Minggu, 08 Juli 2012

ISLAM DAN DEMOKRASI


Islam, Demokrasi dan Kultur Politik



Hubungan Islam dan demokrasi msih menjadi tema yan menarik dan belum tuntas. Wacana yang berkembang lebih banyak pro-kontranya daripada penerapan atau formalisasi syari’at Islam.

Faktor utama yang menyebabkan perdebatan formalisasi syariat Islam berjalan di tempat. Baik pada pandangan yang pro maupun kontra terjebak pada argumentasi-argumentasi yang umum(generic). Landasan argument yang generic ini akan menghadapi persoalan serius manakala dibenturkan dengan masalah-masalah particular, seperti syariat sebagaimana dipahami siapa yang akan diterapkan, bagaimana model negara Isla, masih relevankah konsep fiqh siyasah yang dirumuskan al-Mawardi, Ibn Taimiyah untuk dipergunakan saat ini dans seterusnya.

Bagaimana formulasi Islam tentang demokrasi. Untuk kita di Indonesia, demokrasi masih merupakan satu agenda politik yang masih sering diperdebatkan.

Seperti dapat diterima atau masih dapat diperjuangkan dalam kehidupan politik Indonesia?

Dari perspektif yang lebih luas, yaitu demokrasi yang ditandai dengan adanya kebebasan di negara-negara berkembang. Ini menarik dicermati, karena tuntutan demokratisasi muncul seiring dengan kebangkitan agama-agama dalam konteks global yang dinamis. Orang beramai-ramai menyerukan kebangkitan agama dan demokratisasi, sehingga keduanya menjadi tema penting dalam persoalan dunia dewasa ini.

Dalam knteks Islam, kecenderungan global yang disebut Huntington sebagai ‘gelombang demokratisasi ketiga’ memunculkan pertanyaan sendiri. Khususnya negara dunia ketiga yang mengalami perkembangan demokrasi, tetapi negara dunia Islam tidak memperlihatkan tanda-tanda kea rah itu.

Para sarjana Muslim membagi Islam dan Demokrasi, yaitu: (1). Islam dan Demokrasi dipandang sebagai dua sistem politik yang berbeda, Islam dan Demokrasi bersifat eksklusif, Islam merupakan sistem politik sempurna untuk dijadikan alternative terhadap Demokrasi. (2). Islam berbeda dengan Demokrasi sebagaimana dipraktekan di Barat, Islam sebagai sistem politik dalam Demokrasi Substantif, yaitu demokrasi yang dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan dengan prinsisp mayoritarian. (3). Islam dipandang sebagai suatu sistem nilai yang akomodatif terhadap Demokrasi yang didefinisikan dan dipraktekkan secara prosedural. Kendati demikian pandangan-pandangan ini belum terwujud dengan baik dai dalam masyarakat Muslim.

Berdasarkan data index kebebasan yang dikeluarkan oleh Freedom House (1998), ditemukan bahwa selama 25 tahun terakhir, negara-negara Muslim di dunia yang berjumlah 48 negara umumnya gagal untuk membentuk suatu politik demokratis. Selama periode itu, hanya ada satu negara Muslim yang berhasil membentuk demokrasi sepenuhnya selama lebih dari lima tahun, yaitu Mali. Negara semi-demokrasi berjumlah 12 negara. Sisanya adalah negara otoritarian. Bahkan mayoritas rezim-rezim yang represif di dunia pada akhir 90-an adalah negara-negara Muslim.

Dibandingkan dengan rezim negara-negara non-Muslim, tidak adanya Demokrasi di dunia Muslim adalah sangat signifikan. Sebagai salah satu contoh kasus adalah negara pecahan Uni Soviet. Diantaranya ada enam negara dengan penduduk mayoritas Muslim: Azerbaijan, Katzakistan, Kirgistan, Turmenistan, Tajikistan dan Uzbekistan. Negara-negara Muslim ini telah muncul sebagia negara otoritarian baru, sementara negara-negara lain menjadi lebih demokratis. Cyprus juga menyuguhkan fenomena menarik. Negara ini dibagi menjadi Cyprus Yunani dan Cyprus Turki, dengan tingkat kedemokrasian yang berbeda. Cyprus Yunani lebih demokratis daripada Cyprus Turki.

Banyak hal yang betanggungjawab atas tidak bekerjanya demokrasi di Dunia Islam. Salah satunya yang paling penting adalah lemahm\nya kultur politik dinegara-negara tersebut. Kultur politik ini berkaitan dengan orientasi psikologis terhadap objek sosial, atau sikap individu terhadap sistem politik dan terhadap dirinya sebagai actor politik.

Ditilik dari sejarah adan tradisi Islam, kita mencatat tidak berkembangnya wacana kewargaan(citizenship). Bahkan di dalam bahasa Arab, Persia dan turki tidak ada kata yang tepat yang dapat mewakili kata warga(citizen). Kata yang sebada dengan kata tersebut yang biasa digunakan dalam setiap bahasa hanya berarti penduduk(sukkan) dan gembalaan(ra’iyah) yang kemudian di-Indonesia-kan menjadi kata rakyat. Kata tersebut tidak mewakili kata citizen yang berasal dari kata civis dan telah menjadi kebijakan politik Yunani yang berarti “seseorang yang ikut serta dalam masalah-masalah kebijakan politik pemerintah”. Kata ini(citizen) tidak ada dalam bahasa Arab ataupun bahasa Dunia Muslim lainnya disebabkan tidak dikenalnya pemikiran atau ide “warga ikut serta dalam kebijakan olitik”.

Oleh karena itu, tugas utama dalam rangka to make democracy work adalah menumbuhkembangkan kultur politik yang menyokong perkembangan demokrasi di Tanah Air. Sebab manusia bukanlah sekedar individu yang ‘digembalakan’ namun sebagai warga negara yang mempunyai hak-hak demokrasi terutama hak untuk memilih, mengawasi dan menurunkan pemerintahan, di samping hak untuk bebas berpikir berkespresi, mengutarakan pendapat, berkumpul, mendirikan partai, berasosiasi dan berorganisasi, hak mendapatkan pendidikan, pekerjaan, kesetaraan, persamaan kesempatan, dan sebagainya.



