Rabu, 27 Oktober 2010

KARAKTERISTIK SUFISME PERKOTAAN


Jika diperhatikan ada beberpa yang menjadi ciri khas sufi perkotaan, artinya mereka tampil berbeda dengan para sufi konvensional yang berangkat dari pesantren, majlis ta’lim atau aliran/tarekat tertentu. Diantaranya adalah;
-          Peserta
-          Materi Kajian
-          Pakaian
-          Tempat

  1. Pola peserta sufi perkotaan tidak sama seperti lazimnya pengajian tasawwuf di pesantren atau majelis ta’lim pada umumnya datang dari masyarakat yang sifatnya heterogen bukan dari kalangan tertentu. tetapi sufisme perkotaan mempunyai jamaah yang datang dari kalangan tertentu. Mereka datang dari berbagai daerah di Jabodetabek, dengan mengendarai kendaraan sendiri. Penampilan mereka begitu rapi dan trendy lengkap dengan gaya kehidupan perkotaan. Karena memang mereka kelompok orang yang berpunya (the Have). Bisa jadi akomodasi yang digunakan dengan fasilitas hotel atau gedung pertemuan berkelas. Walaupun demikian banyak mereka yang sudah terbiasa hidup dengan model sufi banyak seperti zikir, salat malam, puasa sunnah, membantu sarana pendidikan Islam, bahkan tidak sedikit yang mempunyai anak asuh. Yaitu membiayai anak yatim-piatu/fakir miksin sampai selesai pendidikan formalnya. Secara lahiriah bisa jadi penampilan mereka mewah tetapi akhlak dan perhatiannya terhadap agama begitu besar.bahkan bisa mengalahkan mereka yang secara formal mempunyai kemampuan keagamaan yang baik..
  2. Dalam Materi Kajian, kitab yang mereka gunakan kebanyakan kitab yang mengajarkan serta membangun rasa spiritual yang tinggi, gemar ibadah, banyak zikir dan membaca sejarah rasul dan sahabat. Diantaranya adalah Minhajul Abidin, Hazinul Asrar, Ihya Ulumuddin atau Kitab Kifayatul Atqiya, kajian Shahih Bukhari. Mereka bukan saja mempelajari tetapi juga mengkaji secara mendalam agar dampak positif paham dan nilai tasawwuf pada zaman modern seperti ini dapat menjawab semua persoalan yang terjadi pada banyak sektor, terutama yang menyangkut karir mereka yang dominan memperebutkan dan memburu sesuatu yang sersifat materialistis saja. Karena segala persoalan rutin mereka yang terkadang begitu mencari penyelesainnya tidak bisa ditemui jawaban dan penyelesaiannya kecuali melalui kajian sperti ini. Tidak jarang mereka melakukan qiyamul lail secara berjamaah dilanjutkan dengan zikir tertentu dengan jumlah yang ditentukan pula. Dengan demikian pertahanan spiritual mereka semkain mengakar sehingga pola dan penampilan mereka bisa menjadi manusia yang mampu mangaplikasikan doa bahagia hidup dunia dan akhirat.
  3. Pakaian adalah salah satu identitas sufi perkotaan. Cara berpakaian seringkali yang serba putih lengkap dengan simbol guna mengetahui dari kelompok mana mereka berasal bahkan dilengkapi bendera. Ternyata pakaian ini sangat membantu keberadaan mereka seperti menambah popularitas rasa kebersamaan dan persatuan yang pada akhirnya akan bertambah jamaahnya. Ada satu hal yang menarik dari pakaian yaitu secara filosofis warna putih di samping memang sunnah Rasul. Tetapi mengajak mereka untuk lebih banyak mengingta mati, bahkan kematian tidak mengenal waktu, tepmat dan usia. Kematian sangat misterius. Di sinilah betapa besar pengaruh warna puthi terhadap eksistensi mereka dalam melakuka kegiatan.
  4. Salah satu mereka tampil beda dari keoompok kajian tasawwuf lain adalah tempat mereka lebih representatif. jauh dari keramaian, banyak di perumahan pribadi atau terkadang di hotel berbintang. Sekali-kali mengambil tempat di masjid bahkan di lapangan terbuka. Tetapi tetap saja mereka membaur dengan komnutas lain. Perbedaan yang ada pada mereka tidak mendatangkan kecurigaan, atau ada rasa sentimen klelompok. Mereka saling menjaga nama baik. Mereka tidak ingin berpindah, para guru, kyai, mursyid tetap membimbing jamaaahnya dengan rasa istiqamah yang merupakan bagian yang terpenting. Baik dalam mengamalkan dan menjalankan kajian tasawwuf, atau pada menjaga rasa memiliki jamaahnya. Jika akan diadakah acara memperingati kelahiran tokoh (haul) atau hari-hari besar Islam, semakin ramai jamaah yang datang. Bukan saja yang berada di wilayah sekitar Ibu Kota melainkan juga dari luar kota. Lokasi dihias seindah mungkin, penuh dengan atribut, bendera, umbul-umbul, spandunk. Pengelolaan tempat memang tertata seallu rapi, baik pada pengajian biasa teristimewa pada acara khusus. Ternyata tempat mereka juga sering dikunjungi oleh pejabat, politisi, sipil atau militer. Tempat yang istimewa merupakan kelebihan mereka. Bahkan menjadi karakteristik tersendiri yang bila dibandingkan dengan kajian sufi pada umumnya masa lalu khususnya yang berangkat dari pesantren yang lebih berkesan apa adanya.

Jadi Munculnya fenomena sufi perkotaan mempunyai dampak positif dan kesan tersendiri bagi masyarakat Jakarta sebagai ibukota negara. Diantaranya adalah mengurangi kesan negatif walaupun tidak secara menyeluruh. Jakarta sebagai ibukota yang berpenduduk individualistis, hedonis, materialistis, huru-hara kurang memperhatikan hidup bernuansa agamis. Betapa tidak, dengan banyak munculnya berbagai pengajian (majelis ta’lim) yang menghantarkan para jamaahnya kepada hidup yang berpolakan sufisme, sangat membantu pemerintah khususnya Pemda DKI Jakartamenjadi kota yang sejuk dan bernuansa santri. Terutama pada malam hari, hingar-bingar kota dapat terminimalisasi, paling tidak ada fenomena lain yang bersifat religi. banyak kalngan muda dari anak sekolah, mahasiswa, pengusaha, entertainer, politikus, budayawan, yangmengaktifkan diri dalam meningkatkan kehidupan rohani mereka. Semula mereka merasa gersang menghadapi hidup ini, karena jiwa mereka kering dengan wawasan agama. Setelah tidak terlalu lama, perubahan religiusnya berbeda jauh. Inilah yang membuat para pencari ketenangan jiwa memburu dan aktif mengikuti pengajian yang menghantarkan mereka menjadi manusia paripurna dalam pengertian kebutuhan jasmani yang seimbang dengan kebutuhan rohani. Dan itulah tujuan hidup seorang muslim. Tidak bisa ada perbedaan yang fantastis walaupun begitu memasuki hari tua intensitas kehidupan ukhrawi harus jauh lebih banyak prestasinya. Inilah yang dapat Penulis cermati, bahwa kalangan tua lebih menaruh perhatian khusus pada hal-hal yang bersifat ukhrawi karena memang sudah waktunya.
            Jika diperhatikan mereka yang sudah terikat jauh dengan kehidupan sufi, waktu yang ada mereka tidak ada yang terbuang secara percuma. Di rumah, di tempat usaha atau kerja, di jalan, sendiri atau keadaan ramai tidak menghilangkan rasa cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Banyak sikapnya yang ditunjukkan mempunyai nilai ibadah. Seperti berdzikir, membaca al-Quran, salawat dan istighfar walaupun secara fisik tidak terlihat secara jelas. tetapi hati dan mulut mereka keuar kalimat-kalimat thayyibah, yang pada akhirnya akan membentuk manusia optimis dan cerdik karena segala apa yang diperbuat akan membawa hasil baik di dinuia maupun akhirat. karena kehidupan tasawwuf bukan mengajak manusia untuk menjauhi dunia apalagi bermalas-malasan yang waktunya habis dengan obat terlarang, minuman keras dan dugem dengan lainnya hilang, mereka menyibukkan diri dengan aktivitas ibadah. Tetapi sebaliknya, dunia dijadikan alat untuk memperolehhidup seoptimal mungkin. Sebaiknya kita benar-benar di Indonesia mampu membuka diri kotanya dipenuhi oleh para pelaku hidup sufi. Sebab ini mrupakans alah satu upaya peningkatan sumber daya manusia yang komplit. Pola hidup konsumtif, sela jabatan, korupsi, tidak disiplin dapat dikikis secara lambat laun yang pada akhirnya menghasilkan manusia yang berakhlakul karimah.

DAFTAR PUSTAKA

§  Abdul Khaliq DR, Abdurrahman Ctc, Pemikiran Sufisme di bawah Bayang-bayang Fatamorgana, Jakarta, Amzah, 1998
§  Prof. DR. Hamka, Tasawwuf Modern, Jakarta, Panji Mas, 1987
§  Prof. DR. Hamka, Tasawwuf dan Sufi, Jakarta, Panji Mas, 1983
§  Ary Ginanjar, ESQ, Arga, 2003
§  Mahjuddin, Kuliah Akhlaq Tasawwuf, Jakarta, Ilmu Kalam, 1991
§  Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah Sufi dan tasauf, Solo, 1989
§  Mahmud, Abd Halim, Hal Ihwal Tasawwuf, Jakarta, terjemahan
§  Ghamini at-Tafzani, Abu al-Wafa, Filsafat dan Mistisisme dalam islam, Jakarta, 1992
§  Qadir Djaelani, Abdul, Kereksi Terhadap Ajaran tasawwuf, Jakarta, Gema Insani Press, 1996
§  Nata, Abudin, Akhlak Tasawwuf, Jakarta, PT. Grafindo Persada, 1996

