukur”.
Adapun yang dimaksud dengan
hewan-hewan al-budn dalam ayat di
atas adalah unta, sapi dan kerbau. Lalu dimanakah penyakit yang tekandung di
dalamnya?
Cacat yang menyertai
orang-orang yang hanya menyibukkan diri dengan hadits saja, tetapi kurangnya
minat dan pengetahuan mereka untuk menekuni al-Quran dan mempelajari dengan
seksama hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Mengapa tidak mau berlapang
dada dengan membiarkan orang-orang selain mereka, yang kebetulan tergolong para
pemikir muslim yang berwawasan luas, untuk menemukan adanya illah dalam beberapa hadits yang
dikenal?
Haruslah berjiwa besar dalam
bentuk kerja sama dalam memeriksa dan menguji kebenaran peinggalan Nabi
Muhammad SAW. sangat diperlukan. Materi sebuah hadits adakalanya berkenaan
dengan aqidah, ibadah dn mu’amalah yang meliputi pengetahuan dan profesi para
ahli ’aql dan naql (yang berdasarkan pemikiran dan penukilan) bersama-sama.
mungkin juga sebuah hadits berkaitan dengan urusan dakwah, perang dan damai.
Oleh sebab itu mengapa para ahli di pelbagai bidang yang penting ini dijauhkan
dari pengujian matan yang dirawikan?
Apa gunanya sebuah hadits yang sanadnya sehat maupun matannya cacat?
Bagaimanapun juga masih ada
ribuan hadits yang tidak bercacat dan tidak ganjil, telah selesai dicatat dalam
enslikopedi-enslikopedi hadits. Kalapun masih ada beberapa di antara
hadits-hadits itu yang dapat dan perlu diperiksa dan diuji bersama-sama oleh
para fuqaha dan ahli hadits, sudah
barangtentu hal itu lebih baik dan lebih utama. Karena sepanjang dunia masih
berputar, pertanda kehidupan belum berhenti. Jadi masih ada banyak waktu untuk
melakukan perbaikan-perbaikan.
Sungguh disayangkan pada masa
sekarang terdapat kelompok kaum muda yang berperangai buruk, caranya berusaha
menjatuhkan kredibilitas para imam ahli fiqh dengan dalih ”demi membela hadits
Nabi SAW”. Padahal para ahli fiqh tidak menyimpang dari sunnah beliau, dan
tidak pula pernah meremehkan suatu hadits yang dipercayai keshahihannya serta
penisbahannya kepada beliau, yakni dalam segi sanad dan matannya. Memang
adalakanya mereka menolak bebarapa hadits disebabkan mereka mendapati beberapa
cacat dalam periwayatannya. Hal yang demikian itu bersesuaian dengan metode
ilmiah yang dipelajari dan dipertanggungjawabkan. Dan mereka pun menunjukkan
kepada umat tentang apa yang mereka anggap lebih otentik dan benar. Jadi ada
alasan ilmiah yang dibenarkan, bukan karena emosi kemanusiaan.
Dengan mengikuti metode ini,
mereka menaladani para sahabat dan tabi’in.
Misalnya sikap Aisyah RA ketika mendengar hadits yang menyatakan bahwa orang
mati diazab karena tangisan keluarganya terhadapnya. ia mnolaknya, bahkan
kemudian bersumpah bahwa Nabi SAW. tidak pernah mengucapkan ”hadits” tersebut.
Bahkan beliau kemudian menjelaskan alasan penolakannya dengan berkata: ”Adakah
kalian lupa akan firman Allah SWT, Tidaklah
seseorang menanggung dosa orang lain...(al-An’am: 164)”.
Demikianlah Aisyah RA dengan
tegas dna berani telah menolak periwayatan suatu ”hadits’ yang bertentangan
dengan al-Quran.
Pembatasan atau penyederhanaan
periwayatan hadits, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap
kehati-hatiannya, tidak berarti hadits Rasul tidak diriwayatkan. Dalam
batas-batas tertentu hadits-hadits itu diriwayatkan, khususnya yang berkaitan
dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-harinya dalam soal ibadah dan
muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa
hadits tersebut dan kebenaran ini matannya.
Ada dua cara para sahabat
dalam meriwayatkan hadits Nabi. Pertama dengan jalan periwayatan an-lafzi (redaksinya persis seperti yang
diwurudkan Rasul SAW), dan kedua dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).
- Periwayatan
Lafzi
Seperti yang telah dikatakan
bahwa periwayatan lafzi adalah periwayatan hadits yang redaksinya persis
seperti yang diwurudkjan oleh Nabi. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka
hafal benar apa yang disabdakan oleh Rasul SAW.
Kebanyakan para sahabat
menempuh periwayatan hadits melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan
hadits sesuai dengan redaksi dari rasul SAW. bukan menurut redaksi mereka.
Bahkan menurut Ajjaj al-Khatib sebenarnya seluruh sahabat menginginkan agar
periwayatan itu dengan lafzi buka denga maknawi[12].
Sebagian dari mereka secara ketat melarang meriwayatkan hadits dengan maknanya
saja (maknawi) bahkan satu huruf atau satu katapun tidak boleh diganti. Begitu
pula tidak boleh mendahulukan susunan kata yang disabdakan Rasul dibelakang
atau sebaliknya, atau meringankan bacaan yang tadinya tsiqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal in Umar ibn Khattab pernah
berkata: ”Barang siapa yang mendengar hadits Nabi kemudian ia meriwayatkannya
sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat”[13].
Di antara para sahabat yang
paling keras mengharuskan periwayatan hadits dengan jalan lafzi adalah Ibn
Umar. Ia seringkali menegur sahabat yang membacakan hadits yang berbeda
(walaupun hanya satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rasul SAW.
seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid ibn Amir. Suatu ketika seorang sahabat
menyebutkan hadits tentang lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa
Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada
urutan ke empat, sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah SAW.
- Periwayatan
Maknawi
Di antara para sahabat lainnya
ada yag berpendapat bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis
seperti yang diwurudkan oleh Rasul SAW, boleh diriwayatkan hadits secara
maknawi, periwayatan hadits yang matannya tidak persis sama dengan yang
didengarnya dari Rasul SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara
utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan
sedikitpun.
Meskipun demikian para sahabat
melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibn Mas;ud misalnya, ketika meriwayatkan
hadits, ada bagian-bagaian tertetu yang digunakannya untuk menguatkan
penukilannya, seperti denga kata: qala
Rasul SAW. hakaza atau qala Rasul SAW
qariban min haza yang artinya Rasul SAW telah bersabda begini.
Periwayatan hadits dengan
maknawi akan mengakibatkan munculnya hadits-hadits yang redaksinya antara satu
dan lainnya berbeda-beda, meskipun maksud atau maknanya sama. Hal ini santa
bergantung kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan
hadits-hadits tersebut.
VI. REAKSI TERHADAP SUNNAH
Salah satu keberhasilan Rasul
berdakwah menyampaikan agama Islam di tengah karakter bangsa Arab yang terkenal tempramental dan keras wataknya
adalah sikap bijaksana beliau terhadap umat. Ketika beliau tidak sependapat
dengan para sahabatnya, beliau tidak marah, tetapi beliau justru memberikan
penjelasan secara transparan, logika dan naik dengan lapang dada beliau
menerima saran ataupun perbedaan pendapat yang ada. Tentu saja yang terakhir
ini tidak berkaitan dengan wahyu yang menyangkut masalah hukum.
Bisa jadi orang dapat berbeda
pendapat tentang penjabaran ini. Namun agaknya tidak terelakkan untuk
memilah-milah ucapan dan sikap Nabi SAW.
karena hal yang semacam inilah yang dilakukan oleh para sahabat beliau sendiri.
Berikut ini beberapa contohnya:
Jabir bin Abdillah bermohon
kepada Nabi SAW. agar beliau bersedia berbicara kepada sekian banyak pedagang
dengan tujuan untuk membebaskan ayah Jabir dari utang-utangnya. Para pedagang
yang menyadari bahwa upaya Nabi tersebut hanya sekedar saran, menolak saran
tersebut.
Buraidah bersikeras untuk
meminta cerai dari suaminya, walaupun ia telah dinasihati oleh nabi SAW. Hal
ini karena ia menyadari bahwa nasihat Nabi tersebut bukanlah kewajiban agama
yang harus dilaksanakannya[14].
Ketika Nabi SAW. memilih
lokasi tempat bermarkas pasukannya dalam perang Badar, al-Khubbab ibn
al-Mundzir bertanya apakah lokasi ini merupakan pilihan yang didasari oleh
petunjuk Ilahi ataukah pilihan yang didasari oleh pertimbangan akal dan
strategi perang? Ketika Nabi Muhammad SAW. menjawab bahwa itu adalah ahsil
penalarannya, al-Khubbab mengusulkan lokasi lain yang lebih tepat dan usulnya
diterima oleh Nabi Muhamamd SAW[15].
Demikianlah terlihat bahwa
sejak semula pemilihan dalam sikap dan ucapan nabi SAW. telah dikenal oleh
sahabat-sahabat beliau sendiri.
Melalui buku ini, Muhammad
al-Ghazali berupaya menjelaskan perbedaan pemahaman menyangkut sekian banyak
sunnah Nabi kemudian mendudukkan masalahnya, baik dengan menjelaskan maksud
sunnah itu maupun dengan menolah keshahihannya.
Apa yang dilakukannya ini –
khususnya dengan menolak a-Sunnah yang dinilainya bertentangan dengan ayat-ayat
al-Quran – telah menimbulkan pro dan kontra. Bahkan ada yang menuduhnya sebagai
salah satu orang yang mengingkari as-Sunnah.
Muhamamd al-Ghazali sendiri
beranggapan bahwa apa yang dilakukannya itu justru merupakan salah satu bentuk
dari pembelaan terhadap Sunnah Nabi SAW.
Memang, bentuk-bentuk
pembelaan tidak terbatas pada pembuktian orientasinya, tetapi juga dalam
pemberian interpretasi-interpretasinya yang sesuai. Dan itulah menurut hemat
saya, yang diupayakan oleh Muhammad al-Ghazali dalam bukunya ini.
Namun demikian kita harus
berhenti sejenak untuk merenungkan kaidah yang dijadikan tolak ukur oleh
Muhammad al-Ghazali dalam menolak as-Sunnah. Dalam bukunya ini ia menegaskan
bahwa hadits/sunnah Nabi Muhammad SAW. yang bertentangan atau berbeda dengan
al-Quran harus ditolak. Setelah memberikan contoh bagaimana Aisyah RA. menolak
hadits yang disampaikan Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: ”Sesungguhnya orang
mati disiksa karena tangisan keluarga-keluarganya” alasan bahwa kandungan
hadits ini bertentangan dengan al-Quran yang artinya ”Seseorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain” (QS 6:164), Muhammad al-Ghazali menegaskan:
”Menurut hemat saya, cara yang
ditempuh oleh Umm al-Mukminin (Aisyah
RA) merupakan dasar untuk mengukur riwayat-riwayat yang sahih melalui ayat-ayat
al-Quran”.