DEFISIT DEMOKRASI DI DUNIA ISLAM

Perbincangan tentang Islam dan Demokrasi telah mulai mendapat tempat signifikan dalam pemikiran politik Islam modern. Dlam upaya untuk menemukan suatu basis ideologis yang diterima oleh semua kalangan masyarakat muslim mulai merambah misi bari untuk merekonsiliasi perbedaan-perbedaan antara berbagai kelompok politik.

Lewat tulisan yang didasarkan pada hipotesis bahwa Islam dan Demokrasi saling memperkuat ini. penulis bermaksud menkaji titik temu antara ISalm dan Demokrasi. Ada dua hal yang menjadi fokus kajian. Petama berkaitan dengan elemen-elemen fonomologis yang mengandung perdebatan apakah Islam cocok dengan Deokrasi atau tidak. Kedua, berkaitan dengan akar-akar demokrasi dalam pengalaman Islam.

Bagi sebagian kalangan, terutama dari kalangan kademis dan dunai Barat, wacana mutakhir tentang Islam memuncukan keraguan seruis mengenai kompatabilitas Islam dan demokrasi. Alasan yang kerap dikemukakakn adalah kaum revivalis Muslim punya kelemahan dalam hal komitmen mereka terhadap pluralisme demokrasi. Akibatnya negara-negara dunia Islam selalu gagal dalam upaya membentuk suatu sistem politik demokratis.



DEMOKRASI PANCASILA

Demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan cratos yang berarti pemerintahan. Demokrasi berarti Pemertintahan Rakyat, yakni dari, dengan dan untuk rakyat.

kata Demokrasi dewasa ini telah mengalami distorsi dalam penggunaannyam di mana negara-negara yang menamakan dirinya negara demokrasi, dalam kenyataannya menerapkan mekanika dan struktur politik yang berbeda.

Dalam hal tersebut dapat diambil contoh Uni Soviet, yang menakaman dirinya sebagai negara demokrasi. Namun penerapan mekanisme politiknya menjadi sentralisme, karena hanya terdapat satu partai dalam satu negara. Dus demokrasi di sini berdasar mayoritas atas minoritas, darimpermulaan dulu yang memperoleh kursi mutlak dalam pemilu atau melalui jalan revolusi.

Amerika Serikat juga menamakan dirinya sebagai negara demokrasi. Namun di sna tidak terdapat demokrasi ekonomi, melainkan corak sistem perekonomiannya bersifat liberal., sedangkan demokrasi sosialnya agak menipis. Di negara-negara Eropa Barat misalnya, yang biasanya diilhami oleh penerapan liberalisme di bidang politik, timbyl berbagai partai politik dalam  negara., di mana negara-negara ini pun menamakan dirinya sebagai negara demokratis. Hampir saja Indonesia terperosok pada demokrasi liberal ala Eropa Barat, dan terperosok pula oleh demokrasi sentralisme versi Nasakom.

Tetapi Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tahu akan harga diri, di mana nilai-nilai budaya bangsa masih segar dalam sanubari bangsa Indonesia yang turun temurun, maka Indonesia yang dikemudi oleh para pengemudi yang salah arah itu dapat diakhiri. Hasilnya kita dapat menemukan kebali kepribadian kita, terutama dalam hal ketatanegaraan, dengan penerapan sistem pemerintahan rakyat yang sesuai situasi, kndisi dan kepribadian yang turun temurun yakni Demokrasi Pancasila. Pancasila bagi bangsa Indonesia telah berada dalam sanubari bangsa Indonesia, berurat berakar sebagai pandangan hidup, sebagai weltanschauung bangsa, sebagai ideology pemersatu bangsa, sebagai pegangan dan pedoman hidup bangsa, sebagi sikap mental dan moral bangsa. Pancasila bagaikan mutiara-mutiara yang terpendam beratus tahun lamanya, yang kemudian dapat ditemukan kembali pada 1945 oleh putra-putra Indonesia yang terhimpun dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Dengan melihat kenyataan negara-negara yang menganut paham demokrasi, baik meraka yang mengelompkkan diri sebagai blok barat atau timur, namun bangsa Indonesia dapat menemukan sendiri sistem pemerintahan rakyatnya yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang turun temurun sejak zaman dahulu.

Untuk mengerti Demokrasi Pancasila, maka sebagai bahan pelajaran untuk mempelajarinya lebih jauh tertuang dalam bahan-bahan pokok di bawah ini;

Pembukaan UUD 1945 antara lain berisi

-          Negara Republik Indonesia yang berkadaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

-          Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

-          Pokok ketiga yang terkandung dalam “Pembukaan” ialah negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas permusyawaratan/perwakilan.

Menurut mantan Presiden Soeharto, “Demokrasi yang kita jalankan adalah ‘Demokrasi Pancasila’ yang norma-norma pokokny, hukum-hukum dasarnya telah diatur dalam UUD 1945”.



ISLAM DAN DEMOKRASI PENGALAMAN EMPIRIK YANG TERBATAS

Seperti yang sudah diungkapkan banyak kalangan, termasuk di dalamnya Abd. al-Laah Yusuf Ali di dalam The Holy Quran serta Munawir Syadzali(1991), walaupun begitu dikatakan pengalaman empiric demokrasi dalam Islam sangatlah terbatas, ketika masa Pemerintahan Rasulullah sendiri yang kemudian dilanjutkan oleh keempat sahabatnya, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali ibn Abi Thalib, yang dikenal dengan zaman khulafa al-Rasyidin. Setelah pemerintahan keempat sahabat tersebut menurut catatan sejarah sangat sulit kita temukan demokrasi Islam secara empiric sampai dengan sekarang ini.

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


I. PENDAHULUAN



Mempelajari Filsafat Pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematis, logis dan menyeluruh tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan Agama Islam saja, melainkan menuntuk kepada kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Pemikiran falsafiyah pada hakikatnya adalah suaha menggerakkan semua potensi psikologis manusia seperti pikiran, kecerdasan, kemauan, perasaaan, ingatan serta pengamtan panca indra tentang gejala kehidupan terutama manusia dan alam sekitarnya sebagai ciptaan Tuhan. Proses pemikiran tersebut didasari teori-teoiri pelbagai disiplin ilmu dan pengalaman yang mendalam tentang kehidupan alam raya dan dalam dirinya sendiri.