FENOMENA SUFISME PERKOTAAN


Perkataan sufi berasal dari Ibnu Shaufi yang sudah dikenal sejak sebelum Islam sebgai gelar dari seorang anak Arab yang saleh yang selalu mengasingkan diri di dekat ka’bah untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya[1].
Kata sufi itu berasal dari kata shaffa atau barisan, sebab para sufi berada pada barisan pertama di hadapan Allah. Yang lainnya menyatakan bahwa kata tersebut dinisbatkan kepada Abu Shuffah, sekelompok kaum Muhajirin dna Anshar yang miskin, yang tinggal dalam suatu ruangan di sisi masjid Nabawi. Mereka yang tinggal di dalam ruangan tersebut dikenal tekun beribadah[2].
Menurut sejarah, orang yang memakai kata ”sufi” adalah seorang zahid bernama Abu Hasyim al-Kufi di Iraq (w. 150 H). Sedangkan arti kata sufi sendiri  memiliki beberapa rumusan, di antaranya ahl ash-shuffah, yaitu mereka para sahabat yang miskin, yang tinggal di suatu ruangan di masjid Nabawi, mereka berbaik hati dan mulia; shaf, ialah orang-orang yang melakukan salat di barisan pertama; shufi juga bermakna suci; sophos, asal kata Yunani yang berarti hikmat; sedangkan shufi bermakna kain yang dibuat dari bulu domba, yaitu wol kasar yang biasa dipakai orang-orang miskin[3].
Sementara itu dari data yang terungkap bahwa  oirang pertama yang mendapat gelar sufi adalah Abu Hasyim (w. 761 H) dari Kuffah, bukan dari Mekkah atau Madinah dan ia adalah dari generasi tabi’in, bukan dari generasi sahabat. Sedangkan di sisi lain, masa terjemahan telah terjadi terlebih dahulu, paling tidak beberapa puluh tahun sebelum munculnya orang pertama yang bergelar sufi itu.
Akhirnya, jika istilah ”sufi” itu juga dianggap serasal dari kata shuf (bulu domba, wol kasar) yang biasa dipakai oleh para sufi Kristen, hal ini bisa diterima, bahkan antara kata sophia dan shuf saling menguatkan. Sebab ajaran sufi di dunia Kristen yang paling berpengaruh berasal dari Plotinus, sehingga sangat logis jika aliran ini berpengaruh pada kaum sufi Kristen di Syiria, Mesir, Baghdad dan Yaman. Lebih memperkuat lagi ialah bahwa kaum sufi muslim pada umumnya memakai kain shuf[4].
Dari beberapa penjelasan yang diambil dari berbagai sumber, secara sepintas sulit bagi kita untuk memperoleh kepastian tentang asal kata istilah ”tasawwuf” (sufi) tersebut. Tetapi jika ditelusuri lebih jauh, akan diperoleh kejelasan yang lebih mendekati kebenaran. Jika istilah ”sufi’ berasal dari nama Ibnu Shauf, maka berarti pada zaman jahiliyah kehidupan kaum sufi telah ada di Mekkah. Padahal tidak ditemui fakta sejarah yang menyebutkan bahwa di mekkah – sejak Nabi SAW dilahirkan sampai hijrah ke madinah – ada nama dan kegiatan kaum sufi. Bahkan pada saat nabi SAW melakukan tahannuts di Gua Hira sampai turunnya wahyu yang pertama, tidak ada keterangan sedikitpun yang menyatakan bahwa ia melakukan hal itu karena meniru pola mengasingkan diri Ibnu Shauf adalah tidak wajar.
Sementara kata perkotaan berasal dari kata ”kota” dengan menyertakan awalan ”per” dan akhiran ”an”, adalah daerah atau kawasan kota atau kelompok pemukiman yang terdiri dari tempat tinggal dan tempat kerja pertanian[5].
Dengan demikian sufi perkotaan adalah kehidupan sekelompok orang (komunitas) yang dilakukan dengan penuh berbagai macam aktivitas ibadah di tengah keramaian kota.
Dapat dipahami bahwa sufi perkotaan sebuah gerakan positif oleh penduduk kota di tengah  corak dan gaya hidup kota yang penuh dengan gaya metropolisnya. Seperti individualistis, hedonisme, westernisme, modisme dan materialisme. yang membuah mereka menjadi jauh dari nilai dan kehidupan beragama sehingga rohaninya kosong dan gersang.

Memasuki tahun 2000-an, karen apertumbuhan konomi, sosial, budaya dan politik dan semakin menjamurnya rumah-rumah mewah, pusat-pusat perbelanjaan di samping penduduk yang memiliki latar belakang sosial berbeda pasti sedikit banyak mempengaruhi pola dan gaya hidup penduduk kota. Di antaranya adalah mereka banyak yang menderita penyakit kejiwaan karena tidak adanya porsi yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohaninya. Akhirnya menjadi mudah stress dan cepat mengambil keputusan hidup yang merugikan baik bagi dirinya sendiri ataupun orang lain. Pemandangan ini sangat sering dijumpai dan diberitakan baik melalui media cetak maupun elektronik dari panorama yang berbagai dinamikanya tersebut banyak penduduk kota yang mulai menaruh perhatian tentang pentingnya pemenuhan kebutuhan rohani di antaranya adalah pertama kajian Shahih Bukhari yang dimotori oleh para habaib dan Arab keturunan yang langsung dipimpin oleh habib Mundzir Mustawa, seorang tokoh muda yang mempunyai perhatian khusus terhadap pembinaan rohani (mental). Di samping kajian yang sifatnya teoritis tersebut. Pada saat tertentu mereka, kelompok yang menamakan diri dengan Majelis Rasulullah SAW mengadakan dzikir dengan melantunkan kalimat thayyibah (tahmid, takbir, tasbih, istighfar dan salawat) dalam jumlah tertentu (ribuan) dengan tempat yang berpindah-pindah. Jamaah majelis tersebut datang dari sekitar Jabodetabek dengan ragam dan unsur status sosial. Biasanya kegiatan rutinnya dilaksanakan pada minggu keempat setiap malam jumat. Suasana kota terutama di sekitar jalan Kebayoran Lama menjadi menarik sekali. Di samping aneka ragam umbul-umbul, ditambah dengan beliho besar yang penuh dengan foto, dipenuhi oleh ribuan jamaah dengan berbagai macam jenis kendaraan, pemandangan menarik lainnya adalah kedatangan dan kepulangan mereka ke tempat tinggal masing-masing. Membuat Jakarta kota metropolitan, berubah dengan nuansa kota santri seperti pakaian dan peci berwarna putih (peci haji dan baju kokoh) di samping kain sarung serta bendera yang dibawa oleh mereka terus berkibar.
Kelompok kedua adalah pengajian dzikir yang dipimpin oleh Ust. Arifin Ilham yang dipusatkan di masjid At-Tien Taman Mini Indonesia Indah. Acara ini disiarkan langsung oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia (TPI). Umumnya jamaah diajak berdzikir dengan jumlah tertentu penuh dengan kekhusyu’an sehingga banyak yang meneteskan air mata. Jama’ah diajak untuk mengenali dirinya siapa sebenarnya manusia itu, apa tujuan hidupnya di dunia, memperbanyak mensyukuri nikmat Allah SWT dan cinta Rasulullah SAW, banyak bertaubat (istighfar) yang pada akhirnya jiwa mereka menajdi tentram, senang dan penuh tawaddhu. Sebab apapun fungsi mereka dengan status sosial yang beraneka ragam akan menjumpai mati dan yang berat adalah dimintai pertanggungjawabannya atas semua perbuatan yang telah dilakukan. Salah satu simbolnya adalah mereka berpakaian serba putih, baik dari jama’ah perempuan maupun laki-laki. Pada momen-momen tertentu, mereka mengundan pejabat dan para tokoh negeri ini dengan melakukan dzikir bersama yang biasanya dilakukan ketika ada bencana alam yang terjadi di negeri ini.
Ketiga adalah pengajian Jama’ah dilaksanakan oleh Habaib baik dari keturunan Arab atau dari keturunan Arab Betawi. Organisasi ini dikenal dengan nama FUHAB (Forum Ulama dan habaib Betawi), kebetulan penulis berada di dalam kepengurusan. Anggota FUHAB tersebar di seluruh Jabodetabek. Pengajian yang dilakukan berbeda dengan sufi perkotaan lainnya. Mereka mempunyai kitab kajian (referensi) yang kebanyakan mengkaji ktab tasawuuf klasik  terutama krangan Imam al-Ghazali. para pengasuh diambil dari Kyai Sepuh yang sudah memasuki dunia sufi dalam hidup kesehariannya. Tawadhu dan karismatiknya begitu nampak ketika menyampaikan materi. Sebelum pengajian dimulai dibacakan riwayat Nabi Muhammad SAW seperti rawi barzanji, rawi Azab, rawi Simtu Durar, rawi Syaraful Anam dll. Diawali dengan pembacaan qasidah dan diakhiri dengen pembacaan tahlil sedcara bersama, terkadang dilengkapi dengan makan nasi kebuli bersama-sama. Peserta pengajian umumnya para assatidzah dari berbagai majelis ta’lim. Usia jamaah pengajian habaib biasanya mayoritas orang tua, jarang ada anak muda yang bergabung. Hal ini menunjukkan keseriusan mereka dalam memperdalam kehidupan sufi yang sudah menjauhi hidup duniawi, tingkat kezuhudan mereka nampak dari cara berpakaian, tetapi tidak mengurangi keidahan dan kebersihan.
Dari ketiga fenomena sufi perkotaan tersebut berbeda satu dan lainnya. ada karakteristik tersendiri yang menjadi ciri khasnya. Tetapi mempunyai muara yang sama yaitu dalam rangka meningkatkan ibadah kepada Allah SWT dan menghidupkan sunnah-sunnah rasul-Nya. Dengan memperbanyak atau paling tidak seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani salam menjalani sisa hidup di dunia. Tidak bisa memang mereka disatukan karena berangkat dari materi kajian yang berbeda di samping juga kominutas dan sasaran gerakan yang berbeda pula. Namun demikian keberadaan mereka sebagai gerakan sufi perkotaan yang berada di tengah kota seperti Jakarta ini merupakan fenomena tersendiri bagi kota Jakarta sebagai ibu kota negara yang penuh hingar-bingar, aneka gaya hidup, budaya serta kemodernan masyarakatnya.

Kecendurungan hidup bahagia bagi setiap manusia merupakan fitrah. Apalagi seorang muslim pasti menjadi keharusan, bahkan doa ini setiap saat dibaca, seperti:

Ya Tuhan kami, Berilah kami kebaikan dunia dan akhirat dan serta selamatkanlah kami dari api neraka.