Selanjutnya Muhammad al-Gahazali menulis:
”Para imam fiqh menetapkan
hukum-hukum sesuai dengan ijtihad yang luas yang berdasarkan kepada al-Quran
terlebih dahulu. Sehingga apabila mereka menemukan dalam tumpukkan riwayat yang
sejalan dengan al-Quran mereka dapat menerimanya. Atau kalupun tidak, mereka
menolaknya karena al-Quran lebih utama untuk diikuti”[16].
Pendapat di atas tidak
sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqh yang menerapkan secara utuh adalah
Abu Hanifah dan para pengikut mazhabnya. Mereka secara tegas menyatakan bahwa
hadits-hadits yang bertentangan dnegan al-Quran harus ditolak. Sebab al-Quran
diyakini kebenarannya secara mutlak, dan kerena itu tidaklah wajar untuk
ditinggalkan hanya disebabkan keberadaan suatu hadits yang bersifat ahad (yang tidak diriwayatkan oleh
sejumlah perawi yang meyakinkan). Menurut penganut mazhab Hanafi, jangankan
membatalkan kandungan suatu ayat al-Quran, mengecualikan kandungan sebagian
ayatnya pun tidak dapat dilakukan oleh hadits.
Pendapat ulama fiqh mazhab
Hanafi yang demikian ketat itu, tidak disetujui oleh Imam Malik dan penganut
mazhabnya. mereka dapat saja menerima dan mengamalkan hadits-hadits yang tidak
sejalan dengan ayat al-Quran apabila ada indikator yang menguatkan hadits
tersebut. Seperti misalnya, adanya pengamalan penduduk Madinah atau adanya
kesepakatan (ijma’) menyangkut
kandungannya. mereka menerima hadits yang menyatakan haramnya memperistrikan
dalam saat yang bersamaan – seorang wanita bersama bibinya, walaupun hal in
secara lahir tidak sejalan dengan kendungan ayat 24 surat an-Nisa’.
Imam Syafi’i dan penganutnya
bukan saja menolak pendangan Abu Hanifahtetapi juga pandangan mazhab Maliki.
Cukup panjang argumentasi yang disampaikan Imam Syafi’i dalam hal ini, baik
dari segi pembuktian kelemahan pandangan kedua tokoh mazhab tersebut, maupun
pembuktian dari segi keharusan mengakui keshahihan sunnah Nabi SAW. yang
kelihatannya berbeda atau bertentangan dengan ayat al-Quran.
Sunnah, menurut asy-Syafi’i,
boleh saja berbeda, menambah atau mengecualikan sebagian kandungan ayat al-Quran.
Bukankah Allah sendiri mengharuskan umat Islam mengikuti perintah Nabi-Nya?
Agaknya ketika menetapkan
pendapatnya itu, asy_syafi’i dipengaruhi oleh sikap sekian banyak orang pada
masanya, yang berusaha menolak as-Sunnah dan mengingkarinya, dengan alasan
al-Quran telah menjelaskan segala sesuatu – mirip dengan pandangan segelintir
anggota masyarakat muslim sekarang ini.
Pengantar ini bukan bermaksud
untuk memasuki polemik yang terjadi di kalangan ulma-ulama mazhab tersebut.
Yang dimaksud hanyalah ingin menggarisbawahi bahwa tidak semua ulama fiqh
sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Mumammad al-Ghazali dalam buku
ini. Di sisi lain, jika ada yang tidak sependapat dengan asy-Syafi’i atau
mendukung paham Abu Hanifah, maka harus disadari bahwa penolakan mereka bukan
terhadap as-Sunnah secara keseluruhan, tetapi hanya terhadap hadits/sunnah
tertentu yang mereka nilai berantangan dengan al-Quran. Semua itu mereka
lakukan dengan sangat cermat dan hati-hati, setelah menganalisis, mengolah dan
membalik-balik segala sisi permasalahan. Karena siapa tahu pertentangan yang
diduga itu dapat dikompromikan, apalagi jika Isanad (rangkaian perawinya)
terdiri dari orang-orang yang jujur, kuat hafalannya lagi memahami persoalan.
VII. MENCERMATI HADITS DENGAN ILMU
Ilmu merupakan alat bagi
manusia untuk memecahkan persoalan hidup baik yang berkaitan dengan dunia
maupun akhirat. Usuran ekonomi, sosial, budaya, politik, kemasyarakatan, ibadah
dan sekian banyak lagi yang menyangkut kehidupan manusia. Tidak mungkin rasanya
kita menjalankan urusan tanpa kendali ilmu pengethauan, walau sekecil apapun
urusan tersebut. Karena begitu urgensinya ilmu maka Islam mewajibkan kepada
umatnya untuk terus mengejar ilmu kapanpun dan dimanapun berada. Tetapi sayang
masih banyak ilmu yang kita belum memahami secara baik dikarenakan memang sifat
ilmu yang banyak ragamnya. Ada ilmu yang perlu dicermati atau diteliti sebelum
siap digunakan, ada pula yang langsung siap digunakan.
Badruddin az-Zarkasyi
(1344-1391) mengkalisifikasikan ilmu-ilmu keislaman menjadi tiga bagian:
Pertama: Ilmu yang
telah “matang tetapi belum dibakar” (nadhaja
wa lam yahtariq) seperti ilmu nahwu
(tatabahasa) dan ushl fiqh.
Ketiga: Ilmu fiqh dan
hadits dikatakan matang dan terbakar pula karena kedua ilmu ini begitu banyak
dibahas oleh para ulama, dan istilah-istilah yang digunakan begitu beragam;
sehingga tidak jarang setiap ulama mempunyai pengertian yang berbeda dengan
ulama lain, walaupun istilah yang digunakan sama.
Fiqh dapat dikatakan sebagai
suatu ilmu yang lahir dari hadits-hadits Nabi SAW. Karena walaupun ulama-ulama
fiqh merujuk kepada al-Quran,s eringkali pemahamannya dikaitkan dengan
hadits-hadits yang ada. Dan meskipun ilmu fiqh lahir dari hadits, namun
pandangan dan pemahamn para ahli hadits terhadap hadits itu sendiri tidak
jarang berbeda dengan pandangan para ulama fiqh/ushul.
Ulama hadits misalnya, karena
memandang jujungan kita Nabi Muhammad SAW. sebagai teladan, mengarahkan
perhatian mereka terhadap segala apa saja yang berkaitan dengan pribadi yang
agung itu, baik berkaitan dengan hukum ataupun tidak. Bahkan mereka menganggap
bahwa segala seusuatu yang dinisbahkan kepada beliau, baik sebelum ataupun
sesudah beliau diangkat menjadi nabi adalah Sunnah. Sementara itu ulama ushl fiqh membatasi bahasan-bahasan
mereka, yang berkenaan dengan Rasul SAW. hanya dalam persoalan-persoalan yang
dapat dijadikan kaidah-kaidah hukum. Sedangkan ulama fiqh membatasi pembahasan
mereka yang berkaitan dengan Ruslullah SAW. hanya pada masalah-masalah yang
berhubungan dengan perincian hukum syariat, yakni apakah masalah itu wajib,
sunnah, haram, makruh atau mubah[18].
Pemahaman antara para ulama di
atas juga berbeda berkaitan dengan suatu teks hadits. Ada yang memahaminya
secara tekstual dan ada pula yang secara kontekstual. Kedua ciri in sebenarnya
telah dikenal bahkan dipraktekkan oleh para sahabat Nabi SAW.
Suatu ketika Nabi SAW. memerintahnkan sejumlah
sahabatnya untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat beliau
berpesan: La yushaliyanna ahadukuum
al-ashra illa fi Bani Quraizhah yang artinya ”Janganlah ada salah seorang
diantara kamu yang salat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraizhah”.
Perjalanan ke perkampungan
tersebt ternyata begitu panjang, sehingga sebelum mereka tiba di tempat yang
dituju waktu Ashar telah habis. Di sini mereka merenungkan kembali apa maksud
pesan nabi di atas. Ternyata sebagian memahaminya sebegai perintah untuk
bergegas dalam perjalanan agar dapat
dapat tiba di sana pada waktu masih Ashar. Jadi bukan seperti bunyi teksnya
yang melarang salat Ashar kecuali di sana. Dengan demikian mereka boleh salam
Ashar walaupun belum tiba di tempat yang dituju.
Tetapi sebagian yang lain
memahaminya secara tekstual. Oleh karena itu mereka baru melaksanakan salat
Ashar setelah waktu Ashara berlalu, karena mereka baru tiba di perkampungan
Bani Quraizhah setelah waktu Ashar berlalu[19].
Di kalangan para ulama mereka
banyak mengenal istilah asbabul wurud,
yakni sebab diturunkannya sebuah hadits – atau dengan kata lain ”konteks subuah
hadits”. Namun tidak jarang konteks yang dimaksud tidak diketahui secara pasti
atau kabur bagi sebagian peneliti, sehingga menimbulkan kekeliruan pemahaman.
Contoh sebagian ulama memehami sabda Nabi, Man
akala lahma jazurin falyatawadhdha yang artinya ” Barang siapa yang memakan
daging unta, hendaklah berwudhu”, sebagai argumentasi batalnya wudhu akbiat
daging unta. Pemahaman ini keliru akibat tidak jelasnya konteks ucapan Nabi itu
baginya.
Imam al-Qarafi dianggap
sebagai orang pertama yang memilah ucapan dan sikap Nabi Muhammad SAW. Menurutnya Nabi terkadang berperan
sebagai Imam Agung, Qadhi (penetap hukum yang bijaksana) atau Mufti yang amat
dalam pengetahuannya.
Pendapat di atas bagi penganut
paham kontekstual dijabarkan dan dikembangkan lebih jauh, sehingga setiap
hadits harus dicari dulu konteksnya, apakah diucapkan/diperankan oleh manusia
agung itu dalam keadaan beliau sebagai:
- Rasul,
dan karena itu pasti benar. Sebab bersumber dari Allah SWT.
- Mufti,
yang memberi fatwa berdasarkan pemahaman dan wewenang yang diberikan Allah
kepadanya. Dan ini pun pasti benar serta berlaku umum bagi setiap muslim.
- Hakim,
yang memutuskan perkara. Dalam hal ini putusan tersebut walaupun secara
formal pasti benar, namun secara material adakalanya keliru. hal ini
diakibatkan oleh kamampuan salah satu pihak yang bersengkata dalam
menutup-nutupi kebenaran, sementara di sisi lain keputusan ini hanya
berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa
- Pemimpin
suatu masyarakat, yang menyesuaikan sikap, bimbingan dan petunjuknya
sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat yang dipimpin. Dalam hal ini
sikap dan bimbingan tersebut pasti benar dan sesuai dengan masyarakatnya.
namun bagi masyarakat yang lain mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang
terkandung dalam petunjuk dan bimbingan itu untuk kemudian diterapkan
sesuai dengan kondisi masing-masing.