Filsafat Pendidikan Islam secara umum akaj mengkaji berbagai masalah yang terdapat dalam bidang pendidikan,  ulai dari manusia yang akan dididik, tujuan pendidikan, guru, anak didik, kuriukulum, dan metode sampai dengan evaluasi dalam pendidikan secara filosofis. Dengan kata lain, ilmu ini akan mencoba mepergunakan jasa pemikiran filosof, yaitu pemikiran yang sistematis, logis, radikal, universal dan objektif terhadap berbagai masalah yang terdapat dalam pendidikan itu sendiri. Masih banyak pakar pendidikan muslim yang belum memperbuatkan pemikirannya. Para filosof muslim seperti al-Ghazali, ibn Khaldun, Ikhwan Mustafa yang demikian pula di Indonesia. Mereka banyak menghasilkan pemikiran kependidikan Islam dan telah teruji kemampuannya. Inilah salah satu tugas kita, terutama mereka yang mempunyai perhatian tinggi terhadap kemajuan pendidikan Islam. Sayangnya konsep dan pamikiran itu dimannfaatkan oleh orang lain, yang bisa jadi akan menghambat kemajuan dan pengembangan dunia Pendidikan Islam itu sendiri baik dalam segi materi maupun moral.



II. PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM



Menurut Drs. Ahmad D. Marimba, pendidikan islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam. Dengan pengertian lain, seringkali beliau mengatakan bahwa kepribadian utama tersebut dengan istilah kepribadian muslim, yakni kepribadian yang memiliki nilai-niali agama Islam, emmilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam

Menurut Abdur Tahman Nahlawi, pendidikan Islam adalah pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga dapat memeluk agama Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kelompok.

Sedangkan menurut Drs. Burlian Shamad, pendidikan Islam ialah pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri derajat tinggi menurut ukuran Allah dan sisi pendidikannya untuk mewujudkan pendidikan itu baru dapat disebut pendidikan Islam apabila memiliki dua ciri khas (1) Tujuan untuk memmbentuk individu yang bercorak diri tertinggi menurut al-Quran; (2) Isi pendidikannya adalah ajaran Allah yang tercantum di dalam al-Quran, dan pelaksanaannya merujuk pada kehidupoan keseharian Nabi Muhammad SAW[1].

Dari uraian di atas dapat diambil kesimulan bahwa para ahli pendidik Islam berbeda pendapat mengenai rumusan pendidikan Islam. Ada yang menitikberatkan pada segi pembentukan akhlak, ada pula yang menuntut pendidikan teori dan praktek, dans ebagian lagi menghendaki terwujudnya kepribadian msulim dan lain-lain. Perbedaan tersebut terjadi diakibatkan oleh hal yang pentingnya dari masing-masing ahli. Namun dari perbedaan pendapat tersebut terdapat titik kesamaan yang secara ringkas dapat disimpulkan sebagai Pendidikan Islam ialah bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim.

Oleh karena itu, pendidikan Islam merupakan sekaligus pendidikan amal. Dan karena ajaran Islam berisi tentang ajaran sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka orang pertama yang bertugas mendidik masyarakat adalah para nabi dan Rasul, selanjutnya para Ulama dan cendikiawan sebagai penerus tugas dan kewajiban mereka.



III. PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DAN TUJUANNYA



Sebagaimana diketauhi bahwa manusia adalah khalifah di alam ini. Mendapat wewenang untuk melaksanakan tugasnya yaitu mengelola dan memelihara untuk kepentingan manusia itu sendiri. Dengan demikian, pendidikan merupakan urusan hidup dan kehidupan manusia, dan sekaligusmerupakan tanggung jawab manusia itu sendiri.

Filsafat Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan ajaran Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam sebagai hamba Allah[2].

Untuk mendidik pertama-tasma manusia harus memahami dirinya sendiri. Apa hakikat hadup, tujuan dan apa pula tugas hidupnya. Berikutnya manusia berhadapan dengan alam dan lingkungannya. Manusia hidup bersama dengan hasil cipta rasa dan karsanya. Semuanya terus berkembang sehingga nilai kehidupan berubah. Di sinilah manusia dituntut untuk mengikuti perkembangan dan jangan sampai tertinggal, pendidikan menjadi pilihan yang tidak dapat ditolak.

Pertanyaan-pertanyaan tentang berbagai masalah hidup dan kehidupan manusia sebagaimana dikemukakan di atas memang merupakan tantangan bagi manusia untuk menjawab. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hakiki tersebut, akan menjadi dasar pelaksanaan dan praktek pendidikan. Ketetapan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mampu merumuskan tujuan pendidikan secara tepat, dan hal ini akan mengarahkan usaha-usaha kependidikan yang tepat pula. Di sinilahletak peranan filsafat pendidikan.

Perkembangan (pemikiran) fisafat dalam dunai Islam, telah menghasilkan berbagai macam alternatif jawaban terhadaap berbagai macam pertanyaan hakiki problema hidup dan kehidupan manusia. Pertanyaan tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tentang keyakinan dan kepercayaan hidup, telah memunculkan Ilmu Kalam. Pertanyaan tentang kembali kepada Tuhan, menghasilkan Imu Tasawwuf. Pertanyaan bagaimana melaksanakan ibadah dan syariat engan benar baik ilmu fiqh.

Ilmu-ilmu tersebut berhasil dikembangkan dalam dunia Islam, dengan menggunakan metode yang khas Islami, yaitu metode ijtihad. Ijtihad adalah menggunakan segenap daya akal dan potensi manusiawi lainnya untuk mencari kebenaran dan dan mengambil kebijaksanaan dengan bimbingan al-Quran dan Sunnah Nabi SAW. Musthafa Abdul al-Raziq menyatakan bahwa ijtihad dengan menggunakan daya kemampuan akal merupakan dasar dari terbentuknya pola pikir rasional[3].