Bahagia mempunyai ukuran yang berbeda antara satu orang dengan orang lain. Ada yang berkata bahagia itu diukur dari banyaknnya materi yang didapatkan, yang lain mengukurnya dari keberhasilan karir, ilmuan dan seterusnya. Ukuran-ukuran tersebut bisa jadi benar jika diukur dari segi material, namun banyak orang sukses tetapi mengakhiri hidupnya denga bunuh diri. Merusak dan membunuh karakter kepribadiannnya dengan cara melakukan perbuatan yang tidak terpuji, seperti tindakan-tindakan asosial. Faktor utamanya adalah jiwa mereka yang kosong dari nilai-nilai rohaniah. Sementara nilai tersebut hanya terdapat dalam ku\omunitas dan tempat tertentu saja yaitu masjid, psantren dan majlis ta’lim, kelompok zikir atau kajian-kajian tasawwuf.
Pada kelompok-kelompok zikir dan kijan tasawwuf ini banyak terdapat para eksekutif, konsultan, ahli profesi, cendikiawan, politikus, ekonom, budayawan dan lain-lain. Mereka sangat sukses dalam kehidupan duniawinya, namun merasa kurang bahgia secara batiniah. Merasakan kegelisahan batin, ada kegelisahan dalam dirinya mereka yang menuruti nafsu lawwamah dengan mengambil jalan yang justru menambah kegersangan diri. Seperti ke diskotik, pub, dari satu hotel ke hotel lain. Tetapi tidak sedikit juga yang menempuh jalan yang benar dengan merapatkan diri kepada agama, yaitu melalui pendalaman ibadah. baik berupa ibadah mahdhah ataupun pendalaman zikir melalui dengan berbagai m,acam kegiatan. Sekarang ini banyak sekali kegiatan keagamaan baik melalui perorangan atau lembaga sepertikajian Shahih Bukhari, Zikir Akbar setiap malam jumat. Bahkan terkadangan dilakukan ditempat terbuka.
-          Kajian kitab Hikam yang sangan mnekankan hidup dekat dengan tasawwuf
-          Kajian zikir dan salawat
-          Msjelis Maulid
-          Istighatsah
-          Qiyamul Lail
-          Ziarah makam para wali dan sufi
Kegiatan kerohanian dalam bentuk zikir semakin hari semakin menambah dan peningkatan intensitas, baik pertemuan kajian kitab atau pemahaman dan penghayatan zikir. Baik secara pribadi kajian dengan jumlah tertentu atau dilakukan secara berjamaah dengan jumlah yang lebih besar. Lambat laun namun pasti mereka yang istiqamah mengikuti kegiatan rohani bertambah mantap keimanan dan ketaqwaan, serta qanaah dalam menjalani kenyataan hidup. Jika mereka kaya tidak membuat mereka angkuh dan lupa diri, jika jatuh usaha dan karir mereka tidak menjadikan mereka lemah dan putus asa. Mereka memahami kesemua itu kecil dan tidak mempunyai  nilai apa-apa jika dibandingkan dengan rahmat Allah. Ternyata kekayaan materi yang mereka punyai tidaklah dapat menjaga diri dan mendatangkan ketentraman hati. Pola dan cara pandang mereka menghadapi kehidupan bukan saja didasari oleh teori yang bersifat eksak, namun juga sudah lebih banyak pada pola pikir yang didasari oleh nilai-nilai ilahiyyah (spiritual).
Kekayaan hakiki ialah mencukupkan apa yang ada dan sudi menerima walaupun berlipat ganda beratus ribu milyard, sebab Dia nikmat Tuhan, dan tidaklah jumlahnya berkurang, sebab Dia datang dari sana akan kembali ke sana[6].
Sikap seperti ini tidaklah mudah didapat dengan serta-merta. Tetapi mebutuhkan latihan yang lama dan banyak pengorbanan yang dibutuhkan, waktu bahkan perasaan terutama hawa nafsu. jadi ketentraman hati dan ketangan jiwaitulah yang mereka cari para peserta kajian tasawwuf dan zikir perkotaan.
Sunggunnya hati yang tentram dan pikiran yang hening memberi bekas yang nyata untuk kebahgiaan manusia, bahkan inilah kebahagian sejati[7].
Kebersihan jiwa memang harus dipelihara, jiwa adalah harta yang tidak ternilai harganya kesucian jiwa menyebabkan kebersihan diri, lahir dan batin. Manusia makhluk yang lengkap dengan potensi baik dan buruk jadi dinamika salah benar adalah bagian hidup manusia. Tidak ada yang salah terus-menerus tetapi tidak ada juga yang berbuat kebaikan tanpa cacat. Di sinilah menggosok kesucian batin mempunyai peranan kebahagiaan baru didapat setelah melalui susah payah yang berkepanjanganan, jadi bahagia itu ada di dalam diri, bukan dari luar.
Dengan berjamurnya pertumbuhan pengajian model sufi di jakarta khussunya membawa fenomena tersendiri dalam masyarakat baik politik, ekonomi, sosial-budaya fenomena ini sidah pasti mempengaruhi pola hidup sikap dan karakter masyarakat. Seperti sikap individualistis, berpacu dengan waktu, persaingan hidup, ketidakamanan, rasa mementingkan diri yang tinggi. Kebutuhan hidup yang tidak menentu. Semua itu membuat orang mudah pesimis, tidak tenang hidupnya dan stress yang berkepanjangan. Penyakit ini bukan saja menimpa orang yang lamah secara finansial, dan sosial saja, mereka sudah terbiasa akan hal itu. Melainkan yang ironis justr menimpa para orang sukses dalam karirnya kenapa bisa seperti itu karena jasmani mereka basah tetapi rohaninya kering. Selama ini banyak berkembang dalam masyarakat kita sebuah pandangan stereoptipe,dikotomisasi antara dunai dan akhirat, antara unsur-unsur kebendaan dan agama, kasat mada dan tidak, metrialisme dan orientasi nilai-nilai Ilahiyyah semata. Mereka yang memilih keberhasilan secara vertikal cenderung berpikir bahwa kesuksesan dunia adalah sesuatu yang bisa dinisbikan, atau sesuatu yang tidak sedemikian mudahnya dimarginalkan. Hasilnya mereka unggul dalam kakuasaan zikir dan kekhitaman berkontemplasi namun menjadi kalah dalam percaturan ilmu pengetahuan, sosial, politik dan perkembangan alam secara horizontal[8].
Begitupun sebaliknya yang berpijak hanya pada kebandaan kekuatan berpikirnya tidak pernah diimbangi oleh kekuatan zikir, rialitas kebendaannya masih membelenggu hati tidak memudahkan baginya untuk berpijak pada alam fitrahnya yang hidup perkotaan berada di tengah. Artinya meninggalkan pikir, banyak zikir atau banyak zikir tetapi melupakan pikir tidak boleh dipisahkan harus ada perpaduan harmonis. Sehingga membawa hidup menjadi benar. Sufi perkotaan tidak ada dikotomi antar kebutuhan materi dengan spiritual yang menyebabkan peserta jamiyyah menjadi kerasan. Bahkan terus meningkat jumlah zikir yang dibacanya. Semakin banyak itu dilakukan betambah kuat nilai spritual inilah yang melekat pada dirinya. Tidak heran jika mereka kerasan mengikuti semua yang menjadi petunjuk dan arahan guru yang menjadi idola. Meskipun harus mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran. Terkadang harus berhadapan dengan kondisi iklim. Semua itu terkonpensasi dengan ketenangan datin karena jiwanya penuh dengan nilai spiritual.


[1] Aboebakr Atceh, engantar Sejarah Sufi dan Tasauf, (Solo: 1989), hal. 25 -26
[2] Abu al-Wafa al-Ghanimi at-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. (Bandung: 1985), hal. 21
[3] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: 1992) hal. 56 - 57
[4] Drs. H. Abdul Qadir Djaelani, Korelasi Terhadap Ajaran Tasawwuf, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, hal. 15
[5] Departemen Pendidika, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996, hal. 528
[6] Prof. DR. Hamka, Tasawwuf Modern, Jakarta, Porujas, 1987, hal. 190
[7] Prof. DR. Hamka, Op. Cit, hal. 193
[8] Ary Ginanjar, ESQ, Arga, hal. 13