- Pribadi,
baik karena beliau: (a) memiliki kekhusussan dan hak-hak tertentu yang
adianugerahkan atau dibebankan oleh Allah dalam rangka tugas kenabiannya,
seperti kewjiban salat malam atau kebolehan menikah lebih dari empat kali;
maupun karena (b) kekhususan-kekhususan yang diakibatkan oleh sifat
manusia, yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, seperti perasaan
suka atau benci terhadap sesuatu. Soal yang terakhir ini tidak menjadi
fokus perhatian utama mereka yang menitikberatan pendangannya pada ucapan
atau sikap yang berkaitan dengan hukum[20].
VIII. BIOGRAFI ULAMA HADITS
Biografi para tokoh atau ulama
u\yang dikemukakan pada uraian ini, ialah Abu Harairah, Abdullah ibn Umar, Anas
ibn Malik, Siti Aisyah, Abdullah ibn Abbas, Jabar ibn Abdillah dan abu Sa’id
al-Khudri. Mereka adalah para sahabat yang mendapat predikat al-muktsirun fi ar-riwayah (ulama yang
banyak meriwayatkan hadits). Tokoh atau ulama lainnya aialah Umar ibn Abdul
Aziz, Muhammad Abu Bakar ibn Hazm, Mahammah ibn Syihab az-Zuhri, al-Bukhari,
Muslim dan ar-Ramahurmuzi. mereka adalah para tokoh yangs angat berperan dalam
upaya penulisan hadits dan ilmu hadits, sejak generasi tabi’in sampai pada abad
kelima hijriah.
A. Sahabat yang mendapat
gelar Al-Muktsirun Fi Ar-Riwayah
1. Abu Hurairah
Abu Hurairah merupakan nama kunyah atau julukan yang diberikan
rasulullah SAW, karena sikapnya yang sangat menyayangi kucing peliharaannya.
Sedangkan nama aslinya adalah Abdurrahman ibn Sakhr ad-Dausi al-Yamani. Isa
adalah salah seorang sahabat Rasul SAW yang diberi gelar kehormatan oleh para
ulama dengan al-Imam, al-Faqih,
al-Mujtahid dan al-Hafizh. Ia dilahirkan pada tahun 19 sebelum hijriah, dan
meninggal di al-Aqiq pada tahun 59
hijriah[21].
Abu Hurairah adalah sosok
sahabat yang sangat sederhana dalam kehidupan materi, wara’ dan taqwa. Seluruh
hidupnya diabdikan untuk selalu beribadah kepada Allah SWT. Ia pernah diangkat
menjadi pegawai di Bahrain pada masa khalifah Umar ibn Khattab, kemudian ia
diberhentikan karena kebiasaanya yang terlalu banyak meriwayatkan hadits.
Kebiasaan ini bertentangan dengan kebijakan Umar ibn Khattab yang ada masa itu
sedang memperketat periwayatn hadits. Pada masa khalafah Ali ibn Abi Thalib ia
menolak diangkat menjadi pegawai. Akan tetapi pada masa Muawiyah ia menerima
kedudukan sebagai penguasa Madinah.
Ia cukup banyak menerima
hadits dari Rasululah SAW sendiri. al-Bukhari, Muslim dan at-Turmudzi
meriwayatkan bahwa Abu Hurairah suatu ketika mengeluh kepada Rasulullah SAW
tentang hadits yang diterimanya yang ia tidak bisa menghapalnya. Rasul
menyuruhnya membentangkan selendangnya, lalu diceritakannya banyak hadits.
Setelah itu ia tidak pernah lupa terhadap hadits-hadits yang diterimanya. Di
samping langsung dari Rasul, ia terima juga hadits-hadits melalui para sahabat
lainnya seperti Abu Bakar, Utsman, Ubay ibn Ka’ab, Usamah ibn Zaid dan Aisyah.
Hadits-hadits yang diterimanya
diriwayatkan oleh sekitar 800 orang dari kalangan sahabat dan tabi’in. Di
antara sahabat, ialah Abdullah ibn Abbas, abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdillah
dan anas ibn Malik. Sedangkan dari kalangan tabi’in antar lain Sa’id ib
al-Musayyab, Ibnu Sirin, Ikrimah, Atha’, Mujahid dan asy-Sya’bi. Dalam
meriwayatkan hadits di kalangan para sahabat ia menduduki ranking pertama dengan jumlah hadits yang diriwaytkannya sebanyak
5374 buah hadits.
Di antara silsilah sanad yang paling shahih untuk
hadits-hadits yang diterima Abu Hurairah ialah melalui Ibnu Syihab az-Zuhri,
dari Sa’id ibn al-Musayyab. Sedangkan silsilah sanad yang paling lemah ialah melalui as-Sirri ibn Sulaiman dari
Abu Daud ibn Yazid Al-Audi dari Yazid (ayah as-Sirri)[22].
Dalam beberapa riwayat
disebutkan bahwa ia juga termasuk salah seorang sahabat yang memiliki catatan
hadits-hadits dari rasululah SAW. Di antara hadits yang diriwayatkannya juga
tercatat beberapa nama yang menulis hadits yang diterima daripadanya, antara
lain Abu Shalih as-Samani, Basyir ibn Nuhaik, Abdul al-Aziz ibn Marwan, Muhammad
ibn Sirin dan Marwan ibn al-Hakam[23].
2. Abdullah ibn Umar
Abdullah ibn Umar atau juga
biasa disebut juga dengan ”Ibn Umar”, lahir pada tahun 10 sebelum hijriah,
setelah peristiwa pengangkatan Rasul dan meninggal pada tahun 74 hijriah[24].
Ia masuk Islam bersama ayahnya pada usia 10 tahun, dan termasuk salah seorang
dari empat sahabat Nabi yang mendapat gelar ”Abdullah”. Menurut Malik ibn Abbas
dan Ibn Syihab az-Zuhri, ia mengetahui sepenuhnya berbagai urusan yang dihadapi
Rasul SAW dan para sahabatnya. Dalam kehidupan sehari-harinya menurut pandangan
para ulama, baik dari kalngan sahabat maupun tabi’in, bahwa pribadi Ibn Umar
mencerminkan ia seorang ulama yang hanya mengharapkan ridha Allah SWT semata, sebgaimana dikatakan Ibn Mas’ud ,
Jabir dan Ibn al-Musayyab. Menurut ibn Syihab az-Zuhri, di kalangan para
tabi;in tidak pernah ada seorangpun yang berpaling dari pandangan-pandangannya[25].
Hadits-hadits yang
diterimanya, selain langsung dari Rasulullah SAW, ia juga menerimanya dari para
sahabat lainnya, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Hafshah (saudaranya) dan
Abdullah ibn Mas’ud. Para tabi;in yang meriwayatkan hadits dari beliau banyak
sekali. Di antaranya ialah Sa;id ibn Musayyab, al-Hasan al-Basri, Ibn Syihab
az-Zuhri, Ibn Sirin Nafi, Mujahid, Thawus dan Ikrimah. Dalam periwayatan hadits
di kalangan para sahabat ia menduduki ranking kedua, dengan jumlah hadits yang
diriwayatkan sebanyak 2630 buah.
Di antara silsilah sanad yang
paling shahih yang sampai kepada Abdullan ibn umar ialah hadits yang melalui
Malik ibn Anas dari Nafi’. Sedangkan yang paling lemah ialah hadits yang
melalui Muhammad ibn Abdullah ibn aal-Qasim dari ayahnya kemudian dari kakeknya[26].
Di samping ia menghapal
hadits-hadits yang diterimanya, ia juga menuliskannya dalam beberapa risalah. Hal ini di antaranya diketahui
oleh Nafi’[27].
Di antara hadit-hadits yang diriwayatkannya ada juga yang ditulis oleh para
ulama yang menerimanya, seperti Sa’id ibn Jubair, Abdul al-Aziz ibn Marwan,
Abdul Malik ibn Marwan dan Nafi’.
3. Anas ibn Malik
Nama lengkap Anas ibn Malik
adalah Anas ibn Malik ibn an-Nadhar ibn Dhamdham ibn Zaid ibn Haram ibn Jundub
ibn Amir ibn Ganam ibn Addi ibn an-Najar al-Anshari. Ia juga dikela sebagai Abu
Hamzah.
Anas Ibn Malik dilahiran pada
thaun 10 sebelum hijriah, dan wafat pada tahun 93 hijriah di Bashrah (menurut
Qatadah tahun 91 dan menurut Wahab ibn Jarir pada tahun 95); Anas ibn Malik
adalah sahabat yang wafat terakhir di kota ini[28].
Ia hidup bersama Rasul SAW
dalam kedudukannya sebagai pembantu, yang dipersembahkan oleh Ibunya (Ummu
Sulaim) pada usia 10 tahun. Ayahnya bernama malik an-nadhar yang silsilah
keturunannya sampai kepada Ibn ’Addi ibn an-najar. Rasul SAW sendiri
memperlakukannya dengan sangat bijaksana, bukan sebagai seorang tuan kepada
pembantunya. Dalam hal ini, Anas pernah bercerita bahwa Rasul SAW tidak perah
menyinggung perasaanya, bermasam muka, atau menegur apa saja yang dikerjakan
atau ditinggalkannya kecuali hanya menyerahkannya kepada Allah SWT.
Kepribadiannya yang dikenal di
kalangan para sahabat adalah ketaqwaan dan kewaraannya. Abu Hurairah pernah
berkomentar: ”Aku tidak melihat seorangpun yang salatnya menyerupai Rasul SAW.,
kecuali Ibn Sulaim (Anas Ibn Malik)”. komentar yang hampir sama juga
dikemukakan oleh Ibn Sirrin.
Hadits-hadits yang diterimanya
selain langsung dari Rasul SAW, juga dari para sahabat lainnya, seperti Abu
bakar, umar, Utsman, Fatimah az-Zahra, tsabit ibn Qais, Abdurrahman ibn Auf,
Ibn Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab, Mu’adz ibn Jabal dan lain-lain. Sedangkan
hadits-haditsnya diriwayatkan oleh para tabi;in antara lain al-Hasan, Sulaiman
at-taimi, Abu Qilabah, Ishad ibn abi Thalhah, dan Muahmmad ibn Sirin[29].
Dalam periwayatan hadits di kalangan
para sahabat ia menduduki ranking ketiga dengan jumlah hadits yang
diriwayatkan sebanyak 2286 buah hadits.