Metode ijtihad sebagai metode khas filsafat Islam memang telah mengalamu perkembangan dan para ulama serta filosof Islam menggunakannya secara bervariasi. Dengan demikian filsafat Islam dapat diartikan sebagai studi tentang pandangan filosofos dari sistem dan aliran filsafat dalam Islam terhadap maslaah-masalah kependidikan dan bagaimanapengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia muslim dan umat Islam.



IV. RUANG LINGKUP FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



Jika diamati secara seksama, penjelasan mengenai ruang lingkup filsafat pendidikan Islam telah diakui sebagai sebuah disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa sumber bacaan, khususnya buku yang menginformasikan hasil penelitian tentang filsafat pendidikan Islam. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mau tidak mau filsafat pendidikan Islam harus menunjukkan dengan jelas mengenai bidang kajiannya atau cakupan pembahasannya.

Dalam hubungannya dengan hal di atas, kembali dijumpai pendapat Muzayyin Arifin yang menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik, logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain[4]. Pendapat ini memeberi petunjuk bahwa ruang lingkup filsafat pendidikan islamadalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, guru, kurikulum, metode dan lingkungan. Bagaimanakah semua masalah tersebut disusun, tentu saja harus ada pemikiran yang melatarbelakangi. Pemikiran yang melatarbelakanginya disebut filsafat pendidikan Islam. Karena itu dalam mengkaji filsafat pendidikan islam seseorang akan diajak untuk memahami konsep tujuan pendidikan, konsep guru yang baik, konsep kurikulum dan seterusnya yang dilakukan secara mendalam, sistematik, logis, radikal dan universal berdasarkan tuntunan ajaran islam, khususnya berdasarkan al-Quran dan al-Hadits. Dalam hubungan ini, seseorang yang mengkaji filsafat dan pendidikan pada umumnya, juga perlu menguasai secara mendalam kanudngan al-Quran dan al-hadits dalam hubungannya dengan membangun pemikiran filsafat pendidikan Islam. Dengan kata lain seorang pemikir filsafat pendidikan islam adalah orang yang menguasai dan manyukai filsafat dan pendidikan secara mendalam, juga sekaligus harus berjiwa Islami[5].

Dengan demikian, secara umum ruang lingkup pembahasan filsafat pendidikan islam ini adalah pemikiran yang serba mendalam, mendasar, sistematis, terpadu, logis dan universal mengenai konsep-konsep yang berkaitan dengan pendidikan atas dasar ajaran Islam. Konsep-konsep tersebut mulai dari perumusan tujuan pendidkan, kurikulum, guru, metode, lingkungan dan seterusnya.

Secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia utuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian bagaimanapun sederhananya peradaban masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Oleh karen itu sering dinyatakan bahwa pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia. Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia untuk melestarikan kehidupannya[6].

Dalam buku Modern Philosophies of Education (Fourth Edition), John S. Brubacher mengemukakan bahwa pendidikan sebagai proses timbal balik dari tiap pribadi mansia dalam penyesuaian dirinya dengan alam, dengan sesama, dan sengan alam semesta. Pendidikan juga merupakan perkembangan yang terorganisasi dan kelengkapan dari semua potensi manusia, moral, intelektual dan fisik, oleh dan untuk kepribadian individunya dan kegunaan masyarakatnya yang diharapkan demi menghimpun semua aktivitas tersebut bagi tujujan hidupnya (tujuan akhir). Pendidikan adalah proses di mana potensi-potensi manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan agar disempurnakan oleh kebiasaan-kebiasaan yang baik, oleh alat/media yang disusun sedemikian rupa dan dokelola oleh manusia untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri dalam mencapai tujuan yang ditetapkan[7].

Dalam hal ini tim dosen FIP IKIP Malang menyimpulkan pengertian pendidikan adalah:

  1. Aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan membina potensi-potensi pribadinya, rohani dengan jasmani.
  2. Lembaga yang bertanggung jawab menetapkan cita-cita pendidikan, isi, sistem dan oraganisasi pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan ini meliputi: keluarga, sekolah dan masyarakat (negara).
  3. Hasil atau prestasi yang dicapai oleh perkembangan manusia dan usaha lembaga-lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya. Pendidikan dalam arti ini merupakan tingkat kemajuan masyarakat dan kebudayaan sebagai satu kesatuan[8].

Dari rumusan di atas terlihat keumuman pengertian pendidikan. Pembentukan pribadi misalnya. Demikian juga perkembangan manusia yang dikehendaki keterpaduannya dengan kemajuan masyarakat dan hasil budaya, belum menunjukkan adanya kualifikasi tertentu.

Untuk itu kualifikasi Islam untuk pendidikan memberikan kejelasan bentuk konseptualnya. Pembentukan kepribadian yang dimaksudkan sebagai hasil pendidikan adalah kepribadian muslim, dan kemajuan masyarakan dan budaya belum menunjukkan adanya kualifikasi tertentu.

Bagi manusia, pemenuihan kebutuhan jasmani saja belumlah cukup. Tetapi kebutuhan rohani bagi manusia menjadi sangat penting karena tdak terpenuhinya itu akan menimbulkan kegelisahan batin. salah satu usahanya adalah dengan mngemalkan agama.

Jadi agama merupakan dasar utama dalam mendidik melalui sarana –sarana pendidikan. Kemudian dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yangs esuai dengan ajaran Islam, memikirkan, memutuskan, dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.



V. METODE FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

            Terdapat dua corak filsafat pendidikan Islam yaitu bercorak tradisional dan kritis. Pada filsafat pendidikan Islam yang bercorak tradisional, tentunya tidak bisa dipisahkan dengan aliran mazhab filsafat yang pernah berkembang di dunia Islam. Sedangkan pada filsafat yang bercorak kritis, maka dalam hal ini di samping menggunakan metode-metode filsafat pendidikan islam sebagaimana yang telah berkembang dalam dunia Islam, juga menggunakan metode filsafat pendidikan yang berkembang dalam dunia filsafat secara umum, diantaranya:

  1. Metode spekulatif dan kontemplatif yang merupakan metode utama dalam setiap cabang filsafat. Dalam sistem filsafat islam disebut dengan tafakkur. Baik kontemplatif maupun tafakkur, adalah berpikir secara mendalam dan dalam situasi yang tenang, sunyi, utnuk mendapatkan kebenaran tentang hakikat sesuatu yang dipikirkan. Dan oleh karenanya berkaitan dengan masalah-masalah yang abstrak misalnya, hakikat hidup menurut Islam, hakikat Iman, Islam, sifat Tuhan, takdir, malaikat dan sebagianya[9].
  2. Pendekatan Normatif. Norma, artinya nilai, juga berarti aturan atau hukum-hukum. Norma menunjukkan keteraturan suatu sistem. Nilai juga menunjukkan baik buruk, berguna tidak bergunanya sesuatu. norma juga akan menunjukkan arah gerak suatu aktivitas.