MENGENAL AJARAN SUFI


Para pakar tasawwuf banyak berbeda pendapat dalam memberikan definisi sufi. karena memang aspek, pandangan serta tinjauannya yang berbeda. namun sebagai perbandingan, ada beberapa definisi yang dapat Penulis temukan.
Kata shufi atau shufiyah, diartikan diartikan sebagai orang yang selalu mengamalkan ajaran tasawwuf dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya rumusan definisinya telah dikemukakakn oleh para ulama tasawwuf, antar lain:
  1. Asy-Syeikh Muhamamd Amin al-Kurdy
Sufi adalah orang yang hatinya jernih dari kehidupan yang buruk dan terisi pengajaran (dari Tuhan) serta kemurnian bagaikan emas dan tanah liat[1].
  1. al-Qusyairi
Sufi adalah orang yang tidak pernah merasakan letih (bila) mencari (keridhaan Allah), dan tidak pernah susah (bila) ditimpa suatu sebab (cobaan)[2]
  1. Imam al-Ghazaly
Sufiyah adalah ahli ibadah yang telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk) ihsan (perbuatan mulia)[3].
Setalah Nabi resmi mdiangkat menjadi Rasul, ia mulai melaksanakan tugasnya, dan menanamkan keimanan dan akhlak mulia kepada masyarakat Quraisy.
Meskipun Nabi sebagai kepala pemerintahan, ia masih tetap memilih kehidupan yang sederhana, sebagaimana yang diriwayatkan oleh para sahabatnya, bahwa di rumah beliau hanya terdapat selembar tikar dan makanan yang sederhana. Dna kadang-kadang juga Nabi dan keluarganya berpuasa karena tidak ada makanan di rumahnya.
Selanjutnya dituturkan dalam riwayat Imam Bukhary, bahwa pada suatu hari Aisyah mengeluh kepada keponakannya yang bernama Urwah dengan mengatakan: ”Lihatlah hai urwah, kadang-kadang dapurku setiap hari tidak pernah berfungsi (tidak pernah masak), sehingga aku sering bingung. Maka Urwah belaik bertanya; ’Apakah ayng engkau makan setiap hari ?’ jawab Aisyah, paling untung kalau kami mandapatkan beberapa buah kurma dan air biasa; kecuali bila ada tetangga yang mengantarkans esuatu kepada Rasulullah, baru kami bisa merasakan makanan atau minuman susu segar”[4].
Apabila Rasulullah SAW mendapatkan rezeki, ia malah cepat-cepat membagikannya kepada fakir-miskin. Dan pada suatu ketika, beliau hendak menunaikan salat di masjid, tiba-tiba teringat bahwa masih ada pundi-pundi emas dan perak yang tersimpan di rumahnya. maka beliau mempercepat salatnya, lalu pulang ke rumahnya dan mengambil benda tersebut, kemudian dibagikan kepada fakir-miskin yang bermukim di sekitar rumahnya.
Ketika beliau sakit keras, beliau memerintahkan kepada keluarganya agar uang yang senilai tujuh dirham yang masih tersimpan padanya, segera dibagi-bagikan kepada orang-orang yang sangat membutuhkannya. Sehinga diriwayatkan bahwa ketika Nabi wafat, ia tidak mewariskan harta benda kepada keluarganya. hal in menggambarkan bahwa pertumbuhan tasawwuf berasal dari sikap dan amalan rasulullah SAW yang dituntun oleh wahyu Ilahi[5].
Demikian juga para sahabat, terutama para khulafaturrasyidin, mereka mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW, bahkan mereka menjadi guru bagi pendatang dari luar kota Madinah yang tertarik pada kehidupan sufi.
Islam telah mencapai tujuannya yang sebenar-benarnya dalam masa yang gilang-gemilang itu. Kaum muslimin telah berjaya oleh kejayaan dalam segala bidang, bidang agama, siasat perang, politik dan pemerintahan, sosial dan budi pekerti, dan dalam bidang ilmu pengetahuan sebagai hasil dari ajaran Islam yang murni itu.
Kesejahteraan dan keamanan masyarakat Islam pada abad pertama hijriah ini berakhir dengan pembunuhan Usman ibn Affan. Usman termasuk sahabat Nabi dan pejuang yang pertama, seorang yang sudah dijelaskan di masa hidupnya sebagai ahli surga, seorang yang berjasa dalam mengumpulkan wahyu-wahyu Tuhan serupakan sebuah kitab suci bagi ummat Islam, orang yang sudah mengorbankan seluruh kekayaannya untuk Islam, membiayai seluruh peperangan.
Terutama dalam abad kedua hijriah bagian pertama, timbul pulalah ajaran-ajaran baru yang penuh dengan hikmah. Katanya orang tidak puas lagi dengan hukum fiqh yang kering. Orang lalu memakai istilah-istilah yang pelik mengenai kebersihan jiwa. thaharatunnafsi, kemurnian hati, naqaul qalbi, hidup ikhlas, menolah pemberian orang, bekerja mencari makan dengan tangan sendiri, berdiam diri, seperti yang dianjurnkan oleh Ali Syaqiq al-Balkhi, Ma’ruf al-Karakhi, menyedikitkan makan, memerangi hawa nafsu dengan khalwat, malakukan perjalanan dan safar, puasa, mengurangi tidur atau sahar, serta memperbanyak zikir dan riadhah seperti yang dianjurkan oleh Ibrahim ibn Adham[6].

Kita ketahui bahwa agama Islam masuk ke Indonesia tidak langsung dari tanah Arab tetapi melalui negeri Persia dan India, dibawa oleh para pedagang atau orang-orang yang memang datang khusus untuk menyebarkan Islam. Sekitar abad keempat atau kelima hijriah. Pada masa itu paham sufi dan tasawwuf sedang tersiar luas dan mendapat perhatian umum dari negara-negara Islam, termasuk pula Indonesia. Dalam sejarah Wali Songo kita dapati Syeikh Sitti Jenar yang mempertahankan pendirian fana dan kesatuan antara Khalik dengan makhluk, yang dinamakan ittihad, di samping Sunan Kali Jaga yang mempertahankan Ahli Sunnah bersama dengan para wali yang lain, lalu mengambil tindakan terhadapa Syeikh Sitti Jenar itu. Di Aceh Hamzah Fansuri menyiarkan paham bersatu dengan Tuhan itu, di samping Abdur Rauf Singkil yang menyiarkan paham Islam yang sebenarnya untuk memberantas paham ittihad dalam ketuhanann itu, yang dianggapnya sesat dan menyesatkan.
Oleh karena itu di Indoensia pun sejak ketika itu sebenarnya sudah terdapat pertentangan paham gerakan ilmu lahir dan ilmu batin, golongan yang dinamakan syariat dan golongan yang dinamakan hakikat.
Keberadaan para tokoh sufi memang mempunyai latar belakang yang berbeda. Di antara mereka mempunyai status sosial yang berbeda-beda. Taraf hidup keberagamaan. keilmuan, keturunan yang lebih istimewa, tidak semua dari mereka berangkat dari orang-orang yang menekuni agama secara baik. Dengan kata lain tingkat ibadahnya belum mencerminkan sebagai pengamal tasawwuf.
Ada di antara mereka menjadi atau berkelakuan sufi disebabkan karena peristiwa atau musibah berat khususnya penyakit, tetapi mereka bisa terhindar dan lolos ayng secara logika kecil kemungkinannya untuk selamat. Sebagai contoh, Ust. Arifin Ilham, seorang tokoh kegiatan Dzikir (sudah dibahas) pernha mengalami peristiwa hebat yang membuatnya mati suri. Peristiwa tersebut membawa perubaha besar pada dirinya, di antaranya sebagaia rasa syukur atas pertolongan Allah SWT. Sering melakukan dzikir dan ibadah sunnah lainnya. Terus memperdalam agama, b ukan saja untuk dirinya tetapi mengajak orang lain dengan membuat Jama’ah  Dzikir. Dalam waktu yang tidak lama, jama’ahnya bertambah banyak dan berkembang sampai sekarang. Contoh lainnya, seperti Alm. Gito Rolies yang akhir hidupnya diisi dengan da’wah islamiyah dan gaya hidupnya yang berubah total menjadi seorang muslim yang kuat dengan menjalani hiudp sufi, baik perbuatan atau ucapannya serta cara berpakaiannya.
Sebagai perbandingan bila kita melihat dan memperlajari kehidupan para sahabat Nabi, atau dari kelompok tabi’in, mereka diawali oleh kehidupan yang jauh dari nilai-nilai agama, atau bahkan menentangnya. Tetapi karena ada pengalaman atau peristiwa yang menimpanya, akhirnya mereka sadar dan berbalik menjadi manusia pilihan dan banyak yang meneladani mereka, baik kata atau perbuatan. Pola hidup mereka bergitu teratur, sesuai dengan ajaran agama, perhatian hidupnya benar-benar dicurahkan untuk kepentingan agama. Sikap kedermawanannya yang hebat, ibadah merke seakan tidak mengenal lelah, jujur, amanah dan mempunyai akhlakul karimah dalam bermasyarakat.
Terutama di Jawa, paham-paham ilmu batin, pikiran-pikiran sufi yang disiarkan oleh Wali Songo itu sangat mempengaruhi kehidupan Islam di Jawa, dan sampai sekarang masih kelihatan gemanya dalam gerakan-gerakan batin yang banyak muncul.


[1] Kuliah Akhlaq Tasawwuf, drs. Mahjuddin, Jakarta, Kalam Mulia, 1991, hal. 49
[2] Drs. Mahjuddin, Op. Cit, hal. 50
[3] Drs. Mahjuddin, Op. Cit, hal. 50
[4] Mahjuddin, Op. Cit, hal. 60
[5] Mahjuddin, Op, Cit, hal. 61
[6] Prof. DR. Hamka, Op. Cit, hal. 57

TASAWUF DAN KECERDASAN SPIRITUAL

            Sebagai agama yang sempurna Islam bukan saja mengatur urusan ibadah. Tetapi Islam juga mengatur bagaimana urusan dunia yang erat hubungannya dengan antar manusia berjalan dan tertata dengan baik. Setiap urusan apapun bentuk dan aspeknya, agama dapat menjawab semua itu. Oleh karena itu al-Quran dan al-Hadits merupakan jawaban yang selalu tepat pada zaman dan masa apupun.
Persoalannya adalah apa yang ada pada kedua pedoman dan sumber tersebut, mampukah kita mencerna, dan memahami dengan baik dan benar. Jika ada persoalan yang belum terjawab dan teratasi mestinya kita berintrospeksi kedalam diri kita sendiri. Bukan meninggalkan dalil naqli yang ada pada keduanya. Dengan kata lain penyelesaian kebutuhan hidup hendaknya didasari oleh ajaran Islam yang optimal. Jangan sekedar mengambil, bisa jadi salah penerapan atau bisa saja menjadi salah pemahaman sehingga hasilnya justru menambah masalah. Banyak ibadah dilakukan bukan karena merupakan kebutuhan hidup, melainkan lebih kepada pribadi yang tidak menutup kemungkinan cuma jasmani saja terpenuhi. Kemajuan teknologi, budaya, sosial ekonomi dan pendidikan menyebabkan kebutuhan manusia semakin kompleks, kebutuhan hidup baik yang menyangkut masalah pribadi ataupun kelompok tidak bisa dihindari. Akirnya manusia sebagai pelakunya dituntut untuk meladeni dan mengimbangi persaingan yang gagal. Tentu saja timbul rasa pesimis, frustasi, mungkin gelisah dan tidak mengerti kemana hidup ini akan berakhir. Sebenarnya banyak manusia merasa puas jika urusan jasmaninya terpenuhi, dianggap persoalan hidup selesai sudah. Ternyata baik yang gagal atau yang suskes mempunyai kadar yang didasarkan pola penilaian tersirat material namun lahiriah mentalnya tidak siap. Emosional rohaniah harus dihidupkan kcerdasan spiritualnya terus ditajamkan. Jadi semuanya harus berjalan seiring, tidak ada yang lebih penting, semuanya diperlukan. Tidak ada dikotomi ilmu seperti teori barat yang memisahkan spiritual, dengan dunia. Antara dzikir dan piker. Sebab jika rohani rapuh, maka sendi sosial budaya dan ekonomi menjadi rapuh. Harus ada ntegrasi secara menyeluruh dan komprehensif bagi seluruh masalah terlebih kepuasan batin. Semuanya dengan satu tujuan bagaimana rohani mereka tidak kering, selalu segar dan memiliki kemauan besar membangun kembali potensi rohani yang ada di dalam diri setiap orang. Potensi jasmani dibangun dengan cara bersifat material. Tetapi kebutuhan rohani dengan cara pendalaman, pemahaman dan sekaligus pengamalannya. Inilah yang sekarang menjamur di perkotaan yaitu kajian tasawwuf dan dzikir yang persertanya berasal dari kalangan menengah ke atas.