Silsilah sanad yang paling
shahih yang sampai kepadanya ialah melalui malik ibn Anas dari Ibn Syihab
az-Zuhri. Sedangkan yang paling lemah adalah melalui Daud ibn al-Muhabbir dari
ayahnya dari abban ibn Abi Iyasy[30].
4. Siti Aisyah
Siti Aisyah merupakan istri Rasulullah
SAW, putri Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia merupakan satu-satunya istri Nabi yang
banyak meriwayatkan hadits, hingga ia meningal pada tahun 57 H.
Tentang kelebihan ilmunya, ibn
Syihab az-Zuhri pernah berkata: ”Jika ilmu istri-istri Rasul SAW dikumpulkan
ditambah ilmu wanita-wanita lainnya, tentu tidak akan dapat mengungguli ilmu
Aisyah”. Komentar yang senada juga diberikan oleh Urwah[31].
Penghargaan yang sangat tinggi juga disampaikan di antaranya oleh oleh ayah
Hisyam. Menurutnya tidak ada sahabat yang sepandai Aisyah dalam hal mengetahui
diturunkannya ayat-ayat al-Quran, hal-hal yang diwajibkan dan disunnahkan,
peristiwa-persitiwa penting, silsilah keturunan dan banyak hal lainnya.
Hadits-hadits selain yang
diterimanya langsung dari rasul SAW sendiri, ia juga menerimanya dari para
sahabat seperti Abu Bakar (ayahnya), Umar, Sa’ad ibn Abi Waqas dan Usaid ibn
Khudair. Yang menerima hadits dari Aisyah bukan hanya para tabi’in tetapi juga
para sahabat lainnya. di antara para sahabat yang meriwayatkan hadits daripadanya,
ialah Abu Hurairah, Abu Musa al-Asy’ari, Zaid ibn Khalid, al-Juhni dan Shafiyah
binti Syaibah. Sedangkan para tabi’in yang menerima hadits dari beliau antara
lain Sa’id ibn al-Musayyab, Alqamah ibn Qais, Masruq ibn al-Ajda’, Aisyah binti
Thalhah, Amrah binti Abdurrahman, Hafsah binti Sirin. Dalam jajaran para perawi
di kalngan sahabatbeliau menduduki erigkat ke empat dengan hadits yang
diriwayatkan sebanyak 2210 buah.
Silsilah sanad yang paling
tinggi derajatnya yang sampai kepada beliau ialah yang melalui Yahya ibn Sa’id
dari Ubaidullah ibn Amr dari al-Qasim ibn Muhammad. Silsilah lainnya ialah
melalui Ibnu Syihab az-Zuhri atau Hisyam ibn Urwah ibn az-Zubair. Sedangkan
sanad yang paling lemah terdapat pada al-Harits ibn Syubl dari Ummu an-Nu’man[32].
5. Abdullah ibn Abbas
Abdullah ibn Abbas atau juga
biasa disebut dengan Ibnu Abbas adalah anak paman rasul SAW, al-Abbas ibn Abdul
Mutahllib ibn hasyim ibn Manaf al-Makki al-Madani at-Thai’ifi, sedangkan ibunya
ialah saudara Maimunah (istri Nabi SAW) yaitu Ummu al-Fadhl Lubabah binti
a-Harits al-Hilaliyah. Ia dilahirkan tiga tahun sebelum hijrah dan meninggal di
Tha’if pada tahun ke 68 hijrah.
tentang kepribadian dan
kelebihan Ibnu Abbas\, di antaranya disebutkan bahwa Rasul SAW pernah
mendoakannya, yang dikabulkan oleh Allaw SWT, dengan doa: ”Allahumma faqihu fi ad-Din wa ’allamahu al-ta’wil” (ya Allah,
semoga Engkau memberi pemahaman kepadanya). Ubaidillah ibn Abdullah ibn Utbah
pernah berkata, bahwa pengetahuan Ibnu Abbas dalam bidang fiqh, tafsir
al-Quran, bahasa Arab, sya’ir, ilmu hisab dan ilmu waris tidak ada yang mampu
mengungguli.
Hadits-hadits yang
diriwayatkannya di samping diterima langsung dari Rasul SAW, ia juga menerima
dari ayah dan ibunya, Abu Bakar, Utsman, Ali, umar, Ubaya ibn Ka’ab, Mu’adz ibn
Jabal dan sahabat-sahabat lainnya. Sedangkan para ulama yang meriwayatkan
hadits darinya antara lain, Abdullah ibn Umar, Abu ath-Thufail, Said ibn
al-Musayyab, Anas ibn Malik, Sahal ibn Hanif, Ikrimah dan banyak lagi para
ulama lainnya. Dalam jajaran para perawi hadits di kalangan sahabat ia
menduduki peringkat kelima, dengan jumlah yang diriwayatkan sebanyak 1660 buah
hadits. Hadits yang langsung diterima nabi SAW dendiri, sebagaimana yang
ditemukan pada shahi Bukhari dan Muslim, adalah lebih dari sepuluh hadits.
Menurut para ulama lainnya, sebagaimana dikemukakan al-Asqalani, menyebutkan
jumlahnya lebih kecil dari itu; menurut al-Ghazali hanya ada empat hadits,
menurut Gandar hanya sembilan hadits, dan menurut Yahya al-Qaththan hanya ada
sepuluh hadits[33].
Silsilah sanad hadits yang
paling tinggi nilainya yang sampai kepadanya, aialah melalui Ib Syihab az-Zuhri
dsan Ubaidilah ibn Abdillah ibn Utbah. Sedangkan silsilah yang paling lemah
melalui perantara Muhammad ibn Marwan as-Suddi ash-Shaghir dari al-Kalbi dari
Abu Shalih.
6. Jabir Ibn Muhammad
Ia dilahirkan pada tahun 16
sebelum hijrah dan meninggal di Madinah pada 78 H (menurut Ibn Sa’ad dan
al-Haitsam tahun73, bahkan ada yang menyebutkan tahun 94 H)[34].
Ayahnya adalah abdullah ibn Amr ibn Haram ibn Tsa’labah al-Khazraji an-Nashari
as-Salami. Di masjid Nabawi ia memberikan bimbingan pengajian kepada
masyarakat. Kemana saja ia pergi, seperti ke Mesir dan Syam, ia selalu
dikunjungi masyarakat yang ingin mengambil ilmunya dan meneladani taqwanya. Ia mendapat gelar kehormatan di antaranya al-Faqih, al-Imam dan al-Mufthi al-Madinah[35].
Ia menerima hadits-hadistnya
selain dari rsul SAW sendiri, juga dari para sahabat lainnya seperti, Abu
Bakar, Umar, Ali, Abu Ubaidah, Thalhah, Mu’adz ibn Jabal, Ammar ibn Yasir
Khalid ibn Walid, Abu Burdah ibn Nayyar, Abu Hurairah, Ummu Syuraik dan masih
banyak lagi sahabat lainnya. Sedangkan para ulama tabi’in yang meriwayatkan
hadits darinya antara lain Abdurrahman, Uqail, dan Muhammad (anaknya), S’id ibn
al-Musayyab, Abu az-Zubair, Ibnu Dinar, Abu Ja’far al-Baqir, Muhammad ibn
al-Munkadir, Wahab ibn Kaisan dan al-Hasan al-Bashri[36].
Dalam jajaran periwayat hadits di kalangan sajabat ia menduduki peringkat
keenam dengan meriwayatkan 1540 buah hadits.
Silsilah sanad yang paling
tinggi nilainya ialah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh um\lama Mekkah
melalui Sofyan ibn Uyainah dari Amr ibn Dinar[37].
7. Abu Sa’id al-Khudri
Abu Sa’id al-Khudri adalah
nama gelar yang diberikan kepadanya, sedangkan nama aslinya adalah Sa’ad ibn
Malik ibn Sinan. Ia dibawa ayahnya mengunjungi rasul SAW untuk ikut berperang
pada perang Uhud, yang waktu itu ia baru berusia 13 tahun. Rasul melarangnya
karena dinilai amsih terlalu muda. Ia meninggal pada tahun 74 hijriah.
Tentang kepribadiannya, ia
dikenal sebagai seorang yang zahid dan alim. Dalam
perjuangan untuk menegakkan ajaran, ia ikut berperang sebanyak 12 kali.
Hadits-hadits ia terima di
samping dari Rasul SAW, adalah dari para sahabat lainnya seperti Malik ibn
Sinan (ayahnya), Qatadah ibn an-Nu’man, abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, ABU Musa
al-Asy”ARI< Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Salam. Sedangakn dari kalangan
ulama yang meriwayatkan hadits-haditsnya antara lain Abdurrahman (anaknya),
Zainab binti Ka’ab ibn Ajrad, Abdullah ibn Umar, Abdullah ib ABBAS< ABU
ath-Thufail, Nafi’ dan ikrimah. Dalam jajaran periwayat hadits di kalangan
sahabat ia menduduki posisi ketujuh dengan hadits yang telah diriwayatkannya
sebanyak 1170 hadits.
B. Tokoh-tokoh sekitar Pen-tadwin-an hadits dan Ilmu Hadits
1. Abu Sa’id al-Khudri
Nama lengkapnya ialah Umar ibn
Abdul Aziz ibn Marwan ibn al-Hakam ibn Abu al-‘As ibn Umayyah ibn Abdu Syams
al-Quraisyi al-Amawi, atau disebut juga dnegan Abu Hafs al-Madani ad-Dimaski.
Ia adalah salah seorang khalifah (yang ke-8) dari Daulah Bani umayyah, yang oleh
banyak ulama –karena kearifan, keadilan, kewaraan dan keluhuran budinya
terutama selama menjadi khalifah– ia dimasukkan ke dalam jajaran khulafa ar-raasyidin.
Ia dilahirkan pada tahun 61 H
dan meninggal pada bulan rajab tahun 101 H. ibunya bernama Ummu Ashim ibn Ashim
(putri Umar ibn Khattab). Karena
garis keturunannya ini, dalam banyak hal ia dinilai memiliki sifat-sifat
kakeknya.
Dalam hal sejarah perkembangan
hadits ia sangat berjasa karena gagasannya untuk mengumpulkan hadits dalam
suatu kitab tadwin. Untuk keperluan
ini, ia sebagai kahlifah memberikan instruksi kepada Abu Bakar ibn Muammad ibn
Hazm –Gubernur Madinah– agar asegera mengumpulkan orang-orang yang mengetahui
hadits, khususnya hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Anshari
dan al-Qasin ibn Muhammad ibn Abu Bakar serta menghimpunya. Isntruksi serupa
disampaikan juga kepada Muhammad ibn Syihab az-Zuhri. Meskipun hasil tadwinnya tidak sampai ke tangan umat
Islam generasi berikutnya, akan tetapi sebagai perintis formal dalam pen-tadwin-an hadits, merupakan jasa yang
sangat besar dalam upaya menyelamatkan hadits dari berbagai persoalannya,
seperti kehilangan dan usaha pemalsuan.