Menurut filsafat Islam, sumber nilai adalah Tuhan dan semua bentuk norma akan mengarahkan manusia kepada Islam. Pendekatan normatif dimaksudkan adalah mencari dan menetapkan aturan-aturan dalam kehidupan nyata, dalam filsafat Islam bisa disebut sebagai pendekatan syar’iyyah, yaitu mencari ketentuan dan menetapkan ketentuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh menurut syariat Islam. Objeknya adalah berkaitan  dengan tingkah laku dan amal perbuatan metode ijtihad dalam fiqh seperti istihsan, maslahah mursalah, al’adah muhakkamah adalah merupakan contoh-contoh metode normatif ini dalam sistem filsafat Islam[10].

  1. Pendekatan Ilmiah terhadap masalah aktual, yang pada hakikatnya menrupakan pengembangan dan penyempurnaan dari pola berpikir rasional, empiris dan eksperimental yang telah berkembang pada masa janyanya filsafat dalam Islam. Pendekatan ini tidak lain ada;ah merupakan realisasi dari ayat al-Quran yang artinya:

”Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga kaum itu sendiri yang berusaha untuk mengubahnya (Q.S. al-Ra’d:11)”



VI. TUJUAN PENDIDIKAN MENURUT ISLAM



1. Tujuan Umum

Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara yang lainnnya. Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan, seperti sikap.

2. Tujuan Akhir

Pendidikan Islam berlangsung selama hidup maka tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir. Tujuan umum yang berbentuk insan kamil dangan pola taqwa dapat mengalami perubahan naik-turun dalam perjalanan hidup seseorang. Perasaan, lingkungan dan pengalaman dapat mempengaruhinya[11].

3. Tujuan Sementara

Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengelaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Tujuan opersional dalam bentuk tujuan instruksional yang dikembangkan menjadi tujuan instruksional.

4. Tujuan Operasional

Tujuan operasional ialah tujuan praktis yang dicapai melalui sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan pendidikan dengan bahan-bahan yang sudah disiapkan dan diperkirakan akan mencapai tujuan operasional. Dalam pendidikan formal, tujuan operasional ini disebut juga tujuan instruksional yang selanjutnya dikembangkan menjadi Tujuan Instruksional Umum dan Tujuan Instruskional Khusus (TIU dan TIK). Tujuan instruksional ini merupakan tujuan pengajaran yang direncakan dalam unit kegiatan pengajaran[12].



Bila pendidikan kita pandang sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan. Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan dan hakikatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai  ideal yang terbentuk dalam pribadi mansuia yang diinginkan.

Nilai-nilai ideal itu mempengaruhi dan mewarnai pola kepribadian manusia, sehingga menggejala dalam perilaku lahitiahnya. Dengan kata lain perilaku adalah cermin yang memproyeksikan nilai-nilkai ideal yang telah mengacu di dalam manusia sebagai produk dari proses pendidikan.

Jadi tujuan pendidikan Islam berarti menuju dan mencari nilai-nilai ideal yang bercorak Islami. Hal ini mengangdung makna bahwa tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah tujuan yang merealisasi identitas Islami. Sedang idealaitas Islami itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai perilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan taqwa kedapa Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati.

Dimensi-dimensi nilai di atas merupakan sasaran idealitas Islami yang seharusnya dijadikan dasar fundamental dalam proses kependidikan Islam. Dimens-dimensi nilai tersebut seharusnya ditanam-tumbuhkan di dalam pribadi muslim secara utuh memalui proses pembudayaan yang bercorak paedagosis, dengan sistem atau struktur kependidikan yang bagaimanapun ragamnya.

Pendidikan Isllam bertugas mempertahankan, menanamkan, mengembangkan kelangsungan berfungsinya nilai-nilai Islam yang bersumber dari kitab suci al-Quran dan Hadits. Serta sejalan dengan tuntutan kemajuan modernisasi kehidupan masyarakat akibat pengaruh kebudayaan yang meningkat, pendidikan Silam memberikan kelenturan (fleksibilitas) perkembangan nilai-niali dalam runag lingkup konfigurasinya.





6.1. HAKIKAT PENDIDIK



I.    Tugas Pendidik

Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani an rohaninya agar mencapai kedewasaanya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di permukaan bumi, sebagai makhluk sosial dan individu yang sanggup berdiri sendiri[13].

Sebenarnya orang pertama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak atau pendidikan anak adalah orang tuanya, karena adanya pertalian darah dan masa depan anaknya di dunia maupun akhirat.

Karena itu orang tua disebut juga sebagai pendidik kodrat. Karena orang tua tidak mempunyai kemampuan, waktu dan sebagainya, maka mereka menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada orang lain yang berkompeten untuk mendidik. Dalam hal ini guru. Lembaga pendidikan di sinilah pendidik itu membimbing atau memberikan pertolongan sebagaimana disebutkan dalam definisi pendidikan.

Sebagaimana telah disinggung di atas mengenai pengertian pendidik, dapat diperjelas bahwa tugas pendidik yaitu:

a.      Membimbing si terdidik

Mencari pengenalan terhadapnya mengenai kebutuhan, kesanggupan, bakat minat dan sebagainya.

b.      Menciptakan situasi untuk pendidikan

Situasi pendidikan, yaitu suatu keadaan di aman tindakan-tindakan pendidikan dapat berlangsung dengan baik dan dengan hasil yang memuaskan.