II. ASAL-USUL KATA TASAWWUF

Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawwuf. Dari segi linguistik (bahasa) ini segera dapat dipahami bahwa tasawwuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana.
Adapun pengertian tasawwuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung pada sudut yang digunakannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawwuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus selalu berjuang dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan.. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, maka tasawwuf dapat didefinisikan sebagai upaya menyucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT[1].
Selanjutnya jika sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, tasawwuf dapat didefinisikan dengan upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT[2].
Pembahasan mengenai tasawwuf pada intinya adalah pembahasan mengenai masalah perpecahan dan perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan caraetimologis arti tasawwuf itu sendiri masih diperselisihkan oleh banyak ahli baik dari kalangan ulama sufi, salaf, ataupun ahli bahasa. Secara garis besar pendapat-pendapat tersebut dapat diterangkan sebagai berikut. Tasawwuf berasal dari kata shaff yang artinya barisan dalam salat berjamaah. Alasannya, seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, dan sealu memilih shaf terdepan dalam salat berjamaah[3].
Dalam buku Tasawwuf Modern Hamka menyatakan arti tasawwuf dan asal katanya yang menjadi pertikaian para ahli bahasa. Setengahnya berkata bahwa perkataan itu diambil dari perkataan shafa’ yang artinya suci dan bersih. Sebagian lagi mengatakan bearasal dari kata shaf artinya bulu binatang, sebab orang-orang yang memasuki tasawwuf itu memakai baju dari bulu binatang, karena benci mereka pada pakaian yang indah-indah, pakaian ’orang dunia’ ini. Dan kata sebagian lagi diambil dari kata shuffah, ialah segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di suatu tempat terpencil di samping masjid Nabi. Kemudian ada juga dari perkataan shufanah, ialah sebangsa kayu yang mersik tumbuh di padang pasir tanah Arab. Tetapi setengah ahli bahasa dan riwayat, terutama di zaman yang akhir ini mengatakan bahwa perkataan shufi itu bukanlah berasal dari bahasa Arab, melainkan bahasa Yunani lama yang telah diarabkan. Asalnya theofisme, artinya Ilmu Ketuhanan, kemudian diarabkan dan diucapkan dnegan lidah orang Arab sehingga bertransformasi menjadi tasawwuf[4].
Walupun pengambilan perkataan itu tidak seragam, bahasa Arab atau Yunani, namun dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan kaum Tasawwuf, atau shufi itu ialah kumpulan yang menyisihkan diri dari orang banyak, dengan maksud membersihkanhati, memakai pakaian yang sederhana, hidup kurus kering bagaikan kayu di padang pasir, atau memperdalam penyelidikan tentang hubungan makhluk dan Khalik.
Tasawwuf adalah salah satu filsafat Islam, yang maksudnya bermula ialah hendak zuhud dari dunia yang fana. Tetapi lantaran banyaknya bercampur gaul dengan negeri bangsa lain, banyak sedikitknya masuk jugalah pengajian agama dari bangsa lain ke dalamnya. Karena tasawwuf bukanlah agama, melainkan suatu ikhtiar yang setengahnya diizinkan oleh agama dan setengahnya pula tidak sadar, telah tergelincir dari agama, atau terasa enaknya pengajaran agama lain dan terikut dengan tidak diingat.
Ibnu Khaldun berkata: ”Tasawwuf itu adalah semacam ilmu syariah yang timbul  kemudian di dalam agama, aslanya ialah bertekun beribadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadap Allah saja. Menolak hiasan-hiasan dunia serta membenci perkara-perkara yang selalu mendaya orang-orang, kelezatan harta-benda, dan kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah[5].
Demikianlah kalua kita dengarkan kupasan Ibnu Khaldun, yang meneropong suatu perkara dari segi ilmu pengetahuan. tetapi ahli-ahli tasawwuf yang terbesar mempunyai pula kaidah tersendiri tentang arti tasawwuf itu.
Ada yang berkata: ”Tasawwuf ialah putus hubungan dengan makhluk dan kuatnya hubungan dengan Khalik”.
Al-Junaid berkata: ”Tasawwuf ialah keluar dari budi, perangai yang tercela dan masuk kepada budi, perangai yang terpuji”[6].
Jika diperhatikan dari berbagai pandangan atau definisi yang dibuat para pakar tasawwuf di atas satu dan lainnya dihubungkan, maka segera tampak bahwa tasawwuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia sehingga tecermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT. dengan kata lain, tasawwuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. inilah esensi atau hakikat tasawwuf.


[1] Definisi tersebut dirangkum dari sejumlah definisi tasawwuf yang dikemukakan para ahli seperti ma’ruf al-Karkhy (w. 200 H), Abu Turab al-Nakhsaty (w. 245 H), Sahl ibn Abd Allah al-tusary (w. 283 H). Lihat Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sunatera Utara, Pengantas Ilmu Tasawwuf, 1981/1982, hal. 3 - 4
[2] Definisi tersebut dirangkum dari sejumlah pendapat para ahli, di antaranya al-Qusyairi, al-kanany, an-nury dan Sam nun. lih, ibid, hal. 5
[3] DR. Abdurrahman Abdul Khaliq Ctc, Pemikiran Sufisme di bawah Bayang-bayang Fatamorgana, Jakarta, Amzah, hal. 11
[4] Prof. DR. Hamka, Tasawwuf Modern, Jakarta, Panji Mas, hal. 12
[5] Prof. DR. Hamka, Op. Cit, hal. 13
[6] Prof. DR. Hamka, Op. Cit, hal. 13

Selasa, 19 Oktober 2010

FIGUR PENDIDIK

Kebehasilan atau kesuksesan seorang pendidik di hadapan para muridnya bukan disebabkan guru itu pandai dan profesional dalam menekuni profesinya sebagai pendidik, atau bisa juga karena status sosialnya seperti keturunan dari seorang kaya raya, cendikiawan, bukan itu yang menjadi ukuran, kalaupun ada itu bukan sebagai faktor penentu. Tetapi adalah sejauh mana guru dapat membangun komonikasi yang baik dengan para peserta didiknya, baik di luar atau di dalam kelas..

Untuk membangun itu diperlukan kesiapan mental yang besar terutama kesabaran dan tidak gampang marah.Jangan sekali-kali seorang guru karena statusnya merasa lebih pintar,gagah,menyepelehkan,mau menang sendiri, arogan atau sikap lain yang kurang mencerminkan seorang guru.Dengan kata lain guru harus mempunyai sikap sabar dan teladan yang tinggi dihadapan murid-muridnya. Jika ini sudah melekat pada seorang guru akan timbul rasa simpati murid, dan akan terjalin komonikasi yang sehat, yang pada akhirnya murid termotivasi untuk lebih giat dan bersungguh-sungguh dalam belajar.

Mari kita lihat bagaimana Rasulallah SAW. bisa menjadi guru yang sangat dicintai oleh para sehabat atau orang lain ketika menerima pelajaran. Suatu ketika Baliau sedang menyampaikan materi da'wah di masjid dengan dihadiri oleh para sehabat, tiba-tiba datang dari arah depan seorang arab badui ( pedesaan ) tidak lama kemudian si arab baduii itu buang air kecil di dalam masjid tanpa permisi lagi dan tidak merasa malu atau takut..Melihat kejadian ini para sehabat merasa jengkel dan marah kepadanya, tentu saja kemarahan ini bisa dimaklumi sebab itu artinya tidak menghormati Rasul dan masijid sebagai tempat suci. Salah seorang sehabat bangun yaitu Umar ibn Khotob yang terkenal gagah dan pemberani akan memukul badui itu karena sudah kurang ajar lagi. Melihat gelagat ini Rasul barkata " Wahai Umar, jangan kau marahi dan ganggu, biarkan dia sampai selesai membuang hajatnya. lalu ambilah air dan siramkan najis itu sehingga bersih kembali"

Kemudian, selesai itu  lalu arab badui itu berdiri dan menyatakan masuk Islam dengan mengucap dua kalimah sahadah, lalu berkata" saya akan sampaikan kepada penduduk disana atau orang kampungku bahwa aku sudah menjadi seorang muslim dan menjadi pengikut Rasulallah SAW. yang mempunyai ahlakul karimah, bersehabat, berbudi pekerti mulia, penyebar dan tidak mudah menyalahkan orang lain." 

Dari kisah ini dapat kita mengerti bahwa andai kata Rasul SAW bertindak marah dan membiarkan Umar memukulnya yang tergambar oleh badui itu adalah orang Islam pemarah dan tidak bijaksana, tetapi yang paling penting adalah da'wah Rasul SAW menjadi gagal, islam tidak tersebar..Dalam konteks pendidikan komonikasi belajar dapat berjalan dan terjalin dengan baik sekali anatar murid dengan guru, bahkan antar murid dengan murid ( para sehabat lain ) Jadi kesabaran  dan menghargai orang lain serta tidak merasa gagah, arogan dan menang sendiri khususnya di dalam kelas. Itu bukanlah karakter atau figur seorang guru yang sukses. Seorang pendidik dikatakan sukses dan berhasil menyampaikan pesan materi bila sudah mampu membangun dirinya dengan lingkungan kelas dan  menjadi figur pendidik yang dicontohkan oleh Rasulallah SAW. 

.





Minggu, 17 Oktober 2010

PENDIDIKAN KARAKTER

Saat ini muncul banyak muncul di berbagai media baik cetak atau elektronik dari para petinggi atau pejabat negara yang mengatakan sudah saatnya negara tercinta ini melakukan terobosan baru dalam dunia pendidikan yaitu dengan lebih menitik beratkan atau memperhatikan pendidikan yang seimbang, antara pembentukan inteletual dengan pembentukan spritual, dengan kata lain dunia pendidikan harus mampu membentuk lulusan yang mempunyai karakter, bahkan jika perlu porsi itu diberiwaktu khusus.       