Hadits-haditsnya ia terima
dari para sahabat dan sesama tabi’in lainnya. Di antaranya ialah Anas ibn malik,
as-Sa’ib ibn Yazid, Abdulah ibn Ja’far, Yusuf ibn Abdillah ibn Salam, Uqbah ibn
Amar al-Juhni, Abdullah ibn Ibrahim ibn Qarit, ar-Rabi’ ibn Sabrah al-Juhni,
Urwah ibn az-Zubair, Abu Salamah ibn Abdurrahman dan Abu Bakar ibn al-Harits
ibn Hisyam. Sedangkan yang meriwayatkan hadits-haditsnya antara lain ialah Abu
Salamah ibn Abdurrahman (gurunya sendiri), Abdullah ibn Abdul Aziz (anaknya),
Zuban ibn Abdul Aziz, Maslamah ibn Abdul al-malik ibn Marwan, Ibnu Syihab
az-Zuhri, Abu Bakar Muhammad ibn AMR IBN Hazm, Laits ibn Abu ruqayah
ats-Tsaqafi, Ayyub al-Sakhtiyani dan Abdul al-Malik ibn ath-Thufail.
Dalam kapasitasnya sebagai
perwai hadits, oleh para ahli hadits ia dinilai sebagai perawi yang tsiqah. Oeh ibnu Hibban ia dimasukkan ke
dalam jajaran tabi’in yang tsiqah[38].
2. Abu Bakar ibn
Muhammad ibn Hazm
Nama lengkapnya ialah Abu Bakr
ibn Muhammad ibn AMR IBN Hazm al-Anshari al-Khazraji an-Najari al-Madani. Nama
kecilnya ialah Abu Bakr atau Abu Muhammad. Tidak jelas kapan ia dilahirkan,
sedangkan ia meninggal pada 117 hijriah; ada juga yang menyebutkan tahun 120 H.
Dalam sejarah perkembangan
hadits, ia yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur Madinah– berdasarkan
instruksi khalifah Umar ibn Abdul Aziz– berhasil mengumpulkan hadits yang
tersebar dari para penghapalnya. Adapun dalam kapasitasnya sebagai ahli hadits,
para ulama, seperti Ibn Ma’in, dan ibn Kharrasy menilainya tsiqah. Ibn Hibbah, al-Haitsan ibn Addi’, dan al-Waqidi
memasukkannya ke salam ats-tsiqah.
Hadits-hadits yang
diriwayatkannya ia terima dari banyak ulama. Di antaranya ialah dari ayahnya,
Abdullah ibn Zaid ibn Abdi rabah al-Anshari, Amrah binti Abdurrahman (bibinya),
Abu hayyah al-Badari, Khalidah binti Anas, Ubabah ibn Tamim, Salman al-Farisi
Abdullah ibn Qais ibn Mahramah, Abdullah ibn Umar ibn Utsman, Amr ibn Salim
az-Zarqa, Umar ibn Abdul Aziz dn Abu Salamah ibn Abdurrahman. Sedangkan para
ulama yang meriwayatkan hadits daripadanya antara lain Abdullah (anakknya),
Muhammad ibn Ammarah ibn Muhammad ibn Hazm, Amr ibn Dinar, az-ZuhrI, Yahya ibn
Sa’id al-Anshari, al-Ealid ibn Abu Hisyam, Yazid ibn al-Hadi, Abdullah ibn
Abdurrahman, Abdurrahman ib Abdullah al-Mas’udi, Aflah ibn Humaid, Ubaiya ibn
Abbas, Abu Husain, dan Sa’id ibn Abu Hilal[39].
3. Ibnu Syihab az-Zuhri
Nama lengkapnya ialah Muhammad
ibn Muslim ibn Ubaidllah ibn Abdullah ibn Syihab ibn Abdullah ibn al-Harits ibn
Zahrah ibn Kilab ibn Marrah al-Quraisyi az-Zuhri. Ia lahir pada 50 H dan meninggal pada bulan
Ramadhan tahun 125 H. Menurut para ulama, seperti dikatakan Umar ibn Abdul
Aziz, Ayyub dan al-Laits tidak ada ulama yang lebih tinggi kemampuannya
khususnya dal;am bidang hadits darnya. karena kemampuannya dalam bidang ilmu
agama, ia seperti yang dikatakan oleh al-Asqalani, mendapat beberapa gelar
antara lain al-Faqih, al-Hafidzh
al-Madani, Alim al-Hijaz wa asy-Syam dan salah seorang dari pemimpin dunia[40].
Dalam sejarah perkembangan
hadits, sebagaimana Abu Bakr ibn Hazm, ia mendapat kepercayaan dari Umar ibn
Abdul Aziz untuk menghimpun hadits-hadits. Hasil karyanya, menurut para ulama,
dinilai lebih lengkap dibanding hasil karya Abu Bakr ibn Hazm. Namun
sebagaimana telah dikatakan, sayang sekali, hasil karya kedua ulama ini hilang,
sehingga tisak sampai ke tangan generasi berikutnya.
Hadits-hadits yang ia peroleh
dari banyak ulama, antara lain Abdullah ibn Umar ibn Khattab, Abdullah ibn
Ja’far, Rabi’ah ibn Abbad, Abdurrahman ibn Azhar, Abu ath-Thufail, Mahmud ibn
Rabi’, Malik ibn Aus, as-Sa’ib ibn Yazid, Abdullah ibn al-Harits ibn Naufal,
Urwah ibn Az-ZubairThalhah ibn Abdullah ibn Auf dan Alqamah ibn Waqaf.
Sedangkan hadits-haditsnya yang diriwayatkan oleh ulama antara lain, Atha’ ibn
Abu Rabbah, Abu az-Zubair al-Makki, Umar ibn Abdul Aziz, Amr ibn Dinar, Shalih
ibn Kaisan, Abban ibn Shalih, Yahya ibn Sa’id al-Anshari, Ja’far ibn Rabi’ah,
al-Auza’i, Ibnu Juraih, Ishaq, Amr ibn Syuaib, Muhammad ibn al-Munkadir, Hisyam
ibn Urwah, Malik ibn Anas, az-Zubaidi dan Ibn Abbas.
Menurut an-Nasa’i silsilah
sanad yang paling tinggi sampai kepada ibnu Syihab az-Zuhri, ada dua jalan:
pertama melalui Ali ibn Husain dari ayahnya (Husain) dari kakeknya (Ali); kedua
melalui Ubaidillah dari Ibn Abbas[41].
4. al-Bukhari
Nama lengkap al-Bukhari adalah
Abu Abdullah muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardzibah
al-Bukhari. Nama al-Bukhari, karena beliau lahir di kota Bukhara, yang kemudian
menjadi populer untuk menjadi nama penggilannya. Ia juga dipanggil dengan Ibn
al-Ahnaf al-Ju’fi. al-Bukhari dilahirkan pada Jumat 13 Syawal 194 H dan
meninggal pada 30 Ramadhan 256 H.
Peranannya dalam bidang
hadits, adalah ia yang pertama kali berhasil menyusun kitab al-Jami’ ash-Shahih (kumpulan
Hadits-hadits Shahih) dengan sistematika fiqh. Kitab ini berisi 9082 buah
hadits yang disebutkan secara berulang-ulang. Hadits sejumlah itu dipilih dari
sekitar 600.000 buah hadits yang diterimanya, selama masa waktu 16 tahun.
Menurut Muhammad Fuad Abd al-Baqi, jumlah hadits al-Bukhari yang ditulis secara
berulang-ulang sebenranya 7.563 buah atau dengan 2.607 buah dengan membuang
ahdits yang berulang-ulang[42].
Karya-karya lainnya di samping dalam bidang hadits dan Ilmu Hadits, juga dalam
berbagai bidang ilmu lainnya, yang jumlah seluruhnya sebanyak 20 buah karya
tulis.
Hadits-haditsnya diperoleh
dari adh-Dhahak ibn Makhlad, Abu ’Ashim an-Nabil, Makki ibn Ibrahim
al-Hanzhali, Ubaidillah ibn Musa al-Abbasi, Abs. al-Qudus ibn al-Hajjaj,
Muhammad ibn Abdullah al-Anshari dan lain-lain. Sedangkan hadits-haditsnya
diriwayatkan oleh banyak ulama, antara lain Muslim , at-Turmidzi, an-Nasa’i,
Ibrahim ibn Ishak al-Hurri dan Muhammad ibn Ahmad ad-Daulabi. Ulama yang
terakhir meriwayatkan dari al-Bukhari ialah Manshur ibn Muhammad al-Badzudi
yang meningal pada tahun 329 H[43].
Al-Bukhari mengajukan
syarat-syarat untuk sanad-sanad hadits secara ketat di antara para mudawwin hadits. Di samping harus benar-benar
memenuhi kriteria adil dan dhabith ia menyaratkan agar antara satu
sanad dengan sanad lainnya benar-benar memenuhi syarat penghunungannya (muttashil). Untuk itu ia menartikan ittishal as-sanad (persambungan sanad)
dengan dua syarat, yaitu: pertama, haurs mu’asharah
(antara yang menyampaikan dan yang menerimanya hidup dalam satu masa); kedua
harus liqa’ (terjadi perjumpaan di
antara keduanya), meskipun perjumpaan itu hanya satu kali. Karena ketatnya
persyaratan ini ia tidak menerima hadits yang diriwayatkan dengan kata-kata ”an fulan”. Karena ketatnya persyaratan
yang dipaikainya, kitab karya al-Bukhari ini oleh para ulama dinilai sebagai
kitab Shahih yang menduduki urutan
tertinggi nilai keshahihannya[44].
Kelebihan dan keistimewaan
al-Bukhari banhak dikemukakan oleh ulama sezaman dan generasi selanjutnya.
Maslamah menyebutkan bahwa alp-Bukhari termasuk ulama yang menguasai benar
hadits, dan ia tsiqah. Ishaq ibn
Rahawaih pernah menyerukan kepada para ulama lainnya agar mengambil hadits dari
al-Bukhari karena kualitas hadits-haditsnya, keluasan pengetahuannya terhadap
ilmu agama, khususnya bidang hadits. Tentang kitab al-Jami’ ash-Shahih karyanya, menurut hasil penelitian Ibn
al-Madini, Yahya ibn Ma’in, Ahmad ibn Hanbal dan para ulama lainnya,
menyebutkan bahwa hadits-hadits al-Bukhari dalam kitabnya benar-benar shahih kecuali empat hadit saja[45].
5. Muslim
Nama lengkap Muslim adalah Abu
al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Ia dilahirkan pada 205
atau 206 H. Sedangkan meninggalnya pada bulan Rajab 261 h dalam usia 55 tahun.