Tugas lain ialah memiliki pengatahuan yang diperlukan, pengetahuan-pengetahuan keagamaan, dan lain-lain. Pengetahuan ini tidak sekedar diketahui, namum juga diterapkan dan diyakini sendiri. Ingatlah bahwa kedudkan pendidik adalah pihak yang lebih dalam situasi pendidikan. Harus pula diingat bahwa pendidikan adalah manusia dengan segala sifatnya yang tidak sempurnya. Oleh karena itu si pendidik harus selalu menunjau diri sendiri. Dari reaksi si anak, dari hasil usaha pendidikan, pendidik dapat memperoleh bahan-bahan kesamaan dari pihak di terdidik. Kecaman yang membangun pun besar sekali nilainya[14].




6.2. FILOSOFIS KURIKULUM



Secara harfiah kurikulum berasal dari bahasa latin, curriculum yang berarti pengajaran. Ada pula yang mengatakan kata tersebut berasal dari bahasa Perancis courier yang berarti berlari[15].

Ada pula yang berpendapat bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disiapkan berdasarkan rancangan yang sistematik dan koordinatif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat diketahi bahwa kuurikulum pada hakikatnya adalah rancangan mata pelajaran bagi suatu kegiatan jenjang pendidikan tertentu dan dengan menguasainya seseorang dapat dinyatakan lulus dan berhak memperoleh ijazah.

Sementara pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan dunia pendidikan, definisi kurikulum disebutkan di atas dipandang sudah ketinggalan zaman. Kurikulum bukan hanya sekedar memuat sejumlah mata pelajaran, akan tetapi termasuk segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.

Pengertian kurikulum yang disebut terakhir itu sejalan pula dengan pendapat Hasan Langgulung . Meurutnyam kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial dan olahraga serta kesenian baik yang berada di dalam atau di luar kelas yang dikelola oleh sekolah[16].

Pendapat yang terakhir mengenai kurikulum iniberbeda dengan pendapat-pendapat yang dikemukakan sebelumnya. Perbedaan tersebut nampat terlihat dari segi sumber pelajaran yang dimuat dalam kurikulum. Jika sebelumnya hanya terbatas pada kegiatan pengajaran yang dilakukan diruang kelas, maka pada perkembangan berikutnya pendidikna  dapat pula memanfaatkan berbagai sumber pengajaran yang ada di luar kelas. Dengan cara seperti ini para siswa dapat terus mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan dan lainnya yang terjadi di luar lingkungan sekolah.



6.2.1. Cakupan Kurikulum

Cakupan bahan pengajaran yang terdapat dalam kurikulum modern nampak semakin luas. Disebabkan adanya tugas-tugas yang semula menjadi bebar badan-badan lain, kini dibebankan kepada sekolah.

Berdasarakn pada tuntutan perkembangan yang demikian itu, maka para perancang kurikulum dewasa ini menetapkan kurikulum yang meliputi empat bagian. Pertama bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam proses belajar-mengajar. Kedua, bagian yang berisi pengetahuan, informasi, data, aktivitas, dan pengalaman yang merupakan bahan bagi penyusunan kurikulum yang isinya berupa mata pelajaran yang kemudian dimasukkan ke dalam silabus pengajaran. Ketiga, bagian yang berisi metode atau cara menyampaikan mata pelajaran tersebut. Keempat, bagian yang berisi metode atau cara melakukan penilaian dan pengukuran atas hasil pengajaran mata pelajaran tertentu[17].



6.2.2. Asas-Asas Kurikulum

Selain itu secara teoritis filosofis sebuah kurikulum harus berdasrakan asas-asas dan orientasi tertentu. Asas-asas tersebut sebagaimana dikemukakakn S. Nasution meliputi asas filosofis, organisatoris dan psikologis. Asas folosofis berperan sebagai penentu tujuan umum pendidikan. Sedangkan asas sosiologis berperan memberikan dasar untuk menentukan apa saja yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan asas organistorisberfungsi memberikan dasar-dasar dalam bentuk bagimana bahan pelajaran itu disusun dan bagaimana penentuan luas dan urutan mata pelajaran[18].



6.2.3. Ciri-Ciri Kurikulum Dalam Pendidikan Islam

Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany menyebutkan lima cari kurikulum pendidikan Islam.

1.        Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuannya dan kandungnyanya, metode, alat dan teknikny yang bercorak agama.

2.        Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya. Yaiytu kurikulum yang benar-benar mencerminkan semangat, pemikiran dan ajarannya yang menyeluruh. Di samping itu juga luas dalam perhatiannya. Ia memperhatikan pengembangan dan bimbingan terhadap segala aspek pribadi pelajar dari segi intelektual, psikologis, sosial dan spiritual.

3.        Bersikap seimbang di antara berbagai ilmu yang dikandung dalam kurikulum yang akan digunakan. Selai itu juga seimbang antara pengetahuan yang berguna bagi pengembangan individual dan sosial.

4.      Bersikap menyeluruh dalam mentana seluruh mata pelajaran yang diperlukan anak didik.

5.      Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan dengan minat dan bakat anak didik[19].



VII. TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN ISLAM



7.1. Konsep Pendidikan Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia pada tahun 450 H atau 1058 M.

Imam Ghazali sejak kecilnya dikenal sebagai seorang anak pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki[20].

Untuk mengetahui konsep pendidikan al-Ghazali ini dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu aspek tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru dan etika murid.

  1. Tujuan Pendidikan

Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat merumuska suatu tujuan kegiatan jika ia memahami secara benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan tujuan ini selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan. dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas, bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua. Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat[21]. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang meruapakn tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan ini tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi[22].

  1. Kurikulum

Konsep kurikulum yang dikemukakan al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dlam pandangan al-Ghazali ilmu terbagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut.

Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya, baik di dunia maupun di akhirat, speerti ilmu sihir, nujum dan ramalan. Kedua, ilmu-ilmu yang terpiju baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa serta ilmu yangd apat menjadi bekal bagi seseorang untuk mengethui yang baik dan melaksanakannya, ilmu-ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridhai-Nya, serta dapat membekali hidupnya di akhirat. Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela jika dipelajari secara mendalam, karena dengan mendalaminyadapat terjadinya kekacauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan, serta dapat pula membawa kepada kekafiran, speerti ilmu filsafat. Mengenai ilmu filsafat dibagi oleh al-Ghazali menjadi ilmu matematika, logika, ilahiyat, fisika, politik dan etika[23].