Keprihatinan ini timbul dengan melihat gejala bahkan sudah menjadi masalah serius bangsa ini yaitu semakin merajalelanya praktek korupsi, nepotisme, tindakan amoral dan asosial, jual beli hukum dan pemutusan perkara seta perbuatan tercela lainnya yang menyebabkan kerugian negara dan indivudu. Hal ini ditimbulkan karena para pejabat auat oknum yang berada di dalamnya cuma pintar dan pandai akalnya saja. Mereka mampu membangun tatanan administrasi secara normatif dengan baik berangkat dari teori dan pengalaman yang mereka pelajari dari bangku kuliah. Namun tidak demikian ketika berhadapan dengan sesuatu yang membutukan karakter pribadi yang kuat atau jati dirinya ketika membaca sumpah jabatan. Misalnya ketika ada kesempatan melakukan kecurangan dalam menjalankan profesinya dengan mudah sumpah jabatan itu dilanggarnya, bisa memenangkan orang yang salah, atau menyalahkan orang yang benar, atau hal lain yang dilarang mengerjakannya karena merugikan.
   
Seorang pejabat atau apapun namanya terlebih sebagai muslim  mestinya tidak bisa digoyahankan oleh rayuan atau iming-iming pemberian yang melanggar amanah, jika tidak, berarti karakter pejabat tersebut rendah dan tidak bisa mengemban amanah dengan baik. Ada satu kisah ketika Khalifah ibn umar sedang melakukan kegiatan atau kunjungan di sebuah desa yang dekat pegunungan didapati seorang pekerja pengembala kambing yang sedang mengawasi kambing majikannya  yang ratusan jumlahnya. Umar berkata kepada pengembala tersebut sambil ingin tahu dan menguji kejujuran pengembala itu "bolehkah aku minta kambing ini dengan imbalan uang dari ku , atau aku membelinya, bukankah majikanmu tidak mengetahuinmya, atau bilang saja dimakan serigala " mendengar tawaran itu, si pengembala yang lugu dan sudah pasti tidak memahami apa itu pendidikan karakter menjawab " tidak bisa, sebab aku takut, benar memang majikanku tidak melihat, atau bisa saja aku berbohong, tetapi ada satu Zat yang melihat dan memperhatikan hambanya yaitu Allah SWT. yang maha tahu segalanya " Mendengar jawaban itu Umar ibn khotob terkegum dan terheran-heran dengan sikap kejujuran yang ditampilkan oleh si pengembala itu.

Jadi untuk membentuk karakter yang kuat dalam diri seseorang tidak cepat dengan begitu saja terbentuk, tetapi memerlukan waktu dan pembinaan yang yang lama bahkan yang tidak kalah pentingnya adalah faktor keteladan. Coba lihat para sehabat, mereka mempunyai kepribadian yang kuat karakter kerohaninnya seperti sikap amanah dan jujur sehingga tidak mudah tergoyahkan oleh rayuan atau bujukan yang merugikan pihak lain. Kenapa itu bisa melekat dengan kuat pada pribadi mereka ? jawabnya adalah mereka mempunyai teladan yang kuat yaitu didikan dan ajaran dari Rasulallah SAW.yang selalu menanamkan ahlakul karimah pada setiap persoalan. Sebab jika seorang sudah mempunyai ahlaq yang baik, pasti sikap jujur dan amanah menyertainya. Pemerintah kita tidak bisa melukan terobosan instan dengan penggalakan pendidikan karakter melalui sekolah atau perguruan tinggi saja, itu tidak cukup, tetapi  harus dibarengi dengan contoh dari para pejabat atau mereka yang mempunyai pengambil kebijakan di negara ini. Coba lihat mengapa pengembala yang orang dusun dan jauh dari pendidikan mempunyai kerakter yang baik, sebab Umar ibn Khotob sebagai pemimpinnya  sudah memulai dan mencontohkan kepada rakyatnya. Semoga bangsa kita cepat merubah diri dengan membangun karakter bangsanya menjadi lebih mulia !!! 

  .

Senin, 11 Oktober 2010

MEMBENTUK ULUL ALBAB

Dalam bahasa agama intelektual islam merupakan bagian dari profil sebutan seorang Ulul Albab . Dalam Al-Quran ulul albab disebut enam belas kali. Menurut Al-Quran ulul albab adalah sekelompok manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT. Diantara keistimewaanya ialah mereka diberi hikmah, kebijaksanaan, dan pengetahuan, disamping pengetahuan yang diperoleh melalui proses pendidikan dan sipatnya empiris. Dalam Al-Quran dikatakan
ي يؤتي الحكمة من يشاء ومن يؤت الحكمة فقد اوتئ خيرا كثيرا وما يذكر الا اولوا الالبب (البقرة )

Artinya : Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya, dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebijakan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali ulul albab ( QS.2: 269 )

Dalam terjemahan departemen Agama hikmah diterangkan adalah mereka yang diberi kependaian untuk memahami Al-Quran dan Hadis secara baik. Jadi ada kelebihan tersendiri bagi ulul albab dalam memahami persoalan. Karena memang diberikan daya cerna berpikir yang lebih tajam yang kebanyakan orang biasa tidak mampu membaca dan menginterpretasikannya. Seorang ulul albab dari sisi keilmuan bisa jadi mungkin tidak jauh dari pengertian intelektual muslim, tetapi ada pendektatan spritual yang lebih. Disamping ilmuan juga seorang ahli ibadah. Inilah yang menyebabkan hikmah diberikan kepadanya. Ketika mengaplikasikan pemikirannya tidaklah bertolak dari teori saja yang bersifat baku, tetapi unsur wahyu menjadi acuan utamanya.

Sebelum itu kita mengenal ulul albab, ada hal yang penting bagaimana tinjauan bahasa Indonesianya yaitu sarjana, ilmuan, intelektual. Sarjana yaitu mereka yang memperoleh gelar sarjana setelah selasai belajar di Universitas. Sementara ilmuan adalah seorang yang mendalami ilmunya kemudian mengembangkan ilmunya, baik dengan pengematan maupun dengan analisanya. Kemudian intelektual bukan sekedar seorang yang sudah melewati masa pendidikan pada pendidikan tinggi, tetapi juga berpikir, terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Seorang yang terlibat .secara kritis dengan nilai, tujuan, dan cita-cita yang mengatasi kebutuhan praktis . Intelektual disebut juga kaum terpelajar, atau biasa disamakan dengan kelompok terpelajar .

Di dalam masyarakat islam, seorang yang disebut intelektual bukan saja memahami serah bangsanya, dan sanggup melahirkan gagasan-gagasan analitis normatif yang cemerlang, melainkan juga mengusai sejarah islam seorang Islomologis. Untuk penegrtian ini, Al-Quran mempunyai istilah khusus: Ulul Albab. Bagaiman tanda-tanda ulul albab, selain beberapa keistimewaan yang diberikan oleh Allah SWT. kepada mereka. Ada tanda lain yang perlu diperhatikan pertama bersungguh-sungguh mencari ilmu, seperti disebutkan dalam Al-Quran:
والرسحون فئ العلم يقولون أ ما ن به كل من عند ربنا وما يذكر إلا اولواالا لبب (ال عمران )

Artinya : Dan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata kami beriman kepada ayat-ayat yang mutsyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami dan tidak dapat mengambil pelajaran(dari padanya) melainkan para ulul albab. (QS. 3:7)


Ketika mereka memperoleh ilmu pengetahuan tidaklah digunakan cuma untuk keperluan pribadi, atau golongan, tetapi ilmu yang dimiliki untuk kepentingan masyarakat luas. Sebab disadari bahwa ilmu merupakan amanah yang harus disampaikan kepeda yang memerlukannya. Perlu dikembangkan tentunya sesuai dan memperhatikan perkembangan ilmu itu sendiri. Seperti kemajuan teknologi dengan segala aspeknya. Mereka merenungi kejadian sekitar, sebab phenomena alam merupkan kekayaan dan merupakan sumber kehidupan yang besar dari Allah SWT. untuk keperluan manusia. Tanda lain ulul albab seperti sebagai berikut:
إن فئ خلق السموات والارض واختلف اليل والنهار لأ يت لأ ولئ الالبب (ال عمران )
Artinya : Sesungguhnya, dalam proses penciptaan langit dan bumi, dalam pergiliran siang dan malam, adalah tanda-tanda bagi ulul albab ( QS. 3 : 190 )

Abdus Salam, Seorang muslim pemenang nobel, melalui teori unifikasi gaya yang disusunnya, berkata Al-Quran mengajarkan kepada kita dua hal yaitu tafakur dan tasyakur. Tafakur adalah merenungkan ciptaan Allah SWT. di langit dan di bumi, kemudian menangkap hukum-hukum yang terdapat di alam semesta. Tafakur inilah yang disebut sebagai science. Tasyakur adalah memanfaatkan nikmat dan karunia Allah Swt. dengan menggunakan akal pikiran, sehingga kenikmatan itu makin bertambah, dalam istilah modern tasyakur disebut teknologi. Ulul albab merenungkan ciptaan Allah SWT. di langit dan di bumi, dan berusaha mengembangkan ilmunya sedemikian rupa, sehigga karunia Allah Swt. dilipatgandakan nikmatnya.

Tanda kedua mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, kemudian ia pilih yang baik, walaupun ia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang. Allah SWT. berfirman:
قل لايستوئ الخبيث والطيب ولوأعجبك كثرة الخبيث فا تقوا الله يا ولئ الالبب لعلكم تفلحون (الما ئد ة ) ( الما ئد ة )

Artinya : Katakanlah, tidak sama kejelekan dan kebaikan, walaupun banyaknya kejelekan itu mencengangkan engkau. Maka takutlah kepada Allah, hai Ulul Albab agar kamu mendapat keberuntungan (QS. 5:100 ) .

Tanda ketiga kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan , teori, proposisi atau dalil yang dikemukakan orang lain:
الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه اولئك الذين هد نهم الله واولئك هم اولوا الالبب (الزمر )

Artinya : Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya., mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mmereka itulah orang-orang yang berakal – ulul albab (QS. 39:18) .