Peranannya dalam sejarah
perkembangan hadits, ia merupakan ulama kedua yang berhasil menyusun kitab al-Jami’ ash-Shahih, yang dikenal dengan
nama ”Shahih Muslim”. Kitab ini
berisi 10.000 buah hadits yang disebutkan secara berulang-ulang, atau sebanyak
3030 buah hadits dengan menghilangkan pengulangan penyebutan sanadnya. Hadits
sejumlah itu disaring dari 300.000 buah hadits yang dikumpulkannya selama 15
tahun.
Berdasarkan keshahihannya,
para ulama memasukkan karya Muslim ini pada peringkat kedua setelah Shahih
Bukhari. Karena syarat yang ditetapkan Muslim lebih longgar. Dalam persambungan
sanad antara yang meriwayatkan (rawi)
dan yang menerimanya (marwi anhu)
menurut Muslim hanya cukup syarat mu’asharah
(sezaman) saja.
Hadits-haditsnya diperoleh
dari banyak ulama, antara lain al-Qa’nabi, Ahmad ibn yunus, Ibrahim ibn Abu
Uwais, Daud ibn Amr ad-Dhibbi, Yahya ibn Yahya an-Naisaburi dan haisan ibn
Harijah. Sedang para ulama yang meriwayatkan hadits-haditsnya ialah
at-Turmudzi, Abu Haitm ar-Razi, Abu al-Fadhl Ahmad ibn Salamah, Musa ibn Harun,
Ibrahim ibn Abi Thalib, Ibn Hujaimah, Abu ’Awanah, Abu Hamid al-A’masyi dan
Muhammad ibn Ishaq al-Faikhi[46].
Tentang kapasitasnya sebagai ahli Hadits, sama seperti halknya dengan
al-bukhari. Mslamah ibn Qasim dan Ibn Abi Hatim menyebutkan, ia adalah salah
seorang imam yang menguasai hadits, dan tergolong tsiqah. Menurut Bandar, para penghapal hadits itu ada empat orang
yaitu Abu Zar’ah, al-Bukhari, Muslim dan ad-Darimi[47].
6. Ar-Ramahurmuzi
Nama lengkapnya ialah Abu
Muhammad al-Hasan ibn Abdurrahman ibn Khalad Ar-Ramahurmuzi. ia disebut juga
dengan nama Abu Muhammad al-Khalad. Sebutan Ar-Ramahurmuzi dinisbatkan kepada
nama kota tempat ia dilahirkan, kota Rahmarmusz, sbelah barat daya Iran. Para
penulis sejarah tidak menyebutkan kapan ia dilahirkan akan tetapi menurut Ajjaj
al-Khathib ia lahir pada 256 H dan meninggal pada tahun 360 Hijrian di kota itu
juga.
Hadits-hadistnya ia terima di
antaranya dari Ahmad ibn Yahya al-Halwani, Ahmad ibn Abu Khaitsamah, Ahmad ibn
Muhammad al-Burti, Muhammad ibn Ghalib adh-Dhibbi. Sedangkan para ulama yang
meriwayatkan hadits-hadits daripadanya antara lain Abu al-Hasan Muhammad ibn
Ahmad as-Saidawi, al-Hasan ibn al-Laits asy-Syirazi, Abu Bakar Muhammaad ibn
Musa ibn Mardawaih, Ahmad ibn Ishaq an-Nahawandi, Abu al-Qasim Abdullah ibn
Muhammad ibn Ali al-Baghdadi. dalam kapasitasnya sebagai ulama hadits para
ulama menilainya tsiqah.
Perannanya dalam sejarah
perkembangan hadits dan ilmu hadits, ia adalah orang yang pertama menyusun satu
ilmu Hadits secara lengkap sebagai suatu disiplin ilmu. Adapun hasil karyanya
terdapat sekitar lima belas buah, di antaranya ialah al-Muhaddits al-Fashil baina
ar-Rawi wa al-Wa’i, al-Falak fi Mukhtar al-Akbar wa al-Asghar, al-Ilal fi
al-Mukhtar al-Akhbar, dan Amtsal
an-Nabi[48].
IX. GLOSARIUM
Ada’ Menyampaikan
atau meriwayatkan kepada orang lain.
’Adil Orang-orang
yang meiliki sifat-sifat sempurna, baik yang berhubungan dengan keimanan,
ibadah maupun akhlaknya,s ehingga terpelihara keimanan dan ketaqwaannya, selalu
taat melaksanakan segala perintah-Nya dan menginggalkan yang dilarangnya-Nya,
selalu menjauhkan diri dari perbuatan dosa kecil, dan memelihara perbuatan yang
dapat menodai muru’ah. Dnegan sifat-sifat tersebut, sehingga periwayatnnya dapat
diterima.
Ahad Hadits yang
jumlah perawinya tidak sampia kepada jumlah mutawatir,
atau hadits yang memiliki jalan sanad kurang dari derajat mutawattir.
Ahadits Kata jamak
dari hadits.
Ahwali Hadits yang
berupa hal-ihwal Rasul SAW, seperti keadaan fisiknya, sifat-sifat serta
karakteristiknya.
Asanid Kata jamak
dari isnad.
Ashahhu al-Asanid Sanad-sanad
hadits yang paling tinggi kualitas keshahihannya.
Ashhab as-Sunan Para
ulama pengarang atau oenyusun kitab as-Sunan
(Abu Daud, at-Turmudzi, an-Nasa’i dan ibnu Majah).
Athraf (kitab) Kitab
penunjuk yang berisi bagian-bagian dari hadits yang menunjukkan letas sisanya.
Pada kitab terseut disebutkan sanad-sanadnya baiuk secara lengkap ataupun
tidak.
Athraf al-Hadits Bagian
dari hadits yang menunjukkan sisanya
Atsar Persamaan dari
kata hadits. menurut sebgian ulama Atras adalah sebutan untuk sesuatu yang
disandarkan pada sahabat
’Aziz Hadits yang
memiliki dua jalan sanad yang berlainan, atau hadits yang diriwayatkan oleh dua
orang dan diterima oleh dua orang pula
Bathil (Hadits)
Hadits yang tidak ada sumbernya sama sekali
Bayan Penjelasan
fungsi hadits terhadap al-Quran sebgai mubayyin
yang sekurang-kurangnya memilki tiga fungsi; yaitu bayan taqrir atau ta’kid, bayan tafsir atau tafshil dan bayan tasyri
Dhabit Perawi yang
kuat hafalannya terhadap apa yang telah didengarnya, kemudian mampu
menyampaikan atau mereporduksi hafalan tersebut kepada orang lainkapan saja
jika diperlukan
Dha’if Hadits yang
hilang syarat-syaratnya, atau salah satu syaratnya dari hadits shahih atau hasan
Dharuri Ilmu yang
wajib diyakini kebenarannya dan diamalkan kandungannya. hadits mutawatir merupakan salah satu yang
memberi faedah ilmu ini
Dirayah (ilmu) Sama
artinya dengan ilmu Masthalah al-Hadits,
ilmu Ushl Fiqh dan Ulum al-Hadits yaitu suatu ilmu
pengethuan atau kaidah-kaidah untuk mengetahui maqbul dan mardud suatu
hadits
Dzaith (li-dzatih)
Dengan sendirinya atau asli, kebalikan dari li-ghairih.
Istilah ini dipakai dalam pembagian hadits shahih
dan hasan, yaitu shahih lidzatih dan shahih li
ghairih serta hasan lidzatih dan hasan li ghairih
Fard Sama artinya
dnegan Garib. Hadits fard ialah hadits yang terdapat
penyendirian dalam sanad
Fi’li Hadits yang
berupa perbuatan atau perilaku Rasul SAW
Ghairih (li Ghairih)
Kewbalikan dari dzatih
Ghair Ma’mul bih
Hadits shahih yang tidak dapat
diamalkan, karena kedudukan hadits tersebut marjuh,
mansukh atau muitawaquf fih
Gharib lihat fard
Hadits Sesuatu yang
disandarkan pada Rasul SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau. Hadits dalam pengertian
yang luas mencakup segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in
Hafizh Penghafal
hadits, gelar hafizh diberikan kepada
muhaddits yang sangat kuat hafalannya
Hakim Ulama yang
menguasai seluruh hadits dari sudut matan
dan sanadnya, jarh dan ta’dilnya serta tarikh
Hammi Hadits yang
berupa hummah (keinginan kuat) Rasul
SAW, yang belum sempat terealisasikan
Hasan Hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang adil, kurnag kuat ingatannya dan bersambung
sanadnya
Hujjah Alasan atau
bukti yang dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan sesuatu
H.R. Hadits Riwayat
Ijazah Salah satu
cara periwayatan dan penerimaan hadits, dengan cara seorang guru memberikan
izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadiits atau kitab daripadanya
’Illat Suatu cacat dalam
hadits, yang berakibat hadits tersebut ditolak, seperti menyebut muttashil terhadap hadits yang
sebenarnya munqathi’
Isnad Menyandarkan
hadits atau mengembalikan hadits kepada asalnya, yakni kepada orang yang
mengatakannya
Ittishal as-sanad
Persambungan sanad dari sanad pertama sampai dengan yang terakhir
Jarh Cacat para perawi yang disebabkan oleh sesuatu yang
merusak nilai keadilan dan kedhabithannya. Ilmu al-jarh artinya ialah ilmu yang membahas tentang kecacatan para
perawi
Khabar Persamaan kata
dari hadits, ada ulama yang menyebutkan bahwa khabar adalah sebuutan untuk
sesuatu yang datang dari sahabat dan tabi’in
Kibar at-tabiin Para
tabi’in besar atau senior yang menerima hadits dari para sahabat
Kitabah Penulisan
hadits. Kegiatannya sudah dimulai oleh para sahabat sejak masa Rasul SAW,
meskipun baru bersifat perorangan
Kodifikasi Pembukuan
hadits (tadwin). Kegiatannya sudah
dimulai pada awal abad II Hijriah, atas perintah resmi khalifah Umar ibn Abdul
Aziz
Kualitas (hadits) Nilai
atau mutu hadits. Ada yang shahih
atau hasan, dan ada yang dha’if
Kuantitas (hadits) jumlah
susunan atau silsilah sanad atau perawi hadits
Kun-yah Nama gelar
atau julukan untuk para ulama yang terlibat dalam periwayatan hadits
Kutub kitab-kitab,
jamak dari kitab. Sebutan untuk
kitab-kitab hadits standar atau induk hasil pentadwinanpara ulama, seperti kutubas-sitah
atau kutb as-sab’ah
Lafzhi (periwayatan) Periwayatan terhadap
suatu hadits yang redaksinya sesuai dengan redaksi yang diterima dari Rasul SAW
Lafzhi (mutawatir) Hadits
yang mutawatir dari sudut lafazh dan
maknanya
Laqab lihat kun-yah
Liqa’ Pertemuan
seorang guru atau perawi hadits dengan murid atau penerimanya, ketika
meriwayatkan suatu hadits. bukti kejadian terjadinya pertemuan ini merupakan
syarat yang diajukan oleh Bukhari untuk menilai hadits itu bersambung atau
tidak
Ma’ajim Kitab-kitab Mu’jam, yaitu kitab-kitab hadits yang
disusun berdasarkan musnad sahabat,
nama-nama guru, atau daerah-daerah tertentu. Kata jamak dari mu’jam
Ma’mul bih Hadits shahih
yang dapat diamalkan
Ma’nawi (periwayatan) Periwayatan hadits yang redksinya tidak persis sama dengan yang disabdakan
Rasul SAW, tetapi maksud dan isisnya sama
Ma’nawi (mutawatir) Hadits ynag mutawatir dari sudut makna atau isi dan kandungannya saja, namun redaksinya
berbeda
Mathuthah Manuskrip
atau naskah tulisan tangan, buku cetakan
Majlis al-ilmi Tempat
Rasul SAW menyampaikan hadits-haditsnya kepada sabahat
Mansukh Hadits shahih yang ketentuan hukumnya dihapus
oleh hadits yang datang kemudian
Maqbul Hadits yang dapat diterima kehujjahannya, yakni hadits yang memenuhi
syarat-syarat shahih
Maqlub Hadits yang
tertukar datanya, baik pada redaksi matan
maupun anma sanadnya
Mardud Hadits yang
ditolak, karena tidak memenuhi syarat-syarat maqbul
Marfu’ hadits yang disandarkan
kepada Nabi, atau dengan kata lain, perkataan, perbuatan dan taqrir Rasul SAW
Marjuh Hadits shahih yang tidak dapat diamalkan,
karena kandungannya bertentangan dengan hadits yang lebih kuat atau lebih
tinggi derajat keshahihannya
Martabat Tingkatan
yang menunjukkan urutan kualitas hadits
Marwi Matan hadits yang diriwayatkan
Matan Lafaz-lafaz
hadits yang meliputi perkataan, perbuatan dan taqrir serta hal ihwal yang disandarkan kepada Rasul SAW
Masyhur Hadits yang
memiliki banyak jalan sanad, tetapi tidak sampai kepada derajat mutawatir
Maqthu’ Hadits yang
disandarkan kepada tabi’in. Dengan kata lain perbuiatan, perkataan dan taqrir tabi’in
Matruk Hadits yang
diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta atau nampak kefasikannya
Maudhu Hadits palsu
Mauquf Hadits yang
disandarkan kepada sahabat
Mayor (kaidah keshahihan sanad) Kaidah keshahihan sanad hadits
yang lima, sesuai dengan yang dipakai oleh ulama ahli hadits
Mu’asharah Hidup
sezaman atau semasa antara yang meriwayatkan hadits dengan yang menerimanya.