Sampai di sini tampaklah oleh kita bagaimana al-Ghazali membagi ilmu-ilmu yang bermacam-macam itu serta menetapkan nilainya masing-masingsesuai dengan manfaat dan mudharatnya. ia yakin bahwa ilmu dengan segala macamnya itu, baik ilmu aqliyah maupun ilmu amaliyah, tidak sama nilainya, dan karena itu pula keutamaannya berbeda.



7.2. Pemikiran Al-Mawardi Dalam Bidang Pendidikan

Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali ibn Muhamamd ibn Habib al-Basry. ia dilahirkan di Basrah pada tahun 346 H. Bertepatan dengan tahun 974 M. dan wafat di Baghdad pada tahun 450 H atau 1058 M[24].

Pemikiran al-Mawardi dalam bidang pendidikan sebagian besar terkonsentrasi pada masalah etika hubungan guru dan murid dalam proses belajar-mengajar. Pemikiran ini dapat dipahami, karena dari seluruh aspek pendidikan, guru memegang peranan amat penting, bahkan berada pada garda terdepan. Keberhasilan pendidikan sebagian besar tergantung kepada kualitas guru baik dari segi penguasaannya terhadap materi pelajaran yang diajarkan maupun cara menyampaikan pe;ajaran tersebut serta kepribadiannya yang baik, yaitu pribadi yang terpadu antara ucapan dan perbuatannya secara harmonis[25].

Menurut Mawardi sikap tawaddhu akan menimbulkan simpatik dari pada anak didik, sedangkan sikap ujub akan menyebabkan guru kurang disenangi. Sikap tawaddhu yang dimaksudkan al-Mawardi bukanlah sikap menghinakan diri sendiri atau merendahkan diri ketika berhadapan denga orang lain. Sikap yang dimaksud adalah sikap rendah hati dan merasa sederajat dengan orang lain san saling menghargai. Sikap demikian akan menumbuhkan rasa persamaan, menghormati orang lain, toleransi serta sara senasib dan cinta keadilan[26].

Pada perkembangan berikutnya sikap tawaddhu tersebut akan menyebabkan guru bersikap demokratis dalam menghadapi murid-muridnya. Sikap demokratis ini mengandung makna bahwa gur berusaha mengembangkan individu seoptimal mungkin. Guru tersebut menempatkan peranannya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam proses belajar-mengajar yang berlangsung dengan utuh dan luwes, di mana seluruh siswa terlibat di dalamnya.

Selanjutnya al-Mawardi mengatakan bahwa seorang guru selain harus bersikap tawaddhu, juga harus bersikap ikhlas[27].

Pernyataan tersebur memperlihatkan dengan jelas bahwa al-Mawardi menghendaki agar soerang guru benar-benar ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Menurutnya baahwa tuga mendidik dan mengajar harus diorientasikan kepada tujuan yang luhur, yakni keridhaan dan pahala Allah.



7.3. Konsep Pendidikan Ibnu Sina

Nama lengkapnya adalah Abu Ali Husayn ibn Abdullah di dunia barat lebih dikenal dengan nama Avisena. Penyebutan nama tersebut menimbulkan perbedaan pendapat di klangan ahli sejrah, ada yang mengatakan bahwa nama tersebut berasal dari bahasa latin yaitu Aven Sina, dan ad juga yang berpendapat dari bahasa Arab, al-Shin yang berarti Cina. Ia dilahirkan pada tahun 980 M di bukhara, tepatnya di Afshana, ayahnya bernama Abdullah dari balkh, suatu kota yang termasyhur di kalangan orang-orang Yunani, dengan nama Bakhtra yang berarti cemerlang yang termasuk wilayah Afganistan, Namun demikian ia ada yang menyebutkan sebagai kebangsaan Persia, karen apada abad X masehi, wilayah Afganistan termasuk daerah Persia[28].

Menurut Ibnu Sina tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangan yang sempurna yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti[29]. Selain itu tujuan pendidikan harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masayarakat secara bersama-sama dengan malakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potendsi yang dimiliki. Semua itu baru didapat dengan adanya kurikulum yang baik dan memadai.

Konsep Ibnu Sina mengenai kurikulum didasarkan pada tingkat usia anak didik, anak usia tiga sampai lima tahun, misalnya perlu diberikan mata pelajaran olah raga untuk diarahkan dalam membina kesempurnaan pertumbuhan fisik si anak dan organ tubuh secara optimal. Selanjutnya pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali si anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari, dalam pelajaran kebersiahan di ajarkan agar si anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan serta pendidikan seni suara dan kesenian diarahkan agar si anak memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta meningkatkan daya khayalnya.

Selanjutnya untuk anak usia enam sampai empat belas tahun, menurut Ibnu Sina adalah cukup pelajaran membaca dan menghapal al-Quran, palajaran agama, pelajaran sya’ir dan olah raga.

Selanjutnya untuk anak usia di atas empat belas tahus, mata pelajaran yang bersifat teoritis dan praktis seperti biologi, kedokteran, asrologi, kimia, keseluruhan tergolongan ilmu-ilmu fisika, matematika dan ketuhanan.

Kemudian mata pelajran yang bersifat praktis adalah ilmu akhlak, ilmu mengurus rumah tangga serta ilmu politik. dari uraian di atas, konsep kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina memiliki tiga ciri:

  1. Bahwa kurikulum tidak terbatas pada sekedar menyusun sejumlah mata pelajaran, melainkan disertai dengan penjelasan tentang mata pelajaran tersebut serta aspek psikologisnya[30].
  2. Bahwa kurikulum didasarkan pada pemikiran yang bersifat fragmatis fungsional yakni melihat kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari dnegan tuntutan masyarakat.
  3. Bahwa kurikulum dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya agar setiap orang yang mempelajari berbagai ilmu dan keahlian menempuh cara sebagaimana dilakukan[31].