Tanda keempat bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakatnya, bersedia memberikan peringatan kepada masyarakat; diancamnya masyarakat, diperingatkannya mereka kalau terjadi ketimpangan, dan di protesnya kalau tidak terdapat ketidakadilan. Dia tidak duduk berpangku tangan di laboratorium, dia tidak senang hanya terbenam dalam buku-buku di perpustakaan, dia tampil di hadapan masyarakat, terpanggil hatinya untuk memperbaiki ketidakberesan di tengah- tengah masyarakat.
هذا بلغ للنا س ولينذروا به وليعلموا أ نما هو إله واحد وليذكر أولوالا لبب ( ابراهيم )

Artinya : Al-Quran ini adalah penjelasan yang cukup bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan dia , dan suapaya mereka mengetahui bahwasannya Dia adalah Tuhan Yang maha esa dan agar ulul albab mengambil pelajaran (QS. 14:52)

Dalam ayat lain dikatakan bahwa:

أفمن يعلم انما انزل إليك من ربك الحق كمن هو اعمى انما يتذكر أولواالالبب ( الرعد )

Artinya : Apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta, Hanyalah orang-orang yang berakal saja(ulul albab ) yang dapat mengambil pelajaran (QS. 13:19) .

Tanda kelima Tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah Swt.Berkali- kali Al-Quran menyebutkan bahwa ulul albab hanya takut kepada Allah SWT. sebagaimana firmannya:
وتزودوا فاءن خير الزاد التقوى واتقون يا ولئ الالبب ( البقرة )

Artinya : Berbekalah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada Allah hai ulul albab (QS. 2:197)

فا فا تقوا الله يا ولي الالبب لعلكم تفلحون ( الما ئد ة )
………. Maka bertaqwalah kepada Allah Swt. hai ulul albab, agar kamu mendapat keberuntungan ( QS. 5 : 100 ).

Dalam ayat lain dikatakan:

أ عد الله لهم عذابا شديد ا فا تقوا الله يا ولئ الالبب ( الطلا ق )

Allah SWT. menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertaqawalah kepada Allah SWT. hai ulul albab (QS. 65:10).

Dengan banyak dalil yang bersumberkan dari Al-Quran bahwa seorang ulul albab merupakan sosok manusia yang hidupnya untuk kepentingan perbaikan masyarakat, membangun kebaikan, menyebarkan ilmu pengetahuan, memperbaiki kondisi hukum agar berjalan dengan adil, dan mecegah kemungkaran yang dapat menjauhkan manusia dari tujuan sebenarnya.

Tampaknya seorang ulul albab walau masih berbeda dengan intelektual ada kesamaan seperti jika dilihat dari beberapa tanda ulul albab yang telah disebtukan seperti bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, mau mempertahankan keyakinannya, dan merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Namun dalam ayat lain, Allah dengan jelas membedakan seorang ulul albab dengan intelektual seperti firman Allah SWT. dalam ayat lain:
أ من هو قنيت أناء اليل ساجدا وقاءما يحذر الاخرة ويرجوا رحمة ربه قل هل يستوئ الذين يعلمون والذين لا يعلمون إ نما يتذكر أولوا ألالبب ( الزمر )

Artinya : Apakah orang yang bangun di tengah malam, lalu bersujud dan berdiri karena takut menghadapi hari kiamat, dan mengharapkan rahmat TuhanNya samakah orang yang berilmu seperti itu dengan orang orang yang tidak berilmu dan tidak memperoleh peringatan seperti itu kecuali ulul albab (QS. 39:9)

Dengan merujuk kepada firman Allah Swt. tersebut jelas sekali ciri atau tanda khas seorang ulul albab. Sehingga ada perbedaan jelas antara ulul albab, ilmuan, dan intelektual lainnya. Ulul albab seorang yang selalu membangun hubungan dengan Allah Swt. dengan banyak ibadah, terutama memperbanyak bangun malam, bersujud dimana sebagian besar manusia tidur nyenyak. Disini mereka mengadukan segala hal persoalan hidup terutama yang menyangkut kepentingan umat, mmengharapkan pertolongan Allah Swt. mengharapkan ampunan dan ridhoNya. Mereka selalu ingat baik dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring, sendiri, atau dalam beramai-ramai. Sehingga jika boleh disimpulkan ulul albab sosok muslim yang sempurna. Intelektual yang taqwa, soleh, ahli dzikir. Pemikir plus ketaqwaan,Intelektual plus kesalehan.

Inilah yang diharapkan oleh umat bahwa Pendidikan Tinggi Islam mampu menghasilkan,memproduk atau menerbitkan lulusan yang bersosok ulul albab. Bukan sekedar menjadi sarjana yang cuma mampu menyelesaikan pekerjaan yang bersifat rutinitas, baku dan membosankan. Jika sekedar itu yang dituju, nampaknya tidak perlu kita bersusah-susah memeras otak dan dana yang besar, sebab itu bisa ditempuh dengan pendidikan ketrampilan. Lulusan yang dibutuhkan umat Islam adalah mereka yang mampu membangun masyarakatnya menjadi manusia yang cakap kehidupan beragamanya, dan canggih teknologinya. Dengan kata lain Islam mengharapkan dari jenjang pendidikan tinggi melahirkan ilmuan yang intelektual, berahlakul karimah, soleh, taqwa meskipun seperti apa yang dicapai pada peringkat ulul albab.

Kehidupan terpelajar atau dunia intelekual (kampus) pernah terjadi pergeseran nilai pada abad pertengahan dimana kaum terpelejar mencemoohkan tokoh dan kehidupan beragama. Sains menjadi idolanya, karena dianggap cuma berurusan dengan hal-hal yang empiris, mereka mengabaikan tuntunan dan ajaran agama. Tetapi dikala kelompok terpelajar mengidolkan sains, banyak juga yang mengkritisi sains dan mengajak orang kepada kepekaan agamawi. Banyak tokoh mulai berbicara tentang perasaan keagamaan, dan beberapa ahli fisika dengan yakin mengatakan: Kita sedang berjalan menghampiri ambang agama. Perasaan keagamaan mereka berbeda dengan perasaan keagamaan massa; perasaan keagamaan yang berada di atas sains- keyakinan keagamaan yang suprasains. Menurut Ali Syariati, masa depan dunia akan diwarnai oleh kelompok ini. Ia berkata, mazhab pemikiran masa depan berbeda dengan mazhab kaum terpelajar kini- adalah mazhab pemikiran yang agamawi- suatu keyakinan keagamaan yang tidak lebih tinggi dari pada sains .

Kita tidak bisa menjawab dan membuktikan pemikiran ke depan Ali Syariati dengan tepat, sejarahlah yang akan membuktikannya. Belakangan ini banyak kita temuai terutama di kampus-kampus marak sekali dengan kehidupan dan kegiatan yang bernuansa keagamaan. Bukan saja dalam bentuk serimonial seperti peringatan hari-hari besar islam. Tetapi kajian keagamaan seperti diskusi, kuliah umum, lokakarya atau latihan kepemimpinan nuansa agamanya begitu kental. Belum cara berpakaian, terutama dari kaum wanitanya begitu islami. Fenomena ini terjadi juga justru diluar kampus Universitas Islam, kampus umum. Gerakan-gerakan islam umumnya dipimpin oleh kaum intelektual. Masjid hampir menggeser kampus sebagai markas pusat pemikiran dan pengembangan Islam. Ilmuan yang pernah belajar di barat dan mengelukan teknolgi, sains dan kemajuan budayanya, kini kembali dengan kecintaan kepada Islam. Para mahasiswanya lebih dalam penghayatannya kepada Islam ketimbnag pendahulunya. Dengan mengambil gaya bahasa Ali Syariati, kehidupan keislaman mereka berbeda dengan orang kebanyakan. Islam mereka adalah suprasains, sebuah potret pengamalan agama yang didasari oleh ilmu pengetahuan dan kesadaran yang tinggi. Apa yang mereka temui dalam dunia sains ternyata bersumber dari ajaran Islam. Inilah yang tambah kuat keyakinan, keimanan dan kebenaran Islam di mata mereka. Bila masa lalu banyak orang mencemooh Islam sebagai lambang keterbelakangan, dan merasa bangga meniru barat, kini muncul kaum intelektual yang fasih berbicara masalah Islam dan mengkritik barat. Mahasiswa sudah gencar membicarakan Al-Ghazali, Al-Madudi, Sayid Kutub, Mutahhari, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Ibnu Sina dan pemikir-pemikir Islam lainnya. Jadi zaman baru Islam sudah mulai menyingsing. Akan lahir masyarakat yang memiliki keyakinan keagamaan yang suprasains.

Kelompok ini memang belum banyak dan meninggi atau mewarnai kehidupan Islam. Belum berada di atas atau di bawah kerucut, tetapi embriyo ini sudah jelas menghasilkan, tinggal bagaiman kita memupuk dan memeliharanya. Sebab kelompok ini didominasi kelompok muda yang membutuhkan semangat dari kaum seniornya. Karena yang tidak senang juga cukup banyak jumlahnya, atau paling tidak semangat keislamannya masih mengambang. Pada dinamika interaksi ini, dimanakah letak posisi kaum intelektual Islam, sebagai manusia yang dikaruniai dengan kelebihan ilmu. Maka apakah tanggungjawab mereka untuk membentuk masyarakat kampus yang tegak diatas nilai-nilai Islam. Penulis ingin menyampaikan dalam tulisan ini adalah membuktikan bahwa intlektual muslim, adalah manusia yang terikat dengan kewajiban menerapkan nilai-nilai Islam. Berikutnya adalah menjelaskan dengan merujuk kepada Al-Quran, kewajiban moralitas dan metode kaum intelektual muslim, dalam memikul tanggungjawab menjalankan syari’ah islam dan sekaligus memperjuangkannya.