Bukti hidup sezaman ini diajukan oleh Muslim untuk melihat persambungan sanad hadits
Mubayyin Yang
menjelaskan, maksudnya ialah hadits Rasul SAW yang berfungsi sebagai penjelas
terhadap al-Quran. Lihat kaya bayan
Mudawwin orang yang
membukukan hadits
Mu’dhal Hadits yang
sanadnya gugur dua orang berturut-turut
Muhaddits Gelar untuk
ulama yang menguasai hadits baik dari sudut
ilmu riwayah maupun dirayahnya
Muhadditsin Kata
jamak dari muhaddits
Mukhtalif al-Hadits
Hadits-hadits yang semula tampak bertentangan tetapi kemudian dapat
dikompromikan
Munkar Hadits yang
diriwayatka oleh orang yang lemah, yang matannya
bertentangan dengan periwayatan orang kepercayaan
Munawalah Seorang
guru memberikan satu atau beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya
untuk diriwayatkan
Mursal Hadits yang
gugur sanadnya pada thabaqah sebelum
sahabat
Musnad Sebutan untuk suatu kumpulan hadits yang
diriwayatkan dengan menyebut sanadnya
Sebutan untuk suatu kitab yang menghimpu
hadits-hadits dengan sistem berdasarkan nama-nama sahabat
Hadits yang disandarkan kepada Rasul SAW (yang marfu’) dan bersambung sanadnya (yang muttashil)
Musnid Orang yang
meriwayatkan hadits dengan menyebut sanadnya
Mustafidh Hadits masyhur yang memiliki jumlah sanad pada tiap-tiap thabaqahnya seimbang atau sama persis
Musyafahah Penyampaian
hadits oleh Rasul SAW melalui sabdanya
Musyahadah Penyampaian
hadits oleh RaSUL SAW melalui perbuatan-perbuatannya yang disaksikan oleh para
sahabat
Mutabi’ Hadits
pendukung dari perawi lain yang lafaznya sama dengan yang didukung. Ada ulama
yang menyamakan dengan pengertian syahid
Mutafaq ’alaih Hadits
yang disepakati oleh bukhari dan Muslim
Mutawaquf fih hadits shahih yang tidak dapat diamalkan karen
adanya pertentangan dangan hasits shahih
lain yang antara keudanya tidak dapat dikompromikan
Nabawi (hadits) Hadits Rasul SAW. Istilah ini dipakai ketika
memperbandingkan antara hadits Nabi dengan hadits Qudsi
Nasikh (fungsi hadits) Fungsi bayan hadits yang
menghapus ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Quran
Qauli Hadits yang
berupa perkataan Rasul SAW
Qudsi (hadits) hadits
yang redaksinya dari Rasul SAW, akan tetapi makna dan maksudnya dari Allah SWT
Rabbani (hadits) Sama
dengan hadits qudsi dan ilahi
Rawi Orang yang
meriwayatkan, menyampaikan atau memberitakan hadits
Riwayah (ilmu) Ilmu
pengethuan yang mencakup segala yang disandarkan kepada Rasul SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan maupun taqrir
beliau
Riwayah Penyampaian
atau penukilan hadits
Rutbah Tingkat atau
derajat yang menunjukkan kualitas keshahihan
suatu hadits. Lihat martabat
as-Sabiqun al-Awwalun para sahabat yang paling pertama masuk Islam. Kelompok sahabat ini
tergolong sahabat yang banyak menrima hadits dari Rasul SAW
Sanad Sandaran
hadits, yang menghubungkan antara perawi kepad sumber hadits
Shahifah as-Shadiqah Sebutan untuk catatan-catatan hadits Rasul SAW milik Abdullah ibn Amr ibn
’Ash
Shahih Hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya,
tidak berillat dan tidak janggal
Shighar at-Tabi’in
Para tabi’in muda atau junior yang menerima hadits dari para sahabat
Sima’i Suatu cara
penerimaan hadits dengan mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya, baik
dengan cara didiktekan atau buka, baik dari hafalan atau tulisan
Sunnah Sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW baik perkataan, perbuatan, taqrir, sifat dan lain-lainya baik sebelum beliau diangkat menjadi
rasul ataupun sesudahnya
Syadz Kejanggalan
pada hadits karena matannya
bertentangan dengan hadits shahih
yang kualitasnya lebih tinggi
Syahid Hadits pendukung
atau penguat dari perawi lain, yang makna atau maksudnya sama dengan yang
didukung atau yang dikuatkan. Lihat mutabi’
Ta’dil Menyifatkan
atau membersihkan perawi dengan sifat-sifat yang membersihkan dirinya dari
hal-hal yang mencacatkannya.
Tadwin Pembukuan atau kodifikasi hadits
Tadlis menyembunyikan
nama perawi hadits dalam periwayatan karena adanya cacat pada orang tersebut
Tahammul al-Hadits
Penerimaan hadits dari orang lain dengan menggunakan cara-cara tertentu
Ta’kid Fungsi hadits
yang menguatkan isi kandungan al-Quran, sama artinya dengan fungsi taqrir
Takhrij petunjuk
tentang tempat atau letak hadits pada sumber aslinya, dengan menyebutkan sanadnya, kemudian dijelaskan kualitas
hadits tersebut manakala diperlukan
Takhshish Kata yang
menunjuk arti khusus atau tertentu. Salah satu fungsi hadits, adalah mentakhshish al-Quran, artinya membatasi
keumuman ayat al-Quran
Taqyid Kata yang
menunjuk sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Fungsi hadits mentaqyid kemutlakan al-Quran, artinya
membatasi ayat-ayat al-Quran yang menunjuk kepada arti muthlaq degan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu
Taqriri Hadits yang
berupa ketetapan Rasul SAW dengan cara mendiamkan terhadap apa yang dilakukan
oleh sahabat, padahal Rasul menyaksikannya
Taqrir (fungsi hadits) Lihat ta’kid
Targhib Kandungan
hadits yang berupa anjuran untuk berbuat kebajikan
Tashnif Sistem
penyusunan kitab hadits dengan sistematika fiqh
Taufiq Kompromi atau
penyesuaian. Penyelesaian dua hadits yang nampak bertentangan melalui jalan kompromi
atau penyesuaian di antara keduanya sehingga kedua hadits tersebut dapat
diamalkan
Thabaqah Tingkatan
atau kurundalam periwayatan hadits, speerti thabaqah
sahabat, thabaqah tabi’in dan
seterusnya
Tsiqah Perawi hadits
kepercayaan, artinya perawi yang memiliki kriteria adili dan dhabith
’Udul Kata jamak dari
’adil. Lihat ’adil
X. PENUTUP
As-Sunnah an-Nabawiyyah
merupakan sumber terpelihara kedua sebagai pembimbing kaum muslim atau rujukan
utama setelah al-Quran, di bidang hukum, peradilan, fiqh, muamalah, muhakayat, dakwah,
tarbiyah, penyuluhan, dan lain-lain.
Melihat bahwa Nabi sangat
memperhatikan situasi sosila budaya dan suasana psikologis sahabat yang menjadi
sasaran ucapan Nabi, maka sudah seharusnya pendekatan kontekstual atas hadits
Nabi terus dikembangkan. Tetapi ini hanya terdapat pada sebagian hadits Nabi
yang dipahami secara tekstual terasa tidak komunikatif lagi dengan zaman.
Sedangkan terhadap sebagian yang lain lagi dapat dilakukan dengan pemahaman
tekstual. Pemahaman hadits secara tekstual ini dilakukan bila hadits
bersangkutan setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya,
seperti asbabul wururd, tetap menuntut pemahamans esuai dengan apa yang
tertulis dalam teks hadits tersebut.
Hadits diucapkan Nabi relevan
dengan ruang dan waktu, baik itu dari segi sosial budaya maupun alam
lingkungan. Dari sisni pemahaman sebuah kata pun haruslah dalam waktu dan ruang
dimana hadits itu diucapkanm, meskipun kata itu dalam ruang dan waktu pembaca
atau penafsir sering dipakai dengan makna yang lebih luas. Artinya sebuah kata
tidak diberi muatan makna yang terlalu jauh melampaui masanya. Sebagai contoh,
kata tashwir yang disebut dalam
hadits, tidaklah dapat diberi makna dengan gambar hasil pemotretan. Kata ini
lebih tepat jika diartikan hanya sebatas karya lukisan atau pahatan. Sebab kata
tersebit dalam konteks masyarakat Arab awal, pemotretan belum ada bahka belum
terlintas di benak mereka. Kalaupun kata tashwir
atau shurah untuk konteks sekarang
juga bermakna hasil karya fotografi, itu tak lain perkembangan kemudian makna
sebuah kata.