Sementara untuk metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat pada setiap materi pelajran, seperti metode talqin, demonstrasi pembiasan dan teladan, diskusi, magang dan penugasan. Teladan paling efektif dalam pengajarn akhlak.

Sedangkan konsep guru yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik, adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih, suci dan murni[32].




VIII. KESIMPULAN



Kalau diperhatikan seluruh uraian dalam makalah ini, akakn jelaslah sampai mana fsilitas-fasilitas yang diberikan oleh agama islam bagi suatu filsafat yang disebut Filasafat Pendidikan Islam.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah:

  1. Unsur filsafat dari Filsafat Pendidikan Islam, yang berintiukan kemerdekaan berpikir, mendapat tempat dalam agama Islam dan mendapat petunjuk-petunjuk pemakaiannya.
  2. Unsur pendidikan uang merupakan usaha antar manusia adalah sangat dipentingkan dalam agama Islam, dan diberikan dasar-dasar tuntutann dan kegunaannya dalam agama.
  3. Unsur pendidikan yang merupakan usaha pemindahan kebudayaan yang juga mendapat tempat dalam ruang ajaran-ajaran agama dan diberikan batas-batas pemakaian dan penilaiannya.
  4. Unsur pendidikan sebagai usaha penyampaian nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan dan keagmaan, dipenuhi dengan nilkai agama Islam yang meliputi juga kesusilaan dan kemasyarakatan. Bahwa nilai-nilai agama adalah mutlak dari Tuhan, bukan ciptaan manusia tidaklah mengurangi tugas dari manusia; untuk menyampaikan nilai-nilai itu kepada sesamanya.
  5. Unsur pendidikan sebagai usaha yang emmbawa manusia pada suatu tujuan akhir mendapat ketegasan dalam agama Islam. Tujuan itu adalah penyerahan diri kepada Allah, sebagai juga tujuan hidup semua muslim.


DAFTAR PUSTAKA



§  Hamdani Ctc, Filsafat Pendidikan, Bandung, Pustaka Setia, 1998

§  Abdul Al-Raziq, Mustafa, Tauhid li Tarikh al-Islamiyah (Terjemahan), Lajnah al-Ta’rif al-Tarjamah al-Nash al-Qahriyah, 1959

§  Tim Dosen FIP IKIP Malang, Kapita Selekta Pengantar Dasar-dasar Pendidikan, IKIP Malang, 1984

§  Brubalher, S John, Modern Philosophies of Education (terjemahan), Mc Gran Hill Publishing, New Delhi, 1984

§  D Marimura, Ahmad, PengantarFilsafat Pendidikan Islam, Bandung, Al-Ma’ruf, 1980

§  Nasution, S, Pengembangan Kurikulum, Bandung, Citra Madyaksa Bhakti

§  Nata, Abuddin, Filsafat Kependidikan Islam, Jakarta, Lugas, 2000

§  As-Saqa, Mustafa, Dab ad-Dunya wa ad-Din, Beirut, Dar al-Fikri, 1995

§  Dra. Zuhairini Ctc, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Litbang Depag, 1995



[1] Drs. H. Hamdani Ctc, Filasafat Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 1998, hal. 76
[2] Drs. Hamdani Ctc, Op. Cit, hal. 83
[3] Mustahafa Abdul al-Raziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, Lajnah al-Ta’rif al-tarjamah wa al-nasyr, al-Qahiriah, 1959, hal. 132
[4] Ahmad D. marimura, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, al-Ma’ruf, 1990, hal. 16
[5] Ahmad D Marimura, Ibid, hal. 16
[6] Tim Dosen FIP IKIP Malang, Kapita Selekta-Pengantar Dasar-dasar Kependidikan. IKIP Malang, 1981, hal. 2
[7] John S. Brubacher, Modern Philosophies of Education. Fourth Edition, tata Mc. Grwa-Hill Publishing Company Ltd, New Delhi, 1981, hal. 371
[8] Drs. Hamdani, Op. cit. hal. 29
[9] Dra. Zahairimi Ctc, filsafat Pendidikan islam, Jakarta, Litbang Depag,  1995, hal. 131
[10] Dra. Zuhairini Ctc, Op. Cit, hal. 132
[11] Drs. H. Hamdani, Loc. Cit, hal. 63
[12] Drs. Hamdani Ctc, Ibid, hal. 65
[13] Drs. Hamdani, Op. Cit, hal. 93
[14] Drs. Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, al-Ma’ruf, Bandung, 1980, hal. 38
[15] S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, Bandung, Citra Adhyaksa Bakti, hal. 9
[16] Hasan Langgulung, Azas-azas Pendidikna Islam, Jakarta, Pustaka Husna, hal. 483
[17] Hasan Langgulung, Op. Cit, hal. 486
[18] Drs. H. Abuddin Nata, MA, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Lugos, hal. 125
[19] Drs. H. Abuddin Nata, MA, Op. Cit, hal. 127
[20] DR. H. Abudin Nata, MA. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta, Rajawali Press, hal. 84
[21] Fathiyah Hasan Sulaiman, Op. Cit, hal. 18. lihat pula H.M. Arifin, M.Ed., Filsafat Pendidikan Islam, )Jakarta; Bumi Aksara, 1991), cet.I, hal. 87
[22] DR. H. Abudin Nata, MA, Op. Cit. hal. 86
[23] DR. Abuddin Nata, MA, Op. Cit, hal. 91
[24] Lihat Pengantar Mustafa as-Saqa, Dab al-Dunya wa ad-Din, (Beirut: dar al-Fikr, 1995), hal. 1
[25] DR. Abudin Nata, MA, loc. Cit, hal. 49
[26] Lihat al-Mawardi, adab ad-Dunya wa ad-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 80
[27] DR. H. Abudin Nata, MA, Loc. Cit, hal. 50
[28] DR. H. Abudin nata, MA, Op. Cit, hal. 61
[29] Ibnu Sina, As-Siyasah fi At-Atrbiyah, Mesir, Majalah al-Masyriq, hal. 1070
[30] DR. H. Abudin Nata, MA, Op. Cit, hal. 73
[31] DR. H. Abudin Nata, MA, Ibid, hal. 73
[32] DR. H. Abudin Nata, MA, Op. Cit, hal. 77