Dalam masyarakat berbahasa Inggris, orang akan tercengang mendengar sebutan intelektual ditujukan kepada orang yang sama sekali tidak menaruh perhatian perkembangan budaya bangsanya, demikian tulis sastrawan Subagio Sastrowardoyo . Bila kita mengambil pengertian intelektual seperti dalam bahasa Inggris, maka seorang ilmuan muslim yang tidak menaruh perhatian kepada perkembangan umat islam, tidaklah layak disebut sebagai intelektual muslim, mereka hanya sibuk mengajar di kampus, peneliti atau sebagai petugas administratif. Mereka tidak tertarik untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan kampus, tidak peka terhadap gairah masyarakat kampus menyerap nilai-nilai kampus. Serta sikap lainnya yang tidak mendatangkan kemajuan islam secara keseluruhan, tidaklah bisa disebut sebagai intelektual muslim . Jadi seorang intelektual mereka yang peka dan sensitive terhadap perubahan yang terjadi masyarakatnya. Dalam dirinya ada semangat mengeritik, mencari jalan keluar, memberikan pedoman, memperjuangkan nilai-nilai yang berorientasi kedepan. Al-Gazali sebagai sufi pernah berkirim surat sebagai suatu protes kepada penguasa di negrinya, Ibnu Taimiyah bukan semata-mata ahli fiqih ketika ia memimpin perlawanan tentara mongol. Kyai Sentot, Kyai Maja, Imam Bonjol, Kyai Giri Kedaton, dan lainnya, menjadi intelektual ketika mereka mengubah umat yang pasif, meniupkan ruh jihad, dan menanamkan kepercayaan diri disamping mengerjakan syari’at Islam.

Tidaklah adanya jaminan mereka yang masuk kelompok kaum terpelajar menjadi intektual, atau seorang ilmuan muslim menjadi intelektual, susah memang kita memastikannya. Namun jika akan dibagi pembagian tugas bisa saja sebagian pengembang ilmu pengetahuan, dan yang lainnya terikat dengan perjuangan Islam. Yang pokok adalah bagaimana kita memaksimalkan kemampuan dan posisi kita untuk membela dan memperjuangkan islam. Bukankah yang menjadi ukuran adalah amal seseorang, bukan jabatan atau status sosialnya.

Apabila ada seorang intelektual muslim tidak mengamalkan atau tidak bekerja membangun masyarakat, kuranglah terpuji, sebab mereka memperoleh ilmu menggunakan sumber daya masyarakat muslim, atau pemerintah, atau dari keluarga muslim. Perkembangan ilmu bukan saja dibiayai swasta atau perseorangan, tetapi juga oleh pemerintah yang memperoleh dari masyarakat. Sekian juta uang rakyat dipakai untuk membiyai seorang sarjana setiap tahun. Milyaran rupiah uang rakyat digunakan untuk membiayai universitas, lembaga-lembaga pendidkan, atau lembaga ilmu pengetahuan lainnya. Sains bukan lagi urusan perorangan, tetapi juga urusan sosial. Karena itu, hanya ilmuan robot yang hati nuraninya tidak terusik untuk membaktikan ilmunya bagi peningkatan kualitas hidup masyarakatnya. Hanya ilmuan menara gading yang terbenam di laboratorium, dan melepaskan masyarakat di sekitar nya. Lebih-lebih ilmuwan Frankenstein yang memanfaatkan sumbangan masyarakat buat mengembangkan ilmu yang menindas masyarakat .

Dengan begitu nampaknya kita mempunyai alasan yang sama bahwa tidaklah disebut sebagai ilmuan muslim bila tidak menghidupkan dan mempejuangkan Nilai-nilai keislaman dalam lingkungan masyarakatnya, padahal mereka dibesarkan dan mendapat pendidikan oleh masyarakat. Pada masa lalu ketika mereka belajar masyarakat mempunyai tanggungjawab, sekarang waktunya menunjukkan tanggungjawab kepada masyarakat.

Bila kita membicarakan tanggung jawab, kita harus merujuk kerangka etis tertentu, tentu saja harus mengacu dari sumber-sumber nilai Islam. Bagaimana ahlaknya dalam melaksanakan kewajiban di masyarakat serta metodenya yang sesuai dengan kedudukannya sebagai intelektual muslim.

Dr. Muhammad Mahmud Hijazi menyebutkan delapan sifat ulul albab. Menurut saya, dua sipat pertama menunjukkan kewajiban, tiga sifat berikutnya menunjukkan ahklaq, dan sifat-sifat terakhir merinci metode ulul albab dalam melaksanakan kewajibannya. Butir-butir ini juga saya anggap mendasari pembicaraan tentang tanggungjawab intelektual muslim dalam menerapkan nilai-nilai Islam .

Al-Quran menyebutkan dua kewajiban intelektual muslim: memenuhi janji Allah SWT. Dan menyambungkan apa yang Allah SWT. perintahkan untuk menyambungkannya. Perjanjian Allah ini disebut Mistaq. Dr. Muhammad Mahmud Hijazi mendefinisikannya sebagai apa yang mengikat dari mereka dalam hubungan antara mereka dengan Tuhan mereka, antara mereka dengan mereka, dan antara mereka dengan manusia . Seorang intelektual muslim harus menjaga komitmen nya dengan menjalankan dan membela nilai-nilai islam, karena keberadaan mereka di masyarakat sebagai konsultan problematika yang menyangkut banyak aspek kehidupan. Termasuk menghubungkan iman dan amal cinta kepada Allah dengan cinta kepada manusia. Menghubungkan dengan kelompok-kelompok islam yang bertentangan, sehingga tumbuh ukhuwah islamiyah, menghubungkan umat dengan imam mereka, menghubungkan ulama diniah dengan ulama ukhrawiyah, menghubungkan ilmu dengan agama, menghubungkan ibadah dengan muamalah. Sehingga kedudukan intelektual islam mempunyai tugas mempersatukan umat apabila terjadi perbedaan baik yang disebabkan masalah fiqih, atau muamalah atau perbedaan mazhab. Disamping itu juga mempersatukan aliran pemikiran yang terjadi pada tingkat antar intelektual, terutama di Pendidikan Tingginya, agar antara ilmu dan akal, sains dan syari’ah, atau ibadah dengan muamalah selalu kesemua itu terkondisikan dengan baik.

Segala apa yang menjadi daerah operasionalnya diatas hanya didasari oleh satu sikap yaitu cuma takut kepada Allah SWT. Sikap ini menunjukkan disamping tanggungjawabnya sebagai intelektual muslim, apa yang dilakukan jangan sampai keluar dari ketentuan Allah SWT; jika itu yang terjadi. Maka bukan saja di dunia kerugian itu ditemui tetapi diakhirat tanggaungjawab itu lebih besar resikonya.

Untuk mencapai semua tujuan yang menjadi tanggungjawabnya seorang intelektual muslim yang pertama diperhatikan adalah salat. Karena dari sinilah akan terlihat apakah ia seorang muslim yang taat atau tidak. Sebab banyak mengaku sebagai intelektual muslim namun cuma fasih berbicara diatas mimbar atau forum diskusi saja, jarang ke masjid atau musholla. Sementara itu kita tahu masjid sebagai sentral dan sumber kegiatan umat islam yang utama. Coba perhatikan ketika Rasul hijrah dari Mekkah ke Madinah yang paling pertama beliau bangun adalah masjid bersama para sehabat.Dari sinilah berangkat nilai-nilai keislaman dan konsep perjuangan umat islam dibicarakan dan dijadikannya sebagai jantung pusat islamisasi kampus. Masjid kampus juga bisa dijadikan sebagai gerakan mobilisasi dan menggalakan infaq. Sikap ini harus terlihat sehingga sehingga gerakan keislaman tidak lagi mengandalkan keuangan dari anggaran lembaga kampus yang minim dan jauh dari kebutuhan. Cara Islam mengumpulkan dana dari umatnya banyak sekali ragamnya, tinggal bagaimana membangun kesadaran umatnya sendiri. Dalam Al-Quran banyak ditemuai ayat yang memerintahkan kita mencari dana atau menggalakan infaq dan sudah tersedia konsep itu, bahkan boleh dan bisa dilakukan secara tersembunyi (antar perorangan) atau bisa juga dilakukan dengan cara terbuka (semacam fund raising campaign). Banyak kegiatan dan program umat islam tersendat karena masalah biaya (financial). Sikap lain yang harus ditunjukkan sebagai intelektual muslim adalah berani berkata dan beriskap baik dalam hal yang baik dan buruk. Dengan kata lain berani menolak yang jelek dengan yang baik. Tentu saja bisa dijabarkan secara lebih jauh lagi. Sekian method tersebut haruslah menjadi acuan bagi inteklektual muslim baik di kampus, atau di tempat lain, terlebih di masyarakat yang persoalannya jauh lebih kompleks dibandingkan persoalan yang timbul di kampus.

Pendidkan Integratif khususnya yang berada pada Pendidikan Tinggi Islam, haruslah mampu memproduksi dan mengkader Intelektual Muslim secara sistematis berdasarkan kerangka akademis dan nilai-nilai keilmiyahan kampus yang ada disetiap pendidikan tinggi islam. Sikap seperti ini mestinya mengkristal pada setiap pribadi muslim terpelajar. Sebab pertanggungjawaban intelektual muslim sangat berat, apalagi dimasa mendatang, dimana persaingan global tidak bisa dihindari. Mana mungkin kita mampu bersaing dengan orang lain (non muslim) jika tidak didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dan mampu berkompetitif. Jangan sampai masyarakat islam mempunyai sikap apatis, skeptis, pasif, dan netral terhadap perkembangan dan permasalahan yang dihadapi oleh dunia islam secara mikro, atau dunia kampus secara makro.

Keberhasilan umat islam dan mengusai peradaban dunia di masa lampau, karena para intelekualnya mampu menunjukkan tanggungjawabnya terhadap agama dengan cara melakukan banyak penelitian dan kejian keilmuan serta praktek-praktek ilmiyah lainnya. Disamping ketekunan mereka mengkaji sains, namun tidak mengurangi ketekunan mereka dalam mengkaji ilmu syari’ah, bahkan mereka menjadi pemikir yang cukup sufistis, baik dalam konsep pendidikannya atau dalam aplikasi kehidupannya di masyarakat. Janganlah kita menolak perubahan selagi perubahan itu mendatangkan nilai-nilai kehidupan yang lebih baik. Menimbulkan dampak yang positif, tidak sebaliknya memunculkan dampak negatif. Apabila kemajuan teknologi yang berangkat dari ilmu pengetahuan umum dihadapi dengan perpaduan kekuatan ilmu agama dan umum (Syari’ah-Sains) semakin terbuka umat islam mengusai peradaban dunia kembali. Karena kehidupan dan cara mereka membangun umat dengan cara yang sudah benar yaitu melalui pendekatan yang berngkat dari Al-Quran dan Al-Hadis, di mana keduanya merupakan pedoman hidup bagi setiap muslim dan Rasulullah SAW. menjamin umatnya tidak akan tersesat jalan hidupnya selama berpegang teguh pada kedua ajaran pokok islam tersebut.