Analisis konteks-redaksional
akan memberikan perspektif baru tentang semangat teks secara keseluruhan yang
pada gilkirannya akan memberikan pemahaman tentang maksud atau tujuan (madlu/hadaf) yang terkandung dalam
sebuah hadits. Bahwa di sana disebutkan media (wshilah) sebagai wadah bagi terwujudnya tujuan adalah hal yang
wajar. Tiba di sini, kita harus melakukan pemahaman yang bersifat folisofis,
yakni menarik tujuan atau maksud sebuah ucapan Rasul.
Untuk itu maksud atau tujuan
yang diinginkan dengan meida haruslah dibedakan dengan jelas. ini disebabkan
karena tujuan atau maksud merupakan realitas yang bersifat statis dan
universal. Tetapi media senantiasa terus berkembang. Dari sini, maka yang harus
dijadikan pegangan adalah tujuan dan maksud yang dikandung sebuah hadits,
karena media merupakan pendukung bagi tercapainya sebuah maksud.
Maka untuk berfungsi sebagai
sebuah sumber hukum, as-Sunnah harus dipahami dengan sebaik-baiknya. Dna
tentunya hal ini harus didukung dengan pemahaman, pangamatan, dan penelitian
yang mendalam dan menyeluruh. Sebuha hadits dapat dipahami secara tekstual
yaitu secara lahiriah berdasarkan bunyi teks yang tertulis dalam hadits dan ada
pula hadits yang dipahami secara kontekstual yaitu tidak hanya melihat dari
redaksi haditsnya, tetapi juga dengan unsur-unsur pendukungnya seperti asbabul
wurud, adapt kebiasaan dan kondisi situasi yang berkembang ketika hadits
tersebut dikeluarkan oleh Rasulullah SAW.
Walaupun ada dua cara dalam
memahami hadits, tetapi tidak bisa saling mengurangi. Artinya, baik hadits
tekstual maupun kontekstual saling mendukung dan berkaitan. Sebab hadits
tekstual mempunyai nilai historis yang tinggi yaitu sebab-musabab (asbabul
wurud) mengapa suatu hadits bisa ada. Sementara hadits mencoba memahaminya dari
segi perkembangan peradaban manusia sperti kemajuan teknologi. kepadatan
penduduk, pendidikan, sosial, ekonomi bahkan sampai pada ranah politik. Tentu
saj atidak keluar dari koridor aturan yang sudah pasti dalam hukum Islam. Jadi
boleh saja sebuah hadits dipahami dari aspek-aspek tersebut di atas asalkan
tidak meninggalkan hadits tekstualnya.
Segala ucapan nabi, khususnya
yang dilontarkan pad umatnya tidaklah sama seperti orang biasa mengucapkan.
sebab beliau berbicara tidak atas kemauannya sendiri, tetapi mendapatkan
bimbingan dari Allah SWT. Kalimat yang diucapkan bisa jadi mempunyai perkiraan
yang mendalam, bisa masa sekarang, dan tidak menutup kemungkinan pada masa
mendatang baru dapat dilakukan. Nabi Muhamamd sangat memperhatikan situasi
sosial budaya dan psikologis sahabat. jadi pengebangan hadits kontekstual bisa
terus dikembangkan. Apalagi seperti zaman sekarang, kemajuan teknologimembuat
terjadinya pergeseran nilai-nilai hidup manusia menjadi lebih kompleks, yang
pada gilirannya mereka mencari jawaban terutama jika sudah menyangkut masalah
hukum. Namun, begitu sekali lagi ditegaskan, memahami hadits secara kontekstual
bisa dilakukan terhadap hadits yang dipahami secara tekstual erasa kurang
komunikatif dengan zaman. Sedangkan yang lainnya masih bisa dipahami dengan
cara tekstual tentu saja harus dipertahankan. Sebab asbabul wurul memegang
peranan penting di samping mengandung
nilai historis tertinggi tetapi juga banyak aspek ibadah di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
·
Hassan A, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung , CV. Diponegoro,
1980
·
Qardhawi, Yusuf, Dr, Bagaimana Kita memahami Hadits Nabi
(diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dari Kaifa Nata’malu Ma’a as-Sunnah
as-Nabawiyyah), Bandung ,
Karisma, 1999, Cet.I
·
Qardhawi, Yusuf, Dr, Bagaimana Kita memahami Hadits Nabi
(diterjemahkan oleh Dr. Hoda Muhsin dan Dr. Jawiyah Dakir dari Kaifa Nata’malu
as-Sunnah an-Nabawiyyah), Selangor, Budaya Ilmu SDN.BHD, 1996, Cet.II
·
Qardhawi, Yusuf, Najiyullah
Ctc, Kajian Kritis Pemahaman Hadits, Jakarta , Islamina Press,
1994
·
Al-Bayani. Nasiruddin, Jam’i Shaghir, Beirut , Al-Islami, 1990
·
Muh. Nasyiruddin al-Bayani, Jami’i Shaghir, Beirut, Al-Islami, 1977
·
Al-Ghazali, Syeikh Muhammad, al-Fiqh wa al-Hadits, Kairo, Dar. Asy-Sayuqi, 1989
·
Syihab, Quraisy, Pengantar Studi Kritis Atas Hadits Nabi SAW Antara Pemahaman Tekstual
dan Kontekstual, Jakarta, Mizan, 1989
·
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya,
Jakarta, yayasan penerjemah Al-Quran, 1971
·
Ar-Ramahurmuzi, al-Mahadits al-Tasib baina ar-Rawi, Beirut, dar al-Fikri
·
Al-A’zami, Muhammad Musthafa, Dirasah fi al-Hadits an-Nabwi wa Tarikh Tadwinih, Riyadh, Jama’ah
·
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, al-Ishabah fi Tamyizi as-Shahabah, Beirut, Dar al-Fikri, 1978
·
Al-Bukhari, at-Tarikh
al-Kabir, India, Heiderabad
·
al-Asqalani, Ibnu Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Beirut, Dar al-Fikri, 1984
·
Ranuwijaya, Untung, Ilmu Hadits, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1996
·
Departemen Pendidikan, kamus Besar Bahsa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996
[1] A. Najiyullah Ctc, Kajian Kritik HAdits
Pemahaman Hadits, Jakarta, Islamia Press, 1994, hal. 10
[2]
A-Najiyullah Ctc, Op. Cit, jal. 11
[3] A
Najiyullah Ctc, Op. Cit, hal. 12
[4] Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996, hal. 522
[5] Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa
Syariah, kairo, Dar al-Arqam, 1995, hal. 513
[6] Muhammad
ibn Idris al-Syafi’ie, al-Filsafat, Beirut ,
Dar al-Fikri, 1988, hal. 213
[7] Muhammad
Yusuf al-Baqir, Bagaimana Kita Memahami Hadits Nabi (terjemahan DR. Yusuf
al-Qardhawi), Bandung ,
Karisma, hal. 14
[8] Muhammad
Yusuf al-Baqir, Op. Cit, hal. 15
[9] A. Najiyullah, Op. Cit, hal. 201
[10] A. Najiyullah. Op. Cit, hal. 202
[11] Muhammad al-Ghazali, Op. Cit, hal. 13
[12]
As-Suyuti, Jalal ad-Din Abd. Rahman ibn Abi Bakr, al-Jumi as-Saqir
[13] ar-Ramahurmuzi,
al-Muhaddis al-fasil baina ar-Rawi wa al-wa’I, Dar al-Fikr, Beirut
[14] Quraisy
Syihab, Op. Cit., hal. 10
[15] Quraisy
Syihab, Op. Cit., hal. 10
[16] Quraisy
Syihab, Op. Cit., hal. 10
[17] Syeikh Muhammad al-Ghazali, Op. Cit, hal.
8
[18] Syeikh Muhammad al-Ghazali, Al-Fiqh wa al-Hadits (terjemahan),
Kairo, Dar Asy-Syuruq, 1989
[19] Quraish Shihab, Pengantar Study Kritik
Hadits abi SAW Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Jakarta , Mizan,
1989, hal. 8
[20] Quraisy
Syihab, Op. Cit., hal. 9
[21]
Muhammad Musthafa al-A’zami, Dirasah fi al-Hadits an-Nabawi wa Tarikh Tadwinih,
Jama’ah Riyadh, hal. 96
[22] Ibn
Hajar al-Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiz
as-Sahabah (untuk selanjutnya disebut dengan Ibn Hajar al-Asqalani,
al-Ishabah), Dar al-Fikr, Beirut ,
1978, No. 1179
[23] Muhammad al-A’zami, op. cit. hal. 96-99
[24] Muhammad Musthafa al-A’zami, op. cit.,
hal. 119, dan Ibn Sa’ad, ath-Thaqabah
al-Kabir, jilid IV, Leden, 1940, hal. 137
[25] Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib (selanjutnya disebut
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib), jilid
V, Dar al-Fikr, Beirut, 1984, hal. 288
[26] Ibn Hajar al-Asqalani, al-Ishabah, op. cit,. no. 4825
[27] Al-Bukhari, at-Tarikh al-Kabir, jilid I, Heiderabad, India, 1361, hal. 325, dan
Muhammad Musthafa al-A’zami, op. cit,. hal. 120
[28] Ibn Hajar al-Asqalani, al-Ishabah, op. cit., no. 277
[29] Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib I, op. cit., hal. 329-330
[30] Drs. Untung Ranuwijaya, Ilmu Hadits,
Jakarta, Gaya Media Pratama, 1996, hal. 201
[31] Drs. Untung Hanuwijaya, Ibid, hal. 201
[32] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit., hal.
202
[33] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit., hal. 203
[34]
Ibid, hal. 204
[35] Drs.
Untung Ranuwijaya, Op. Cit., hal. 204
[36] Ibid,
hal. 204
[37] Ibid,
hal. 204
[38] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit.,
hal. 205
[39] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit.,
hal. 206
[40] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit.,
hal. 207
[41] Op. Cit., hal. 208
[42] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit.,
hal. 209
[43] Drs. Untung Ranuwijaya, Ibid., hal.
209
[44] Drs. Untung Ranuwijaya, Ibid., hal.
209
[45] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit.,
hal. 210
[47] Drs. Untung Ranuwijaya, Op. Cit.,
hal. 211
[48] Drs. Untung Ranuwijaya, Ibid., hal. 211
Tidak ada komentar:
Posting Komentar